Jack si Pemalas
Pada suatu masa, hiduplah seorang anak laki-laki yang
bernama Jack dan hidup bersama dengan ibunya. Mereka sangatlah miskin dan
ibunya yang sudah tua itu menghidupi mereka dengan berkerja sebagai penenun,
tetapi Jack sendiri adalah anak yang sangat malas dan tidak pernah mau
melakukan apapun selain berjemur di matahari pada hari yang panas, dan duduk di
sudut rumah saat musim dingin. Sehingga dia dipanggil Jack si Pemalas. Ibunya
sendiri tidak pernah dapat membuat Jack melakukan sesuatu untuknya, dan
akhirnya suatu hari da berkata kepada Jack, bahwa apabila dia tidak mulai
bekerja dan menghidupi dirinya sendiri, ibunya itu tidak akan memperdulikan dia
lagi.
Hal ini merisaukan Jack, dan dia lalu keluar rumah
mencari pekerjaan pada hari berikutnya di tetangganya yang petani dan berhasil
mendapatkan satu penny (mata uang Inggris); tetapi karena selama ini dia tidak
pernah pulang kerumah sambil memegang uang, dia kehilangan uangnya ketika
melewati sebuah sungai.
"Anak bodoh," kata ibunya, "kamu
seharusnya menaruh uangmu di kantong."
"Saya akan melakukannya lain kali," kata
Jack si Pemalas.
Hari berikutnya, Jack kembali keluar untuk bekerja
pada seorang pembuat roti yang tidak memberinya apa-apa kecuali seekor kucing
yang besar. Jack lalu mengambil kucing tersebut, dan membawanya dengan
hati-hati di tangannya, tetapi kucing tersebut mencakar tangannya sehingga dia
harus melepaskan kucing tersebut yang kemudian lari menghilang.
Ketika dia pulang kerumah, ibunya berkata kepadanya,
"Kamu anak yang bodoh, seharusnya kamu mengikatnya dengan tali dan
menariknya untuk mengikutimu."
"Saya akan melakukannya lain kali," kata
Jack.
Pada hari berikutnya, Jack keluar dan bekerja pada
seorang penjagal, yang memberikan dia hadiah berupa daging domba yang besar.
Jack mengambil daging domba tersebut, mengikatnya dengan tali, dan menyeretnya
di tanah sepanjang jalan, sehingga ketika dia tiba dirumah, daging domba
tersebut telah rusak sama sekali. Ibunya kali ini tidak berkata apa apa
kepadanya, dan pada hari minggu, ibunya mengharuskan dia membawa pulang kubis
untuk dimasak nanti.
"Saya akan melakukannya di lain waktu," kata
Jack.
Pada hari senin,
Jack si Pemalas bekerja pada seorang penjaga ternak, yang memberikan dia seekor
keledai sebagai upahnya.Walaupun Jack sangat kuat, dia masih merasa kewalahan
untuk menggendong keledai itu di pundaknya, tetapi akhirnya dia memanggul
keledai tersebut di pundaknya dan berjalan pelan ke rumah membawa hadiahnya. Di
tengah perjalanan dia berjalan di depan sebuah rumah dimana rumah tersebut di
huni oleh orang kaya dengan seorang anak gadis satu-satunya, seorang gadis yang
sangat cantik, yang tuli dan bisu. Dan gadis tersebut tidak pernah tertawa
selama hidupnya. Dokter pernah berkata bahwa gadis itu tidak akan pernah bisa
berbicara sampai seseorang bisa membuatnya tertawa. Ayahnya yang merasa sedih
itu berjanji bahwa dia akan menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki yang bisa
membuat anak gadisnya tertawa. Disaat itu juga sang gadis kebetulan melihat
keluar jendela pada saat Jack lewat di depan rumahnya sambil menggendong
keledai di bahunya; dimana keledai tersebut menendang-nendangkan kakinya ke
udara secara liar dan meringkik-ringkik dengan keras. Pemandangan itu begitu
lucu sehingga sang putri tertawa tergelak-gelak dan saat itu juga memperoleh
kemampuannya untuk mendengar dan berbicara. Ayahnya yang begitu bahagia melihat
anaknya telah dapat berbicara dan mendengar, memenuhi janjinya dengan
menikahkan anak gadisnya itu dengan Jack si Pemalas, yang kemudian menjadi
orang yang kaya juga. Mereka kemudian tinggal bersama-sama di sebuah rumah yang
besar dengan ibu Jack dan hidup berbahagia hingga akhir hayat mereka.
Pada siang hari
di akhir musim gugur, satu keluarga semut yang telah bekerja keras sepanjang
musim panas untuk mengumpulkan makanan, mengeringkan butiran-butiran gandum
yang telah mereka kumpulkan selama musim panas. Saat itu seekor belalang yang
kelaparan, dengan sebuah biola di tangannya datang dan memohon dengan sangat
agar keluarga semut itu memberikan sedikit makan untuk dirinya.
"Apa!" teriak sang Semut dengan terkejut,
"tidakkah kamu telah mengumpulkan dan menyiapkan makanan untuk musim
dingin yang akan datang ini? Selama ini apa saja yang kamu lakukan sepanjang
musim panas?"
"Saya tidak mempunyai waktu untuk mengumpulkan
makanan," keluh sang Belalang; "Saya sangat sibuk membuat lagu, dan
sebelum saya sadari, musim panas pun telah berlalu."
Semut tersebut kemudian mengangkat bahunya karena
merasa gusar.
"Membuat lagu katamu ya?" kata sang
Semut, "Baiklah, sekarang setelah lagu tersebut telah kamu selesaikan pada
musim panas, sekarang saatnya kamu menari!" Kemudian semut-semut tersebut
membalikkan badan dan melanjutkan pekerjaan mereka tanpa memperdulikan sang
Belalang lagi.
Ada saatnya untuk bekerja dan ada saatnya untuk
bermain.
Tujuh Burung Gagak
Dahulu, ada seorang laki-laki yang memiliki tujuh
orang anak laki-laki, dan laki-laki tersebut belum memiliki anak perempuan yang
lama diidam-idamkannya. Seiiring dengan berjalannya waktu, istrinya akhirnya
melahirkan seorang anak perempuan. Laki-laki tersebut sangat gembira, tetapi
anak perempuan yang baru lahir itu sangat kecil dan sering sakit-sakitan.
Seorang tabib memberitahu laki-laki tersebut agar mengambil air yang ada pada
suatu sumur dan memandikan anak perempuannya yang sakit-sakitan dengan air dari
sumur itu agar anak tersebut memperoleh berkah dan kesehatan yang baik. Sang
ayah lalu menyuruh salah seorang anak laki-lakinya untuk mengambil air dari
sumur tersebut. Enam orang anak laki-laki lainnya ingin ikut untuk mengambil
air dan masing-masing anak laki-laki itu sangat ingin untuk mendapatkan air
tersebut terlebih dahulu karena rasa sayangnya terhadap adik perempuan
satu-satunya. Ketika mereka tiba di sumur dan semua berusaha untuk mengisi
kendi yang diberikan kepada mereka, kendi tersebut jatuh ke dalam sumur.
Ketujuh anak laki-laki tersebut hanya terdiam dan tidak tahu harus melakukan
apa untuk mengambil kendi yang jatuh, dan tak satupun dari mereka berani untuk
pulang kerumahnya.
Ayahnya yang menunggu di rumah akhirnya hilang
kesabarannya dan berkata, "Mereka pasti lupa karena bermain-main, anak
nakal!" Karena takut anak perempuannya bertambah sakit, dia lalu berteriak
marah, "Saya berharap anak laki-lakiku semua berubah menjadi burung
gagak." Saat kata itu keluar dari mulutnya, dia mendengar kepakan sayap
yang terbang di udara, sang Ayah lalu keluar dan melihat tujuh ekor burung
gagak hitam terbang menjauh. Sang Ayah menjadi sangat menyesal karena
mengeluarkan kata-kata kutukan dan tidak tahu bagaimana membatalkan kutukan
itu. Tetapi walaupun kehilangan tujuh orang anak laki-lakinya, sang Ayah dan
Ibu masih mendapatkan penghiburan karena kesehatan anak perempuannya
berangsur-angsur membaik dan akhirnya anak perempuan tersebut tumbuh menjadi
gadis yang cantik.
Gadis itu tidak pernah mengetahui bahwa dia mempunyai
tujuh orang kakak laki-laki karena orangtuanya tidak pernah memberitahu dia,
sampai suatu hari secara tidak sengaja gadis tersebut mendengar percakapan
beberapa orang, "Gadis tersebut memang sangat cantik, tetapi gadis
tersebut harus disalahkan karena mengakibatkan nasib buruk pada ketujuh
saudaranya." Gadis tersebut menjadi sangat sedih dan bertanya kepada
orangtuanya tentang ketujuh saudaranya. Akhirnya orangtuanya menceritakan semua
kejadian yang menimpa ketujuh saudara gadis itu. Sang Gadis menjadi sangat
sedih dan bertekad untuk mencari ketujuh saudaranya secara diam-diam. Dia tidak
membawa apapun kecuali sebuah cincin kecil milik orangtuanya, sebuah roti untuk
menahan lapar dan sedikit air untuk menahan haus.
Gadis tersebut berjalan terus, terus sampai ke ujung
dunia. Dia menemui matahari, tetapi matahari terlalu panas, lalu dia kemudian
menemui bulan, tetapi bulan terlalu dingin, lalu dia menemui bintang-bintang
yang ramah kepadanya. Saat bintang fajar muncul, bintang tersebut memberikan
dia sebuah tulang ayam dan berkata, "Kamu harus menggunakan tulang ini
sebagai kunci untuk membuka gunung yang terbuat dari gelas, disana kamu akan
dapat menemukan saudara-saudaramu.
Gadis tersebut kemudian mengambil tulang tersebut,
menyimpannya dengan hati-hati di pakaiannya dan pergi ke arah gunung yang di
tunjuk oleh bintang fajar. Ketika dia telah tiba di gunung tersebut, dia baru
sadar bahwa tulang untuk membuka kunci gerbang gunung telah hilang. Karena dia
berharap untuk menolong ketujuh saudaranya, maka sang Gadis lalu mengambil
sebilah pisau, memotong jari kelinkingnya dan meletakkannya di depan pintu
gerbang. Pintu tersebut kemudian terbuka dan sang Gadis dapat masuk kedalam,
dimana seorang kerdil menemuinya dan bertanya kepadanya, "Anakku, apa yang
kamu cari?" "Saya mencari tujuh saudaraku, tujuh burung gagak,"
balas sang Gadis. Orang kerdil tersebut lalu berkata, "Tuanku belum pulang
ke rumah, jika kamu ingin menemuinya, silahkan masuk dan kamu boleh menunggunya
di sini." Lalu orang kerdil tersebut menyiapkan makan siang pada tujuh
piring kecil untuk ketujuh saudara laki-laki sang Gadis yang telah menjadi
burung gagak. Karena lapar, sang Gadis mengambil dan memakan sedikit makanan
yang ada pada tiap-tiap piring dan minum sedikit dari tiap-tiap gelas kecil
yang ada. Tetapi pada gelas yang terakhir, dia menjatuhkan cincin milik
orangtuanya yang dibawa bersamanya.
Tiba-tiba dia mendengar kepakan sayap burung di udara,
dan saat itu orang kerdil itu berkata, "Sekarang tuanku sudah
datang." Saat ketujuh burung gagak akan mulai makan, mereka menyadari
bahwa seseorang telah memakan sedikit makanan dari piring mereka. "Siapa
yang telah memakan makananku, dan meminum minumanku?" kata salah satunya.
Saat burung gagak yang terakhir minum dari gelasnya, sebuah cincin masuk ke
mulutnya dan ketika burung tersebut memperhatikan cincin tersebut, burung gagak
tersebut berkata, "Diberkatilah kita, saudara perempuan kita yang
tersayang mungkin ada disini, inilah saatnya kita bisa terbebas dari kutukan."
Sang Gadis yang berdiri di belakang pintu mendengar perkataan mereka, akhirnya
maju kedepan dan saat itu pula, ketujuh burung gagak berubah kembali menjadi
manusia. Mereka akhirnya berpelukan dan pulang bersama ke rumah mereka dengan
bahagia.
Kodok dan Seekor Kerbau
Seekor kerbau datang ke sebuah kolam yang penuh dengan
alang-alang untuk minum. Ketika dia menginjakkan kakinya yang berat ke atas
air, secara tidak sengaja dia menginjak seekor kodok kecil sehingga masuk ke
dalam lumpur. Ibu kodok yang tidak melihat kejadian itu selanjutnya mulai
merasa kehilangan satu anakknya dan bertanya kepada anak kodok yang lainnya
apa-apa saja yang terjadi dengan anak kodok itu.
"Besar
katanya!" kata ibu kodok, sambil meniup dirinya sendiri sehingga
menggelembung menjadi besar. "Apakah dia sebesar ini?"
"Oh, jauh lebih besar!" kata mereka
serempak.
Ibu kodok kembali menggelembungkan dirinya lebih besar
lagi.
"Dia tidak mungkin lebih besar dari ini,"
katanya kembali. Tetapi kodok-kodok yang kecil itu mengatakan bahwa makhluk
tersebut jauh lebih besar dan ibu kodok tersebut terus meniup dan
menggelembungkan dirinya lagi dan lagi hingga dia meledak.
Jangan mencoba melakukan sesuatu yang tidak mungkin.
Katak dan Permata
Pada suatu masa, ada seorang wanita yang telah
menjanda dan memiliki dua orang putri. Putri tertua memiliki wajah dan perangai
yang sangat mirip dengan ibunya sehingga orang sering berkata bahwa siapapun
yang melihat putri tertua tersebut, sama dengan melihat ibunya. Mereka berdua
mempunyai sifat jelek yang sama, sangat sombong dan tidak pernah menghargai
orang lain.
Putri yang termuda, merupakan gambaran dari ayahnya
yang telah meninggal, sama-sama memiliki sifat baik hati, senang membantu orang
dan sangat sopan. Banyak yang menganggap bahwa putri termuda adalah wanita yang
tercantik yang pernah mereka lihat.
Karena kecenderungan orang untuk menyukai hal yang sama dengan diri mereka, ibunya menjadi sangat sayang kepada putri yang tertua, sedangkan putri yang termuda diperlakukan dengan buruk, putri termuda sering disuruhnya bekerja tanpa henti dan tidak boleh bersama mereka makan di meja makan. Dia hanya diperbolehkan makan di ruang dapur sendiri saja.
Karena kecenderungan orang untuk menyukai hal yang sama dengan diri mereka, ibunya menjadi sangat sayang kepada putri yang tertua, sedangkan putri yang termuda diperlakukan dengan buruk, putri termuda sering disuruhnya bekerja tanpa henti dan tidak boleh bersama mereka makan di meja makan. Dia hanya diperbolehkan makan di ruang dapur sendiri saja.
Putri yang termuda sering dipaksa dua kali sehari
untuk mengambil air dari sumur yang letaknya sangat jauh dari rumah
mereka. Suatu hari ketika putri yang termuda berada di mata air ini, datanglah
seorang wanita tua yang kelihatan sangat miskin, yang memintanya untuk
mengambilkan dirinya air minum.
"Oh! ya, dengan senang hati," kata gadis
cantik ini yang dengan segera mengambil kendinya, mengambil air dari tempat
yang paling jernih di mata air tersebut, dan memberikan kepada wanita itu,
sambil membantu memegang kendinya agar wanita tua itu dapat minum dengan mudah.
"Kamu
sangat cantik, sangat baik budi dan sangat sopan, saya tidak bisa tidak
memberikan kamu hadiah." Ternyata wanita tua tersebut adalah seorang peri
yang menyamar menjadi wanita tua yang miskin untuk melihat seberapa jauh
kebaikan hati dan kesopanan putri termuda. "Saya akan memberikan kamu
sebuah hadiah," lanjut sang Peri, "Mulai saat ini, dari setiap kata
yang kamu ucapkan, dari mulutmu akan keluar sebuah bunga atau sebuah batu
berharga."
Ketika putri termuda yang cantik ini pulang kerumah,
dimana saat itu ibunya memarahinya karena menganggap putri termuda tersebut
terlalu lama kembali dari mengambil air.
"Saya minta maaf, mama," kata putri termuda,
"karena saya terlambat pulang."
Saat mengucapkan kata itu, dari mulutnya keluarlah dua
buah bunga, dua buah mutiara dan dua buah permata.
"Apa yang saya lihat itu?" kata ibunya
dengan sangat terkejut, "Saya melihat mutiara dan permata keluar dari
mulutmu! Bagaimana hal ini bisa terjadi, anakku?"
Untuk pertama kalinya ibunya memanggilnya dengan
sebutan 'anakku'.
Putri termuda kemudian menceritakan semua kejadian
yang dialami secara terus terang, dan dari mulutnya juga berturut-turut
keluarlah permata yang tidak terhitung jumlahnya.
"Sungguh mengagumkan," kata ibunya,
"Saya harus mengirim anakku yang satu lagi kesana." Dia lalu
memanggil putri tertua dan berkata "Kemarilah, lihat apa yang keluar dari
mulut adikmu ketika dia berbicara. Apakah kamu tidak ingin memiliki hal yang
dimiliki adikmu? Kamu harus segera berangkat ke mata air tersebut dan apabila
kamu menemui wanita tua yang meminta kamu untuk mengambilkan air minum,
ambilkanlah untuknya dengan cara yang sangat sopan."
"Adik termuda pasti sangat senang melihat saya
mengambil air dari mata air yang jauh," katanya dengan cemberut.
"Kamu harus pergi, sekarang juga!" kata
ibunya lagi.
Akhirnya putri tertua berangkat juga sambil mengomel
di perjalanan, sambil membawa kendi terbaik yang terbuat dari perak.
Tidak lama kemudian dia tiba di mata air tersebut,
kemudian dia melihat seorang wanita yang berpakaian sangat mewah keluar dari
dalam hutan, mendekatinya, dan memintanya untuk mengambilkan air minum. Wanita
ini sebenarnya adalah peri yang bertemu dengan adiknya, tetapi kali ini peri
tersebut menyamar menjadi seorang putri bangsawan.
"Apakah saya datang kesini," kata putri
tertua dengan sangat sombong, "hanya untuk memberikan kamu air? dan kamu
pikir saya membawa kendi perak ini untuk kamu? Kalau kamu memang mau minum,
kamu boleh meminumnya jika kamu merasa pantas."
"Kamu keterlaluan dan berlaku tidak sopan,"
jawab sang Peri, "Baiklah, mulai sekarang, karena kamu sangat tidak sopan
dan sombong, saya akan memberikan kamu hadiah, dari setiap kata yang kamu
ucapkan, dari mulutmu akan keluar seekor ular atau seekor katak."
Saat dia pulang, ibunya yang melihat kedatangannya
dengan gembira menyambutnya dan bertanya:
"Bagaimana, anakku?"
"Bagaimana apanya, ma?" putri tertua
menjawab dengan cara yang tidak sopan, dan dari mulutnya keluarlah dua
ekor ular berbisa dan dua ekor katak.
"Oh! ampun," kata ibunya; "apa yang
saya lihat ini? Oh! pastilah adik mu yang sengaja telah merencanakan kejadian
ini, tapi dia akan mendapatkan hukumannya"; dan dengan segera dia
berlari mendekati putri termudanya dan memukulnya. Putri termuda kemudian lari
menjauh darinya dan bersembunyi di dalam hutan yang tidak jauh dari rumahnya
agar tidak mendapat pukulan lagi.
Seorang anak Raja, yang baru kembali dari berburu di
hutan, secara kebetulan bertemu dengan putri termuda yang sedang menangis. Anak
Raja tersebut kagum akan kecantikan putri termuda kemudian bertanya mengapa
putri tersebut sendirian di dalam hutan dan menangis terisak-isak.
"Tuanku, ibu saya telah mengusir saya dari
rumah."
Saat itu, anak Raja melihat lima atau enam mutiara dan
permata keluar dari mulut putri termuda, dia menjadi penasaran dan meminta
putri termuda menceritakan mengapa dari mulutnya keluar permata saat berkata
sesuatu. Putri termuda kemudian menceritakan semua kisahnya, dan anak Raja
tersebut menjadi bertambah kagum akan kebaikan hati dan kesopanan tutur kata
putri termuda. Anak Raja menjadi jatuh hati pada putri termuda dan beranggapan
bahwa putri termuda sangat pantas menjadi istrinya. Anak Raja akhirnya
mengajukan lamaran dan menikahi putri termuda.
Sedangkan putri tertua, membuat dirinya sendiri begitu
dibenci oleh ibunya sendiri karena kelakuannya yang sangat buruk dan di usir
keluar dari rumah. Putri tertua akhirnya menjadi terlantar karena tidak
memiliki rumah lagi, dia lalu masuk ke dalam hutan dan mulai saat itu, orang
tidak pernah mendengar kabar tentangnya lagi.
Si Kancil dan Siput
Pada suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali.
Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. “Aaa....rrrrgh”, si kancil nampak
sesekali menguap. Karena hari itu cukup cerah, si kancil merasa rugi jika
menyia-nyiakannya. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa
kantuknya. Sampai di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya,
“Wahai penduduk hutan, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di
hutan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku”.
Sambil membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai
berjalan menuruni bukit. Ketika sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor
siput. “Hai kancil !”, sapa si siput. “Kenapa kamu teriak-teriak? Apakah kamu
sedang bergembira?”, tanya si siput. “Tidak, aku hanya ingin memberitahukan
pada semua penghuni hutan kalau aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan
pintar”, jawab si kancil dengan sombongnya.
Setelah si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan
teman-temannya. Ia meminta tolong agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi
di jalur perlombaan, dan menjawab kalau si kancil memanggil.
Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan
siput pun sudah siap untuk lomba lari. “Apakah kau sudah siap untuk berlomba
lari denganku”, tanya si kancil. “Tentu saja sudah, dan aku pasti menang”,
jawab si siput. Kemudian si siput mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu
dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana si siput.
Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau
dia akan menang. Setelah beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si
siput. “Siput....sudah sampai mana kamu?”, teriak si kancil. “Aku ada di
depanmu!”, teriak si siput. Kancil terheran-heran, dan segera mempercepat
langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi, dan si siput menjawab dengan
kata yang sama.”Aku ada didepanmu!”
Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si
siput, ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya
bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal.
Kancil berlari terus, sampai akhirnya dia melihat
garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena waktu dia memanggil
siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa dialah pemenang dari
perlombaan lari itu.
Betapa terkejutnya si kancil, karena dia melihat si
siput sudah duduk di batu dekat garis finish. “Hai kancil, kenapa kamu lama
sekali? Aku sudah sampai dari tadi!”, teriak si siput. Dengan menundukkan
kepala, si kancil menghampiri si siput dan mengakui kekalahannya. “Makanya
jangan sombong, kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang
terpandai dan cerdik”, kata si siput. “Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan
sombong lagi”, kata si kancil.
Jack dan Pohon Kacang
|
Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang anak
laki-laki yang bernama Jack. Ia tinggal di rumah dengan ibunya. Hidup mereka
sangat memprihatinkan, dan harta yang mereka miliki hanyalah seekor sapi tua
yang produksi susunya mulai berkurang. Hingga suatu hari, ibu menyuruh Jack
pergi ke pasar untuk menjual sapi mereka satu-satunya itu. Uang hasil
penjualan sapi tersebut nantinya akan digunakan untuk membeli biji gandum dan
kemudian akan menanamnya di ladang belakang rumah mereka.
Keesokan harinya, Jack pergi ke pasar untuk menjual
sapinya. Di tengah perjalanan menuju ke pasar, Jack bertemu dengan seorang
kakek. Kakek tersebut lalu menyapa Jack. “Hai nak, mau dibawa kemana sapi
itu?” Lalu Jack menjawab,”Aku mau menjual sapi ini ke pasar Kek”. Setelah
mendengar jawaban Jack, kakek itu lalu menawarkan untuk menukar sapinya
dengan sebutir kacang. “Maukah engkau menukar sapimu dengan kacang ajaib
ini?", kata kakek itu. "Apa, menukar sebutir kacang dengan
sapiku?" kata Jack terkejut. "Jangan menghina, ya! Ini adalah
kacang ajaib. Jika kau menanamnya dan membiarkannya semalam, maka pagi
harinya kacang ini akan tumbuh sampai ke langit, kata kakek itu menjelaskan.
"Jika begitu baiklah," jawab Jack.
Sesampainya di rumah, Jack menceritakan semuanya
kepada ibunya. Setelah mendengar cerita Jack, ibu sangat terkejut dan marah.
"Bagaimana bisa kau tukar sapi itu dengan sebutir biji kacang ini?
Bagaimana mungkin kita hidup hanya dengan sebutir biji kacang?" Saking
marahnya, sang Ibu melempar biji kacang tersebut keluar jendela. Tapi apa
yang terjadi keesokan harinya? Ternyata ada pohon raksasa yang tumbuh sampai
mencapai langit. "Wah, ternyata benar apa yang dikatakan oleh kakek itu,
gumam Jack". Lalu dengan hati-hati ia langsung memanjat pohon raksasa
itu. "Aduh, mengapa tidak sampai juga ke ujung pohon ya?" kata Jack
dalam hati.
Tidak berapa lama kemudian, Jack melihat ke bawah.
Ia melihat rumah-rumah menjadi sangat kecil. Akhirnya Jack sampai ke awan. Di
sana ia bisa melihat sebuah istana yang sangat besar sekali. "Aku haus
dan lapar, mungkin di istana itu aku menemukan makanan," gumam Jack.
Sesampainya di depan pintu istana, ia mengetuknya dengan keras.
"Kriek..." pintu yang besar itu terbuka. Ketika ia menengadah,
muncul seorang raksasa wanita yang besar. "Ada apa nak?", kata
wanita itu. "Selamat pagi, saya haus dan lapar, bolehkah saya minta
sedikit makanan?" Wah, kau anak yang sopan sekali. Masuklah! Makan di
dalam saja, ya!" kata wanita itu ramah.
Ketika sedang makan, tiba-tiba terdengar suara langkah
kaki yang keras, Duk Duk! Ternyata suami wanita itu yang datang. Ia adalah
Raksasa Pemakan Manusia. Dengan cepat wanita itu berkata pada Jack.
"Nak, cepatlah sembunyi! Suamiku datang." "Huaaa…. Aku pulang.
Cepat siapkan makan!" teriak raksasa itu. Jack menahan nafas di dalam
tungku. Raksasa itu tiba-tiba mencium bau manusia. Lalu ia mengintip ke dalam
tungku. Cepat-cepat istrinya berkata,"Itu bau manusia yang kita bakar
kemarin. Sudahlah tenang saja. Ini makanannya sudah siap."
Setelah makan, raksasa mengeluarkan pundi-pundi yang
berisi uang emas curiannya, setelah lama menghitung dia merasa sangat capek.
Tak berapa lama kemudian raksasa itu akhirnya tertidur karena lelah. Melihat
hal itu, Jack segera keluar dari persembunyiannya. Sebelum pulang, ia mengambil
uang emas hasil curian si raksasa itu sambil berjalan mengendap-endap menuju
pohon kacang. Jack terus menuruni pohon kacang dan akhirnya sampai di rumah.
"Ibu… lihatlah emas ini. Mulai sekarang kita jadi orang kaya."
"Tak mungkin kau mendapat uang sebanyak ini dengan mudah. Apa yang kamu
lakukan?" Lalu Jack menceritakan semua kejadian pada ibunya. "Kau
terlalu berani Jack! Bagaimana jika raksasa itu datang untuk mengambilnya
kembali," kata ibunya dengan kuatir. Semenjak mendapatkan uang emas,
tiap harinya Jack hanya bersantai-santai saja dengan uang curiannya. Tidak
berapa lama, uang hasil curiannya pun habis. Jack kembali memanjat pohon
kacang, untuk menuju ke istana. "Eh kau datang lagi. Ada apa?" kata
istri raksasa itu. "Selamat siang Bu. Karena saya belum makan dari pagi,
perutku jadi lapar sekali." Ibu yang baik itu diam saja, tapi ia tetap
memberi Jack makan siang. Tiba-tiba…. Duk Duk Duk! Terdengar suara langkah
kaki raksasa. Seperti dulu, Jack kembali bersembunyi di tungku.
Setelah masuk ke rumahnya, raksasa itu makan dengan
lahapnya. Setelah itu ia meletakkan ayam hasil curiannya ke atas meja sambil
berkata, "Ayam, keluarkan telur emasmu." Lalu ayam itu berkokok,
"kukuruyuuk….," ia mengeluarkan sebutir telur emas. Raksasa merasa
puas, ia minum sake sampai akhirnya tertidur. "Telur emas? Wah
hebat!" pikir Jack. Diam-diam ia menangkap ayam itu dan cepat-cepat lari
pulang ke rumah. Dengan ayam petelur emasnya, Jack menjadi orang yang malas
dan suka bersantai-santai saja. Karena tiap hari ayam itu mengeluarkan telur
lebih dari seharusnya, ayam itu pun akhirnya mati. Jack merasa bingung,
karena persediaan duitnya kian menipis. Akhirnya Jack memutuskan untuk
kembali lagi ke istana raksasa itu. Dan lagi-lagi ia bersembunyi di tungku,
ketika raksasa laki-laki pulang sambil membawa harpa. Sambil minum sake,
raksasa berkata," Hai harpa, mainkan sebuah melodi yang indah."
Keajaiban pun terjadi, harpa itu memainkan sendiri sebuah melodi indah.
Raksasa pun mulai tertidur dengan pulas setelah mendengarkan merdunya musik
yang dimainkan harpa itu.
Seperti biasanya, Jack mulai beraksi pada saat
raksasa tertidur. Jack lalu keluar dari persembunyiannya, dan langsung menuju
meja tempat harpa diletakkan. Tapi saat Jack akan mengambil harpa, tiba-tiba
saja ada sesuatu yang mengejutkan. Harpa itu berteriak dengan keras, “Tuanku,
ada pencuri…!!!” Raksasa itu pun terbangun. Ia segera mengejar Jack
yang berlari sambil membawa harpa milik raksasa itu. Raksasa terus mengejar,
menuruni pohon kacang. Ketika hampir sampai di bawah, Jack berteriak dengan
suara keras. "Ibuu…. Ambilkan kapak dari gudang! cepat! cepat! Betapa
terkejutnya sang Ibu melihat sosok raksasa yang datang mengejar Jack, ia
gemetar karena amat takut. Begitu turun dari pohon, Jack segera menebang pohon
kacang itu dengan kapaknya.
Dengan suara yang keras, pohon kacang rubuh. Raksasa
itu pun jatuh ke tanah, dan mati. Ibu sangat lega melihat Jack selamat.
Sambil mengangis ia berkata : "Jack, jangan lagi kau melakukan hal yang
menyeramkan seperti ini. Betapapun miskinnya kita bekerjalah dengan
sungguh-sungguh. Dengan bersyukur kepada Tuhan, pasti kita berdua akan hidup
dengan baik." "Maafkan saya Ibu, mulai sekarang saya akan bekerja
dengan sungguh-sungguh, kata Jack pada Ibunya." Sejak saat itu, Jack
bekerja dengan rajin setiap harinya. Dengan ditemani harpa yang memainkan
melodi-melodi indah yang menambah semangat kerja Jack.
|
Kura-kura
dan Sepasang Itik
Seekor kura-kura, yang kamu tahu selalu membawa
rumahnya di belakang punggungnya, dikatakan tidak pernah dapat meninggalkan
rumahnya, biar bagaimana keras kura-kura itu berusaha. Ada yang mengatakan
bahwa dewa Jupiter telah menghukum kura-kura karena kura-kura tersebut sangat
malas dan lebih senang tinggal di rumah dan tidak pergi ke pesta pernikahan
dewa Jupiter, walaupun dewa Jupiter telah mengundangnya secara khusus.
Setelah bertahun-tahun, si kura-kura mulai
berharap agar suatu saat dia bisa menghadiri pesta pernikahan. Ketika dia
melihat burung-burung yang beterbangan dengan gembira di atas langit dan bagaimana
kelinci dan tupai dan segala macam binatang dengan gesit berlari, dia merasa
sangat ingin menjadi gesit seperti binatang lain. Si kura-kura merasa sangat
sedih dan tidak puas. Dia ingin melihat dunia juga, tetapi dia memiliki rumah
pada punggungnya dan kakinya terlalu kecil sehingga harus terseret-seret ketika
berjalan.
"Kami
dapat menolongmu untuk melihat dunia," kata itik tersebut.
"Berpeganglah pada kayu ini dengan gigimu dan kami akan membawamu jauh ke
atas langit dimana kamu bisa melihat seluruh daratan di bawahmu. Tetapi kamu
harus diam dan tidak berbicara atau kamu akan sangat menyesal."
Kura-kura tersebut sangat senang hatinya. Dia
cepat-cepat memegang kayu tersebut erat-erat dengan giginya, sepasang itik tadi
masing-masing menahan kedua ujung kayu itu dengan mulutnya, dan terbang naik ke
atas awan.
Saat itu seekor burung gagak terbang
melintasinya. Dia sangat kagum dengan apa yang dilihatnya dan berkata:
"Kamu pastilah Raja dari kura-kura!"
"Pasti saja......" kura-kura mulai
berkata.
Tetapi begitu dia membuka mulutnya untuk
mengucapkan kata-kata tersebut, dia kehilangan pegangan pada kayu tersebut dan
jatuh turun ke bawah, dimana dia akhirnya terbanting ke atas batu-batuan yang
ada di tanah.
Rasa ingin tahu yang bodoh dan kesombongan
sering menyebabkan kesialan.
Pangeran
Kodok
Suatu ketika, bola emas itu dimainkan dan
dilempar-lemparkan keatas, bola emas itu tergelincir dari tangan putri Raja dan
terjatuh di tanah dekat sumur lalu terguling masuk ke dalam sumur tersebut.
Mata putri raja hanya bisa memandangi bola tersebut meluncur kedalam sumur yang
dalam, begitu dalamnya hingga dasar sumur tidak kelihatan lagi. Putri raja tersebut
mulai menangis, dan terus menangis seolah-olah tidak ada hyang bisa
menghiburnya lagi. Di tengah-tengah tangisannya dia mendengarkan satu suara
yang berkata kepadanya,
"Apa yang membuat kamu begitu sedih, sang
Putri? air matamu dapat melelehkan hati yang terbuat dari batu."
Dan ketika putri raja tersebut melihat darimana
sumber suara tersebut berasal, tidak ada seseorangpun yang kelihatan, hanya
seekor kodok yang menjulurkan kepala besarnya yang jelek keluar dari air.
"Oh, kamukah yang berbicara?" kata sang
putri; "Saya menangis karena bola emas saya tergelincir dan jatuh kedalam
sumur."
"Jangan kuatir, jangan menangis," jawab
sang kodok, "Saya bisa menolong kamu; tetapi apa yang bisa kamu berikan
kepada saya apabila saya dapat mengambil bola emas tersebut?"
"Apapun yang kamu inginkan," katanya;
"pakaian, mutiara dan perhiasan manapun yang kamu mau, ataupun
mahkota emas yang saya pakai ini."
"Pakaian, mutiara, perhiasan dan mahkota
emas mu bukanlah untuk saya," jawab sang kodok; "Bila saja kamu menyukaiku,
dan menganggap saya sebagai teman bermain, dan membiarkan saya duduk di mejamu,
dan makan dari piringmu, dan minum dari gelasmu, dan tidur di ranjangmu, - jika
kamu berjanji akan melakukan semua ini, saya akan menyelam ke bawah sumur dan
mengambilkan bola emas tersebut untuk kamu."
"Ya tentu," jawab sang putri raja;
"Saya berjanji akan melakukan semua yang kamu minta jika kamu mau
mengambilkan bola emas ku."
Tetapi putri raja tersebut berpikir,
"Omong kosong apa yang dikatakan oleh kodok ini! seolah-olah sang
kodok ini bisa melakukan apa yang dimintanya selain berkoak-koak dengan kodok
lain, bagaimana dia bisa menjadi pendamping seseorang."
Tetapi kodok tersebut, begitu mendengar sang
putri mengucapkan janjinya, menarik kepalanya masuk kembali ke dalam ari dan
mulai menyelam turu, setelah beberapa saat dia kembali kepermukaan dengan bola
emas pada mulutnya dan melemparkannya ke atas rumput.
Putri raja menjadi sangat senang melihat
mainannya kembali, dan dia mengambilnya dengan cepat dan lari menjauh.
"Berhenti, berhenti!" teriak sang
kodok; "bawalah aku pergi juga, saya tidak dapat lari secepat kamu!"
Tetapi hal itu tidak berguna karena sang putri
itu tidak mau mendengarkannya dan mempercepat larinya pulang ke rumah, dan
dengan cepat melupakan kejadian dengan sang kodok, yang masuk kembali ke dalam
sumur.
Hari berikutnya, ketika putri Raja sedang duduk
di meja makan dan makan bersama Raja dan menteri-menterinya di piring emasnya,
terdengar suara sesuatu yang meloncat-loncat di tangga, dan kemudian terdengar
suara ketukan di pintu dan sebuah suara yang berkata "Putri raja yang
termuda, biarkanlah saya masuk!"
Putri Raja yang termuda itu kemudian berjalan ke
pintu dan membuka pintu tersebut, ketika dia melihat seekor kodok yang duduk di
luar, dia menutup pintu tersebut kembali dengan cepat dan tergesa-gesa duduk
kembali di kursinya dengan perasaan gelisah. Raja yang menyadari perubahan
tersebut berkata,
"Anakku, apa yang kamu takutkan? apakah ada
raksasa berdiri di luar pintu dan siap untuk membawa kamu pergi?"
"Oh.. tidak," jawabnya; "tidak ada
raksasa, hanya kodok jelek."
"Dan apa yang kodok itu minta?" tanya
sang Raja.
Dan kemudian mereka semua mendengar kembali
ketukan kedua di pintu dan berkata,
"Putri Raja yang termuda, bukalah pintu
untuk saya!, Apa yang pernah kamu janjikan kepadaku? Putri Raja yang termuda,
bukalah pintu untukku!"
"Apa yang pernah kamu janjikan harus kamu
penuhi," kata sang Raja; "sekarang biarkanlah dia masuk."
Ketika dia membuka pintu, kodok tersebut melompat
masuk, mengikutinya terus hingga putri tersebut duduk kembali di kursinya.
Kemudian dia berhenti dan memohon, "Angkatlah saya supaya saya bisa duduk
denganmu."
Tetapi putri Raja tidak memperdulikan kodok
tersebut sampai sang Raja memerintahkannya kembali. Ketika sang kodok sudah
duduk di kursi, dia meminta agar dia dinaikkan di atas meja, dan disana dia
berkata lagi,
"Sekarang bisakah kamu menarik piring
makanmu lebih dekat, agar kita bisa makan bersama."
Dan putri Raja tersebut melakukan apa yang
diminta oleh sang kodok, tetapi semua dapat melihat bahwa putri tersebut hanya
terpaksa melakukannya.
"Saya merasa cukup sekarang," kata sang
kodok pada akhirnya, "dan saya merasa sangat lelah, kamu harus membawa
saya ke kamarmu, saya akan tidur di ranjangmu."
Kemudian putri Raja tersebut mulai menangis
membayangkan kodok yang dingin tersebut tidur di tempat tidurnya yang bersih.
Sekarang sang Raja dengan marah berkata kepada putrinya,
"Kamu adalah putri Raja dan apa yang kamu
janjikan harus kamu penuhi."
Sekarang putri Raja mengangkat kodok tersebut
dengan tangannya, membawanya ke kamarnya di lantai atas dan menaruhnya di sudut
kamar, dan ketika sang putri mulai berbaring untuk tidur, kodok tersebut datang
dan berkata, "Saya sekarang lelah dan ingin tidur seperti kamu, angkatlah
saya keatas ranjangmu, atau saya akan melaporkannya kepada ayahmu."
Putri raja tersebut menjadi sangat marah,
mengangkat kodok tersebut keatas dan melemparkannya ke dinding sambil menangis,
"Diamlah kamu kodok jelek!"
Tetapi ketika kodok tersebut jatuh ke lantai, dia
berubah dari kodok menjadi seseorang pangeran yang sangat tampan. Saat itu juga
pangeran tersebut menceritakan semua kejadian yang dialami, bagaimana seorang
penyihir telah membuat kutukan kepada pangeran tersebut, dan tidak ada yang
bisa melepaskan kutukan tersebut kecuali sang putri yang telah di takdirkan
untuk bersama-sama memerintah di kerajaannya.
Dengan
persetujuan Raja, mereka berdua dinikahkan dan saat itu datanglah sebuah kereta
kencana yang ditarik oleh delapan ekor kuda dan diiringi oleh Henry pelayan
setia sang Pangeran untuk membawa sang Putri dan sang Pangeran ke kerajaannya
sendiri. Ketika kereta tersebut mulai berjalan membawa keduanya, sang Pangeran
mendengarkan suara seperti ada yang patah di belakang kereta. Saat itu sang
Pangeran langsung berkata kepada Henry pelayan setia, "Henry, roda kereta
mungkin patah!", tetapi Henry menjawab, "Roda kereta tidak patah,
hanya ikatan rantai yang mengikat hatiku yang patah, akhirnya saya bisa
terbebas dari ikatan ini".
Ternyata Henry pelayan setia telah mengikat
hatinya dengan rantai saat sang Pangeran dikutuk menjadi kodok agar dapat ikut
merasakan penderitaan yang dialami oleh sang Pangeran, dan sekarang rantai
tersebut telah terputus karena hatinya sangat berbahagia melihat sang Pangeran
terbebas dari kutukan.
Putri
Tidur
Di zaman dahulu kala, hiduplah seorang Raja dan
Ratu yang tidak memiliki anak; masalah ini membuat Raja dan Ratu sangatlah
sedih. Tetapi di suatu hari, ketika sang Ratu berjalan di tepi sungai, seekor
ikan kecil mengangkat kepalanya keluar dari air dan berkata, "Apa yang
kamu inginkan akan terpenuhi, dan kamu akan segera mempunyai seorang
putri."
Apa yang ikan kecil tersebut ramalkan segera
menjadi kenyataan; dan sang Ratu melahirkan seorang gadis kecil yang sangat
cantik sehingga sang Raja tidak dapat menahan kegembiraannya dan mengadakan
perjamuan besar besaran. Dia lalu mengundang semua sanak keluarga, teman dan
seluruh penduduk dikerajaannya. Semua peri yang ada dikerajaannya juga turut
diundang agar mereka dapat ikut menjaga dan memberikan berkah kepada putri
kecilnya. Di kerajaannya terdapat tiga belas orang peri dan sang Raja hanya
memiliki dua belas piring emas, sehingga Raja tersebut memutuskan untuk
mengundang dua belas orang peri saja dan tidak mengundang peri yang ketiga
belas. Semua tamu dan peri telah hadir dan setelah perjamuan mereka memberikan
hadiah-hadiah terbaiknya untuk putri kecil itu, satu orang peri memberikan
kebaikan, peri yang lainnya memberikan kecantikan, yang lainnya lagi memberikan
kekayaan, dan begitu pula dengan peri-peri yang lainnya sehingga putri kecil
itu hampir mendapatkan semua hal-hal yang terbaik yang ada di dunia. Ketika
peri yang kesebelas selesai memberikan berkahnya, peri ketiga belas yang tidak
mendapat undangan dan menjadi sangat marah itu, datang dan membalas dendam. Dia
berkata, "Putri Raja dalam usianya yang kelima belas akan tertusuk oleh
jarum jahit dan meninggal." Kemudian peri yang kedua belas yang belum
memberikan berkahnya kepada sang Putri, maju kedepan dan berkata bahwa kutukan
yang dikatakan oleh peri ketiga belas tersebut akan terjadi, tetapi dia dapat
memperlunak kutukan itu, dan berkata bahwa sang Putri tidak akan meninggal,
tetapi hanya jatuh tertidur selama seratus tahun.
Raja berharap agar dia dapat menyelamatkan putri
kesayangannya dari ancaman kutukan itu dan memerintahkan semua jarum jahit di
istananya harus di bawa keluar dan dimusnahkan. Sementara itu, semua berkah
yang diberikan oleh peri-peri tadi terwujud, sang Putri menjadi sangat cantik,
baik budi, ramah-tamah dan bijaksana, hingga semua orang mencintainya. Tepat
pada usianya yang kelima belas, Raja dan Ratu kebetulan meninggalkan istana,
dan sang Putri ditinggalkan sendiri di istana. Sang Putri menjelajah di istana
sendirian dan melihat kamar-kamar yang ada pada istana itu, hingga akhirnya dia
masuk ke satu menara tua dimana terletak satu tangga sempit menuju ke atas yang
berakhir dengan satu pintu kecil. Pada pintu tersebut tergantung sebuah kunci
emas, dan ketika dia membuka pintu tersebut, dilihatnya seorang wanita tua
sedang menjahit dengan jarum jahit dan kelihatan sangat sibuk.
"Hai ibu yang baik," kata sang Putri,
"Apa yang kamu lakukan disini?"
"Menjahit dan menyulam," kata wanita
tua itu, kemudian menganggukkan kepalanya.
"Betapa cantiknya hasil sulaman mu!"
kata sang Putri, dan mengambil jarum jahit dan mulai ikut menyulam. Tetapi
secara tidak sengaja dia tertusuk oleh jarum tersebut dan apa yang diramalkan
sewaktu dia masih kecil, terjadi, sang Putri jatuh ke tanah seolah-olah tidak
bernyawa lagi.
Seperti yang diramalkan bahwa walaupun sang Putri
akan tertusuk oleh jarum jahit, sang Putri tidak akan meninggal, melainkan
hanya akan tertidur pulas; Raja dan Ratu yang baru saja pulang ke istana,
beserta semua menteri juga jatuh tertidur, kuda di kandang, anjing di halaman,
burung merpati di atas atap dan lalat yang berada di dinding, semuanya jatuh
tertidur. Bahkan api yang menyalapun menjadi terhenti, daging yang dipanggang
menjadi kaku, tukang masak, yang saat itu sedang menarik rambut seorang anak
kecil yang melakukan hal-hal yang kurang baik, juga jatuh tertidur, semuanya
tertidur pulas dan diam.
Dengan cepat tanaman-tanaman liar berduri di
sekitar istana tumbuh dan memagari istana, dan setiap tahun bertambah tebal dan
tebal hingga akhirnya semua tempat di telah dikelilingi oleh tanaman tersebut
dan menjadi tidak kelihatan lagi. Bahkan atap dan cerobong asap juga sudah
tidak dapat dilihat karena telah tertutup oleh tanaman tersebut. Tetapi kabar
tentang putri cantik yang tertidur menyebar ke seluruh daratan sehingga banyak
anak-anak Raja dan Pangeran mencoba untuk datang dan berusaha untuk masuk ke
dalam istana itu. Tetapi mereka tidak pernah dapat berhasil karena duri dan
tanaman yang terhampar menjalin dan menjerat mereka seolah-olah mereka dipegang
oleh tangan, dan akhirnya mereka tidak dapat maju lagi.
Setelah bertahun-tahun berlalu, orang-orang yang
telah tua menceritakan cerita tentang seorang putri raja yang sangat cantik,
betapa tebalnya duri yang memagari istana putri tersebut, dan betapa indahnya
istana yang terselubung dalam duri itu. Dia juga menceritakan apa yang
didengarnya dari kakeknya dahulu bahwa banyak pangeran telah mencoba untuk
menembus semak belukar tersebut, tetapi semuanya tidak pernah ada yang
berhasil.
Kemudian seorang pangeran yang mendengar
ceritanya berkata, "Semua cerita ini tidak akan menakutkan saya, Saya akan
pergi dan melihat Putri Tidur tersebut." Walaupun orang tua yang bercerita
tadi telah mencegah pangeran itu untuk pergi, pangeran tersebut tetap memaksa
untuk pergi.
Ketika dia masuk lebih kedalam, semuanya terasa
begitu sunyi sehingga dia bisa mendengar suara nafasnya sendiri; hingga dia
tiba di menara tua dan membuka pintu dimana Putri Tidur tersebut berada. Putri
Tidur terlihat begitu cantik sehingga sang Pangeran tidak dapat melepaskan
matanya dari sang Putri. Sang Pangeran lalu berlutut dan mencium sang Putri.
Saat itulah sang Putri membuka matanya dan terbangun, tersenyum kepada sang
Pangeran karena kutukan sang peri ketiga belas telah patah.
Mereka berdua lalu keluar dari menara tersebut
dan saat itu Raja dan Ratu juga telah terbangun termasuk semua menterinya yang
saling memandang dengan takjub. Kuda-kuda istana pun terbangun dan meringkik,
anjing-anjing juga melompat bangun dan menggonggong, burung-burung merpati di
atap mengeluarkan kepalanya dari bawah sayapnya, melihat sekeliling lalu
terbang ke langit; lalat yang didinding langsung beterbangan kembali; api
didapur kembali menyala; tukang masak yang tadinya memegang rambut seorang anak
laki-laki dan ingin menghukumnya melanjutkan hukumannya dengan memutar telinga
anak tersebut hingga anak tersebut menangis.
Akhirnya Raja dan Ratu mengadakan pesta
pernikahan untuk sang Putri dan Pangeran yang berakhir dengan kebahagiaan
sepanjang hidup mereka.
Penyihir
Tua
Pada zaman dahulu kala, hiduplah dua orang anak
gadis yang tinggal bersama ayah dan ibunya. Ayah mereka tidak mempunyai
pekerjaan, dan gadis-gadis tersebut ingin keluar dan mencari pekerjaan agar
dapat menghidupi orangtua mereka. Satu orang gadis itu ingin bekerja menjadi
pelayan, dan ibunya berkata bahwa dia mungkin bisa bekerja apabila dia
menemukan tempat untuk bekerja di kota. Akhirnya anak gadis tersebut berjalan
ke kota untuk mulai mencari tempat pekerjaan, tetapi di kota tersebut, tidak
ada yang ingin mempekerjakan gadis seperti dia. Gadis kecil itu
kemudian berjalan lebih jauh sampai tiba di pedesaan, dan dia datang ke
tempat dimana disana ditemukan banyak sekali tungku pemanggang dan roti.
Lalu roti tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, bawalah kami
keluar. Kami telah memanggang selama tujuh tahun, dan tidak ada orang yang
pernah membawa kami keluar." Gadis tersebut lalu membawa keluar roti
tersebut, membaringkannya di tanah dan segera berjalan pergi kembali.
Kemudian dia bertemu dengan seekor sapi, dan sapi tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, perahlah susuku, perahlah susuku! Tujuh tahun saya telah menunggu dan tidak ada orang yang pernah datang untuk memerahku." Gadis tersebut kemudian memerah susu sapi tersebut ke ember yang ada didekatnya. Karena kehausan, dia meminum sedikit susu tersebut dan membiarkan sisanya tetap di dalam ember.
Kemudian gadis tersebut berjalan lebih jauh dan bertemu dengan sebuah pohon apel, yang penuh dengan buah apel sehingga dahan-dahannya kelihatan banyak yang patah, lalu pohon apel tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, tolong guncangkan buahku, dahan dan cabangku sudah patah karena terlalu berat." Lalu gadis itu berkata, "Tentu saja saya akan membantumu, kamu terlihat sangat kasihan." Lalu dia mengguncangkan dahan pohon apel tersebut sehingga buahnya lepas dari dahan pohon dan terjatuh ke tanah, lalu membiarkan buah apel tersebut tergeletak di tanah.
Kemudian dia berjalan dan berjalan lagi hingga dia tiba di sebuah rumah. Rumah tersebut di huni oleh seorang penyihir tua, dan penyihir ini berkeinginan untuk membawa gadis tersebut ke rumahnya untuk dijadikan pelayan. Saat dia mendengar bahwa gadis tersebut memang meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan, dia berkata akan mencobanya dan memberikan upah yang pantas. Penyihir tua tersebut menyebutkan pekerjaan yang harus dilakukan. "Kamu harus tetap memelihara agar rumah ini bersih dan rapih, menyapu lantai dan perapian; tetapi ada satu hal yang jangan pernah kamu lakukan. Kamu jangan pernah melihat ke atas cerobong asap rumah ini, karena sesuatu yang buruk akan menimpa kamu nantinya."
Kemudian dia bertemu dengan seekor sapi, dan sapi tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, perahlah susuku, perahlah susuku! Tujuh tahun saya telah menunggu dan tidak ada orang yang pernah datang untuk memerahku." Gadis tersebut kemudian memerah susu sapi tersebut ke ember yang ada didekatnya. Karena kehausan, dia meminum sedikit susu tersebut dan membiarkan sisanya tetap di dalam ember.
Kemudian gadis tersebut berjalan lebih jauh dan bertemu dengan sebuah pohon apel, yang penuh dengan buah apel sehingga dahan-dahannya kelihatan banyak yang patah, lalu pohon apel tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, tolong guncangkan buahku, dahan dan cabangku sudah patah karena terlalu berat." Lalu gadis itu berkata, "Tentu saja saya akan membantumu, kamu terlihat sangat kasihan." Lalu dia mengguncangkan dahan pohon apel tersebut sehingga buahnya lepas dari dahan pohon dan terjatuh ke tanah, lalu membiarkan buah apel tersebut tergeletak di tanah.
Kemudian dia berjalan dan berjalan lagi hingga dia tiba di sebuah rumah. Rumah tersebut di huni oleh seorang penyihir tua, dan penyihir ini berkeinginan untuk membawa gadis tersebut ke rumahnya untuk dijadikan pelayan. Saat dia mendengar bahwa gadis tersebut memang meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan, dia berkata akan mencobanya dan memberikan upah yang pantas. Penyihir tua tersebut menyebutkan pekerjaan yang harus dilakukan. "Kamu harus tetap memelihara agar rumah ini bersih dan rapih, menyapu lantai dan perapian; tetapi ada satu hal yang jangan pernah kamu lakukan. Kamu jangan pernah melihat ke atas cerobong asap rumah ini, karena sesuatu yang buruk akan menimpa kamu nantinya."
Saat dia berjalan pulang ke rumahnya, dia
mendengar kedatangan penyihir tua yang datang mengejarnya. Gadis tersebut
kemudian berlari ke pohon apel dan berkata:
"Pohon
apel, pohon apel, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Pohon apel tersebut kemudian menyembunyikan si
gadis. Ketika penyihir tua datang dan berkata:
"Pohon milikku, pohon milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Kemudian pohon apel itu berkata, "Tidak,
ibunda, saya tidak pernah melihatnya selama tujuh tahun."
Ketika penyihir tua itu pergi dan berjalan ke
arah lain, gadis itu melanjutkan perjalannya dan tepat saat dia bertemu dengan
sapi yang tadi diperahnya, dia kembali mendengar penyihir itu datang
mengejarnya kembali, sehingga dia lari ke sapi tersebut dan berkata:
"Sapi, sapi, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Sapi tersebut kemudian menyembunyikan sang gadis.
Ketika penyihir tua itu tiba, dia mencari-cari
dan bertanya kepada sapi tersebut:
"Sapi milikku, sapi milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Kemudian sapi itu berkata, "Tidak, ibunda,
saya tidak pernah melihatnya selama tujuh tahun."
Ketika penyihir itu telah pergi ke arah lain,
gadis kecil tersebut melanjutkan perjalannya, dan ketika dia berada dekat
dimana dia bertemu dengan tungku panggangan, dia kembali mendengar penyihir tua
itu datang mengejarnya, sehingga dia lari ke tungku pangganan dan berkata:
"Tungku panggangan, tungku panggangan,
sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Tungku panggangan berkata, "Saya tidak punya
ruangan kosong, tanyakan pada pembuat roti," dan kemudian pembuat roti
menyembunyikan gadis kecil itu di belakang tungku.
Ketika penyihir tua itu tiba dan melihat
kesana-kemari, dia bertanya kepada pembuat roti:
"Pembuat roti milikku, pembuat roti
milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Pembuat roti itu berkata, "Lihat di dalam
tungku" Penyihir itu masuk untuk melihatnya, dan tungku panggangan itu
berkata, "Masuklah dan lihat ke sudut yang paling dalam." Penyihir
tua itu melakukannya, dan ketika dia telah ada dalam tungku, tungku tersebut
menutup pintunya, hingga penyihir itu tertahan disana dalam waktu yang lama.
Gadis itu kemudian pulang ke rumahnya dengan
kantongan yang penuh dengan uang, akhirnya menikah dengan orang yang sangat
kaya dan hidup bahagia setelahnya.
Saudara dari gadis tersebut berpikir bahwa dia
akan pergi dan melakukan hal yang sama dengan gadis yang pertama tadi. Dia
kemudian melakukan perjalanan yang sama. Tetapi ketika dia bertemu dengan
tungku panggangan, dan saat roti berkata "Gadis kecil, gadis kecil,
bawalah kami keluar. Kami telah memanggang selama tujuh tahun, dan tidak
ada orang yang pernah membawa kami keluar." Gadis tersebut lalu berkata,
"Tidak, saya tidak ingin jari-jari saya terbakar."
Kemudian dia berjalan dan bertemu dengan seekor sapi, dan sapi tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, perahlah susuku, perahlah susuku! Tujuh tahun saya telah menunggu dan tidak ada orang yang pernah datang untuk memerahku." Tetapi gadis itu berkata, "Tidak, saya tidak sempat memerah susumu, saya sedang terburu-buru," dan pergi secepatnya. Kemudian gadis tersebut berjalan lebih jauh dan bertemu dengan sebuah pohon apel yang meminta bantuan agar gadis tersebut membantu dia mengguncangkan buah-buahnya. "Saya tidak bisa, mungkin di hari lain." Lalu dia berjalan sampai ke rumah penyihir tua itu. Kejadian yang sama dengan gadis pertama dialami oleh gadis tersebut, dia juga melupakan apa yang dikatakan oleh penyihir tua dan saat penyihir tua itu keluar rumah, dia melihat ke atas cerobong asap, dan kantong-kantong berisi uangpun berjatuhan. Dia langsung berpikir bahwa dia dapat pergi dan lepas dari rumah itu, dan ketika dia mencapai pohon apel, dia mendengar penyihir tersebut datang mengejarnya, dia lalu berkata kepada pohon apel:
Kemudian dia berjalan dan bertemu dengan seekor sapi, dan sapi tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, perahlah susuku, perahlah susuku! Tujuh tahun saya telah menunggu dan tidak ada orang yang pernah datang untuk memerahku." Tetapi gadis itu berkata, "Tidak, saya tidak sempat memerah susumu, saya sedang terburu-buru," dan pergi secepatnya. Kemudian gadis tersebut berjalan lebih jauh dan bertemu dengan sebuah pohon apel yang meminta bantuan agar gadis tersebut membantu dia mengguncangkan buah-buahnya. "Saya tidak bisa, mungkin di hari lain." Lalu dia berjalan sampai ke rumah penyihir tua itu. Kejadian yang sama dengan gadis pertama dialami oleh gadis tersebut, dia juga melupakan apa yang dikatakan oleh penyihir tua dan saat penyihir tua itu keluar rumah, dia melihat ke atas cerobong asap, dan kantong-kantong berisi uangpun berjatuhan. Dia langsung berpikir bahwa dia dapat pergi dan lepas dari rumah itu, dan ketika dia mencapai pohon apel, dia mendengar penyihir tersebut datang mengejarnya, dia lalu berkata kepada pohon apel:
"Pohon apel, pohon apel, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan mematahkan tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan mematahkan tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Tetapi pohon apel tersebut hanya diam dan
akhirnya gadis tersebut melanjutkan larinya. Ketika penyihir tua datang dan
berkata:
"Pohon milikku, pohon milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Pohon apel tersebut berkata, "Ya, ibunda,
dia pergi ke arah sana."
Akhirnya penyihir tua itu menemukan dan menangkap
gadis tersebut, mengambil kembali uang yang telah diambil, memukulnya dan
mengirimkannya pulang ke orangtuanya.
Seorang
Raja dan Nelayan
Suatu hari dia duduk bersama Sherem, sang Ratu,
di taman istana yang berhadapan langsung dengan tepi sungai Tigris, yang pada
saat itu terentang jajaran perahu yang indah; dan dengan pandangan yang penuh
selidik pada perahu-perahu yang meluncur, dimana pada satu perahu duduk seorang
nelayan yang mempunyai tangkapan ikan yang besar.
Menyadari bahwa sang Raja mengamatinya, dan tahu
bahwa sang Raja ini sangat menggemari ikan tertentu, nelayan tersebut memberi
hormat pada sang Raja dan dengan ahlinya membawa perahunya ketepian, datang dan
berlutut pada sang Raja dan memohon agar sang Raja mau menerima ikan tersebut
sebagai hadiah. Sang Raja sangat senang dengan hal ini, dan memerintahkan agar
sejumlah besar uang diberikan kepada nelayan tersebut.
Tetapi sebelum nelayan tersebut meninggalkan
taman istana, Ratu berputar menghadap sang Raja dan berkata: "Kamu telah
melakukan sesuatu yang bodoh." Sang Raja terkejut mendengar Ratu berkata
demikian dan bertanya bagaimana bisa. Sang Ratu membalas:
"Berita bahwa kamu memberikan sejumlah besar
hadiah untuk hadiah yang begitu kecil akan cepat menyebar ke seluruh kerajaan
dan akan dikenal sebagai hadiah nelayan. Semua nelayan yang mungkin berhasil
menangkap ikan yang besar akan membawanya ke istana, dan apabila mereka tidak
dibayar sebesar nelayan yang pertama, mereka akan pergi dengan rasa tidak puas,
dan dengan diam-diam akan berbicara jelek tentang kamu diantara
teman-temannya."
"Kamu berkata benar, dan ini membuka mata
saya," kata sang Raja, "tetapi tidakkah kamu melihat apa artinya
menjadi Raja, apabila untuk alasan tersebut dia menarik kembali hadiah yang
telah diberikan?" Kemudian setelah merasa bahwa sang Ratu siap untuk
membantah hal itu, dia membalikkan badan dengan marah dan berkata "Hal ini
sudah selesai dan tidak usah dibicarakan lagi."
Bagaimanapun juga, dihari berikutnya, ketika
pikiran sang Raja sedang senang, Ratu menghampirinya dan berkata bahwa jika
dengan alasan itu sang Raja tidak dapat menarik kembali hadiah yang telah
diberikan, dia sendiri yang akan mengaturnya. "Kamu harus memanggil
nelayan itu kembali," katanya, "dan kemudian tanyakan, 'Apakah ikan ini
jantan atau betina?' Jika dia berkata jantan, lalu kamu katankan bahwa yang
kamu inginkan adalah ikan betina, tetapi bila nelayan tersebut berkata bahwa
ikan tersebut betina, kamu akan membalasnya dengan mengatakan bahwa kamu
menginginkan ikan jantan. Dengan cara ini hal tersebut dapat kita sesuaikan
dengan baik."
Raja berpendapat bahwa ini adalah jalan yang
terbaik untuk keluar dari kesulitan, dan memerintahkan agar nelayan tadi dibawa
ke hadapannya. Ketika nelayan tersebut, yang ternyata adalah orang yang sangat
pandai, berlutut di hadapan raja, sang Raja berkata kepadanya: "Hai
nelayan, katakan padaku, ikan yang kamu bawa kemarin adalah jantan atau
betina?"
Kemudian
nelayan itu menyimpan uang tersebut dalam kantong kulitnya, berterima kasih
kepada Raja, dan memanggul kantong tersebut diatas bahunya, bergegas pergi,
tetapi tidak lama kemudian, dia menyadari bahwa dia telah menjatuhkan satu koin
kecil. Dengan menaruh kantong tersebut kembali ke tanah, dia membungkuk dan memungut
koin itu dan kembali melanjutkan perjalanannya, diikuti dengan pandangan mata
Raja dan Ratu yang mengawasi semua tindakannya.
"Lihat! betapa pelitnya dia!" kata
Sherem, sang Ratu, dengan bangga atas kemenangannya. "Dia benar-benar
menurunkan kantongnya hanya untuk memungut satu buah koin kecil karena mungkin
dia akan sangat merasa kehilangan hanya dengan berpikir bahwa koin tersebut
akan diambil oleh salah seorang pelayan Raja, atau seseorang yang lebih miskin,
yang membutuhkannya untuk membeli sebuah roti dan yang memohon agar raja
dikaruniai umur panjang."
Saat itu
nelayan tersebut berlutut pada kedua kakinya dan menangis: "Dengarkanlah
hamba, Oh sang Raja, pelindung rakyat miskin! Semoga Tuhan memberkahi Tuanku
dengan umur panjang. Bukan nilai dari koin tersebut yang hamba pungut, tetapi
karena pada satu sisi koin tersebut tertera tulisan pujian atas nama Tuhan, dan
disisi lainnya tergambar wajah Raja. Hamba takut bahwa seseorang, mungkin
dengan tidak sengaja karena tidak melihat koin tersebut, akan menginjaknya.
Biarlah sang Raja yang menentukan apakah yang saya lakukan ini pantas untuk
dicela atau tidak."
Jawaban tersebut membuat sang Raja sangat senang
tidak terhingga, dan memberikan lagi nelayan terseut sejumlah besar uang. Dan
kemarahan Ratu saat itu juga menjadi reda, dan dia menjadi sadar dan melihat
dengan ramah terhadap nelayan tersebut yang pergi dengan kantung yang dimuati
dengan uang.
Enam
Serdadu
"Saya tidak akan diam saja melihat hal
ini," katanya; "tunggu hingga saya menemukan orang yang tepat untuk
membantu saya, dan raja harus memberikan semua harta dari negaranya sebelum
masalah saya dengan dia selesai."
Kemudian, dengan penuh kemarahan, dia masuk ke
dalam hutan, dan melihat satu orang berdiri disana mencabuti enam buah pohon
seolah-olah pohon itu adalah tangkai-tangkai jagung. Dan dia berkata kepada
orang itu,
"Maukah kamu menjadi orangku, dan ikut
dengan saya?"
"Baiklah," jawab orang itu; "Saya
harus membawa pulang sedikit kayu-kayu ini terlebih kerumah ayah dan
ibuku." Dan mengambil satu persatu pohon tersebut, dan menggabungkannya
dengan 5 pohon yang lain dan memanggulnya di pundak, dia lalu berangkat pergi;
segera setelah dia datang kembali, dia lalu ikut bersama dengan pimpinannya,
yang berkata,
"Berdua kita bisa menghadapi seluruh dunia."
"Berdua kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Dan tidak lama mereka berjalan, mereka bertemu
dengan satu orang pemburu yang berlutut pada satu kaki dan dengan hati-hati
membidikkan senapannya.
"Pemburu," kata si pemimpin, "apa yang kamu bidik?"
"Dua mil dari sini," jawabnya, "ada seekor lalat yang hinggap pada pohon Oak, Saya bermaksud untuk menembak mata kiri dari lalat tersebut."
"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Bertiga kita bisa menghadapi seluruh dunia"
"Pemburu," kata si pemimpin, "apa yang kamu bidik?"
"Dua mil dari sini," jawabnya, "ada seekor lalat yang hinggap pada pohon Oak, Saya bermaksud untuk menembak mata kiri dari lalat tersebut."
"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Bertiga kita bisa menghadapi seluruh dunia"
Pemburu tersebut sangat ingin ikut dengannya,
jadi mereka semua berangkat bersama hingga mereka menemukan tujuh kincir angin,
yang baling-baling layarnya berputar dengan kencang, walaupun disana tidak ada
angin yang bertiup dari arah manapun, dan tak ada daun-daun yang bergerak.
"Wah," kata si Pemimpin, "Saya
tidak bisa berpikir apa yang menggerakkan kincir angin, berputar tanpa
angin;" dan ketika mereka berjalan sekitar dua mil ke depan, mereka
bertemu dengan seseorang yang duduk diatas sebuah pohon, sedang menutup satu
lubang hidungnya dan meniupkan napasnya melalui lubang hidung yang satu.
"Sekarang," kata si Pemimpin, "Apa yang kamu lakukan diatas sana?"
"Dua mil dari sini," jawab orang itu, "disana ada tujuh kincir angin; saya meniupnya hingga mereka dapat berputar."
"Oh, ikutlah dengan saya," bujuk si Pemimpin, "Berempat kita bisa menghadapi seluruh dunia."
"Sekarang," kata si Pemimpin, "Apa yang kamu lakukan diatas sana?"
"Dua mil dari sini," jawab orang itu, "disana ada tujuh kincir angin; saya meniupnya hingga mereka dapat berputar."
"Oh, ikutlah dengan saya," bujuk si Pemimpin, "Berempat kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Jadi si Peniup turun dan berangkat bersama
mereka, dan setelah beberapa saat, mereka bertemu dengan seseorang yang berdiri
diatas satu kaki, dan kaki yang satunya yang dilepas, tergeletak tidak jauh
darinya.
"Kamu terlihat mempunyai cara yang unik saat beristirahat," kata si Pemimpin kepada orang itu.
"Saya adalah seorang pelari," jawabnya, "dan untuk menjaga agar saya tidak bergerak terlalu cepat Saya telah melepas sebuah kaki saya, Jika saya menggunakan kedua kaki saya, Saya akan jauh lebih cepat dari pada burung yang terbang."
"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Berlima kita bisa menghadapi seluruh dunia."
"Kamu terlihat mempunyai cara yang unik saat beristirahat," kata si Pemimpin kepada orang itu.
"Saya adalah seorang pelari," jawabnya, "dan untuk menjaga agar saya tidak bergerak terlalu cepat Saya telah melepas sebuah kaki saya, Jika saya menggunakan kedua kaki saya, Saya akan jauh lebih cepat dari pada burung yang terbang."
"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Berlima kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Jadi mereka akhirnya berangkat bersama, dan tidak
lama setelahnya, mereka bertemu dengan seseorang yang memakai satu topi kecil,
dan dia memakainya hanya tepat diatas satu telinganya saja.
"Bersikaplah yang benar! bersikaplah yang benar!" kata si Pemimpin; "dengan topi seperti itu, kamu kelihatan seperti orang bodoh."
"Saya tidak berani memakai topi ini dengan lurus," jawabnya lagi, "Jika saya memakainya dengan lurus, akan terjadi badai salju dan semua burung yang terbang akan membeku dan jatuh mati dari langit ke tanah."
Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin; "Berenam kita bisa menghadapi seluruh dunia."
"Bersikaplah yang benar! bersikaplah yang benar!" kata si Pemimpin; "dengan topi seperti itu, kamu kelihatan seperti orang bodoh."
"Saya tidak berani memakai topi ini dengan lurus," jawabnya lagi, "Jika saya memakainya dengan lurus, akan terjadi badai salju dan semua burung yang terbang akan membeku dan jatuh mati dari langit ke tanah."
Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin; "Berenam kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Jadi orang yang keenam ikut berangkat bersama
hingga mereka mencapai kota dimana raja yang menyebabkan penderitaannya akan
memulai pertandingan dimana siapapun yang jadi pemenang akan dinikahkan dengan
putrinya, tetapi siapapun yang kalah akan dibunuh sebagai hukumannya. Lalu si
Pemimpin maju kedepan dan berkata bahwa satu dari orangnya akan mewakili
dirinya dalam pertandingan tersebut.
"Kalau begitu," kata raja, "hidupnya harus dipertaruhkan, dan jika dia gagal, dia dan kamu harus dihukum mati."
"Kalau begitu," kata raja, "hidupnya harus dipertaruhkan, dan jika dia gagal, dia dan kamu harus dihukum mati."
Ketika si Pemimpin telah setuju, dia memanggil si
Pelari, dan memasangkan kakinya yang kedua pada si Pelari.
"Sekarang, lihat baik-baik," katanya, "dan berjuanglah agar kita menang."
"Sekarang, lihat baik-baik," katanya, "dan berjuanglah agar kita menang."
Telah disepakati bahwa siapapun yang paling
pertama bisa membawa pulang air dari anak sungai yang jauh dan telah ditentukan
itu akan dianggap sebagai pemenang. Sekarang putri raja dan si Pelari
masing-masing mengambil kendi air, dan mereka mulai berlari pada saat yang
sama; tetapi dalam sekejap, ketika putri raja tersebut berlari agak jauh, si
Pelari sudah hilang dari pandangan karena dia berlari secepat angin. Dalam
sekejap dia telah mencapai anak sungai, mengisi kendinya dengan air dan berlari
pulang kembali. Ditengah perjalanan pulang, dia mulai merasa kelelahan, dan berhenti,
menaruh kendinya dilantai dan berbaring di tanah untuk tidur. Agar dapat
terbangun secepatnya dan tidak tertidur pulas, dia mengambil sebuah tulang
tengkorak kuda yang tergeletak didekatnya dan menggunakannya sebagai bantal.
Sementara itu, putri raja, yang sebenarnya juga pelari yang baik dan cukup baik
untuk mengalahkan orang biasa, telah mencapai anak sungai juga, mengisi
kendinya dengan air, dan mempercepat larinya pulang kembali, saat itu dia
melihat si Pelari yang telah tertidur di tengah jalan.
"Hari ini adalah milik saya," dia
berkata dengan gembira, dan dia mengosongkan dan membuang air dari kendi si
Pelari dan berlari pulang. Sekarang hampir semuanya telah hilang tetapi si
Pemburu yang juga berdiri di atas dinding kastil, dengan matanya yang tajam
dapat melihat semua yang terjadi.
"Kita tidak boleh kalah dari putri
raja," katanya, dan dia mengisi senapannya, mulai membidik dengan teliti
dan menembak tengkorak kuda yang dijadikan bantal dibawah kepala si Pelari
tanpa melukai si Pelari. Si Pelari terbangun dan meloncat berdiri, dan melihat
banya kendinya telah kosong dan putri raja sudah jauh berlari pulang ke tempat
pertandingan dimulai. Tanpa kehilangan keberaniannya, dia berlari kembali ke
anak sungai, mengisi kendinya kembali dengan air, dan untuk itu, dia berhasil
lari pulang kembali 10 menit sebelum putri raja tiba.
"Lihat," katanya; "ini adalah
pertama kalinya saya benar-benar menggunakan kaki saya untuk berlari"
Raja menjadi jengkel, dan putrinya lebih jengkel
lagi, karena dia telah dikalahkan oleh serdadu biasa yang telah dipecat; adn
mereka berdua sepakat untuk menyingkirkan serdadu beserta pengikutnya
bersama-sama.
"Saya punya rencana," jawab sang Raja;
"jangan takut tetapi kita harus mendiamkan mereka selama-lamanya."
Kemudian mereka menemui serdadu dan pengikutnya, mengundang mereka untuk makan
dan minum; dan sang Raja memimpin mereka menuju ke sebuah ruangan, yang
lantainya terbuat dari besi, pintunya juga terbuat dari besi, dan di jendelanya
terdapat rangka-rangka besi; dalam ruangan itu ada sebuah meja yang penuh
dengan makanan.
"Sekarang, masuklah kedalam dan buatlah dirimu senyaman mungkin," kata sang Raja.
"Sekarang, masuklah kedalam dan buatlah dirimu senyaman mungkin," kata sang Raja.
Ketika serdadu dan pengikutnya semua masuk, dia
mengunci pintu tersebut dari luar. Dia kemudian memanggil tukang masak, dan
menyuruhnya untuk membuat api yang sangat besar dibawah ruangan tersebut hingga
lantai besi menjadi sangat panas. Dan tukang masak tersebut melakukan apa yang
diperintahkan oleh Raja, dan keenam orang didalamnya mulai merasakan ruangan
menjadi panas, tapi berpikir bahwa itu karena makanan yang mereka makan,
seiring dengan suhu ruangan yang bertambah panas, mreka menyadari bahwa pintu
dan jendela telah dikunci rapat, mereka menyadari rencana jahat sang raja untuk
membunuh mereka.
"Bagaimanapun juga, dia tidak akan pernah
berhasil," kata laki-laki dengan topi kecil; "Saya akan membawa badai
salju yang akan membuat api merasa malu pada dirinya sendiri dan merangkak
pergi."
Dia lalu memasang topinya lurus diatas kepala,
dan secepat itu badai salju datang dan membuat semua udara panas menjadi hilang
dan makanan menjadi beku diatas meja. Setelah satu atau dua jam berlalu, Raya
menyangka bahwa mereka telah terbunuh karena panas, dan menyuruh untuk membuka
kembali pintu ruangan tersebut, dan masuk kedalam untuk melihat keadaan mereka.
Ketika pintu terbuka lebar, mereka berenam ternyata selamat dan terlihat mereka
telah siap untuk keluar untuk menghangatkan diri karena ruangan tersebut
terlalu dingin dan menyebabkan makanan di meja menjadi beku. Dengan penuh
kemarahan, raja mendatangi tukang masak, mencaci dan menanyakan mengapa tukang
masak itu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan.
"Ruangan tersebut cukup panas; kamu mungkin
bisa melihatnya sendiri," kata tukang masak. Sang Raja melihat kebawah
ruangan besi tersebut dan melihat api yang berkobar-kobar di bawahnya, dan
mulai berpikir bahwa keenam orang itu tidak dapat disingkirkan dengan cara itu.
Dia mulai memikirkan rencana baru, jadi dia memanggil serdadu yang menjadi
pemimpin tersebut dan berkata kepadanya,
"Jika kamu tidak ingin menikahi putri saya
dan memilih harta berupa emas, kamu boleh mengambilnya sebanyak yang kamu
mau."
"Baiklah, tuanku Raja," jawab si
Pemimpin; "biarkan saya mengambil emas sebanyak yang dapat dibawa oleh
pengikutku, dan saya tidak akan menikahi putrimu." Raja setuju bahwa si
Pemimpin akan datang dalam dua minggu untuk mengambil emas yang dijanjikan. Si
Pemimpin memanggil semua penjahit yang ada di kerajaan tersebut dan menyuruh
mereka untuk membuat karung yang sangat besar dalam dua minggu. Dan ketika
karung itu telah siap, orang kuat (yang dijumpai mencabut dan mengikat pohon)
memanggul karung tersebut di pundaknya dan menghadap sang Raja.
"Siapa orang yang membawa buntalan sebesar
rumah di pundaknya ini?" teriak sang Raja, ketakutan karena memikirkan
banyaknya emas yang bisa dibawa pergi. Dan satu ton emas yang biasanya diseret
oleh 16 orang kuat, hanya di panggulnya di pundak dengan satu tangan.
"Mengapa tidak kamu bawa lebih banyak lagi?
emas ini hanya menutupi dasar dari kantung ini!" Jadi raja menyuruh untuk
mengisinya perlahan-lahan dengan seluruh kekayaannya, dan walaupun begitu,
kantung tersebut belum terisi setengah penuh.
"Bawa lebih banyak lagi!" teriak si Kuat; "harta-harta ini belum berarti apa-apa!" Kemudian akhirnya 7000 kereta yang dimuati dengan emas yang dikumpulkan dari seluruh kerajaan berakhir masuk dalam karungnya.
"Kelihatannya belum terlalu penuh," katanya, "tetapi saya akan membawa apa yang bisa saya bawa." walaupun dalam karung tersebut masih tersedia ruangan yang kosong.
"Saya harus mengakhirinya sekarang," katanya; "Jika tidak penuh, sepertinya lebih mudah untuk mengikatnya." Dan orang kuat itu lalu menaikkan karung tersebut dipunggungnya dan berangkat
pergi bersama dengan teman-temannya.
"Bawa lebih banyak lagi!" teriak si Kuat; "harta-harta ini belum berarti apa-apa!" Kemudian akhirnya 7000 kereta yang dimuati dengan emas yang dikumpulkan dari seluruh kerajaan berakhir masuk dalam karungnya.
"Kelihatannya belum terlalu penuh," katanya, "tetapi saya akan membawa apa yang bisa saya bawa." walaupun dalam karung tersebut masih tersedia ruangan yang kosong.
"Saya harus mengakhirinya sekarang," katanya; "Jika tidak penuh, sepertinya lebih mudah untuk mengikatnya." Dan orang kuat itu lalu menaikkan karung tersebut dipunggungnya dan berangkat
Ketika
sang Raja melihat semua kekayaan dari kerajaanya dibawa oleh hanya satu orang,
dia merasa sangat marah, dan dia memerintahkan pasukannya untuk mengejar keenam
orang itu dan merampas kembali karung itu dari si Kuat.
Dua pasukan kuda segera dapat mengejar mereka,
memerintahkan keenam orang itu untuk menyerah dan menjadi tawanan, dan
mengembalikan kembali karung harta itu atau dibunuh.
"Menjadi tawanan, katamu?" kata orang
yang bisa meniup, "mungkin kalian perlu menari-nari di udara
bersama-sama," dan menutup satu lubang hidungnya, dan meniupkan napas
melalui lubang yang satunya, pasukan tersebut beterbangan melewati atas gunung.
Tetapi komandan yang memiliki sembilan luka dan merupakan orang yang pemberani,
memohon agar mereka tidak dipermalukan. Si Peniup kemudian menurunkannya perlahan-lahan
dan memerintahkan agar mereka melaporkan ke sang Raja bahwa pasukan apapun yang
dikirim kan untuk mengejar mereka, akan mengalami nasib yang sama dengan
pasukan ini. Dan ketika sang Raja mendapat pesan tersebut, berkata,
"Biarkanlah mereka; mereka mempunyai hak
atas harta itu." Jadi keenam orang itu membawa pulang harta mereka,
membagi-bagikannya dan hidup senang sampai akhir hayat mereka.
Burung Tempua dan Burung Puyuh
Di tanah
Melayu pada zaman dahulu kala hiduplah seekor burung Tempua dan seekor burung
Puyuh. Keduanya bersahabat akrab, tolong menolong dan menyayangi sejak lama.
Pada siang hari mereka sehilir semudik mencari makan bersama-sama. Suka dan
duka selalu bersama. Kalau hujan sama berteduh, kalau panas sama bernaung.
Mereka berpisah hanya jika pada malam hari. Dalam semua hal mereka sepakat,
namun dalam hal bersarang mereka berbeda pendapat.
Suatu hari mereka bercakap tentang sarang burung yang terbaik. Menurut Tempua, sarangnya nyaman dan aman, sementara puyuh menceritakan sarangnya yang praktis.
“Aku memiliki sarang yang cantik. Sarangku terbuat dari helaian alang-alang dan rumput kering. Helaian itu dijalin dengan rapi sehingga tidak akan basah saat hujan, dan tidak akan kepanasan di kala terik. Aku menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membuatnya,” kata Tempua.
Sarang Tempua tergantung tinggi di atas pohon walaupun ada yang agak rendah. Jika rendah maka pasti di dekatnya ada sarang ular, lebah atau penyengat. Tempua berlindung pada hewan-hewan tersebut. Kalau Tempua bersarang rendah, pastilah ada yang menjaganya. Orang Melayu mengatakan, “kalau tidak ada berada, takkan mungkin Tempua bersarang rendah.” Hanya karena keberadaan sesuatu hal (penjaga) maka Tempua mau bersarang di dahan rendah.
Berbeda dengan Tempua, sarang burung Puyuh lebih praktis. Puyuh merasa tak perlu menghabiskan waktunya untuk membuat sarang. Puyuh cukup mencari batang pohon yang tumbang untuk berlindung di bawahnya. Jika tidak aman, Puyuh akan berpindah ke tempat lain lagi.
“Dengan sarang berpindah-pindah, musuh tidak tahu keberadaanku pada malam hari,” kata Puyuh.
Akhirnya mereka sepakat untuk mencoba sarang masing-masingnya. Malam pertama, Puyuh mencoba sarang Tempua. Dengan susah payah Puyuh memanjat pohon sarang Tempua tergantung. Sesampai di sarang Tempua, Puyuh terkagum-kagum melihat sarang Tempua yang nyaman, kering dan bersih serta rapi. Kemudian, malam pun berlarut, Puyuh merasa haus dan meminta minum kepada Tempua. “Maaf kawan. Tidak mungkin aku terbang dan turun mencari air karena keadaan gelap gulita,” kata Tempua. Puyuh pun tertidur dalam kehausan.
Tak lama ketika Puyuh dan Tempua tidur pulas, tiba-tiba angin bertiup kencang. Pohon tempat sarang Tempua pun bergoyang-goyang seakan-akan mau tumbang. Sarang Tempua pun terayun-ayun. Puyuh ketakutan sekali dan seakan-akan mau muntah karena terombang-ambing. “Tenanglah kawan, kita tidak akan jatuh,” kata Tempua menghibur. Tak lama angin pun reda.
Keesokan harinya mereka bangun pagi-pagi sekali. Puyuh berkata, “kawan, aku tak mau lagi tidur di sarangmu. Aku takut jatuh lagi pula aku tidak bisa menahan haus.” Tempua diam saja dan memaklumi alasan Puyuh. Mereka pun kembali bersama-sama mencari makan siang hari itu.
Setelah hari mulai gelap, Puyuh mengajak Tempua mencari pohon tumbang untuk dijadikan tempat bermalam karena malam ini giliran Tempua yang mencoba sarang Puyuh. Setelah mencari, akhirnya ditemukan pohon tumbang di dekat air mengalir. Sangat cocok bagi Puyuh.
“Puyuh, dimana kita akan tidur?” tanya Tempua karena ia tidak melihat sarang untuk tidur mereka.
“Disini, kita akan berlindung di bawah pohon ini,” jawab Puyuh. Tempua merasa tidak nyaman, tetapi mengikuti apa yang dilakukan Puyuh.
Tak lama kemudian, Puyuh sudah tertidur pulas sedangkan Tempua masih gelisah dan mondar-mandir saja. Tiba-tiba hujan turun, membasahi tempat Puyuh dan Tempua tidur. “Puyuh, aku kedinginan,” kata Tempua. “Tidak apa-apa, kalau hujan reda tentu tidak akan kedinginan lagi,” jawab Puyuh.
Keesokan harinya Tempua mengeluh pada Puyuh bahwa ia tidak bisa tidur di sarang Puyuh. Ternyata mereka masing-masing tidak cocok dengan sarang kawannya. Mereka akhirnya memahami bahwa setiap makhluk mempunyai kesukaan dan kebiasaan yang tidak bisa dipaksakan. Walaupun berbeda begitu, mereka saling menghargai perbedaan dan pendapat itu sebagai hal yang wajar. Keduanya juga tetap bersahabat.
Suatu hari mereka bercakap tentang sarang burung yang terbaik. Menurut Tempua, sarangnya nyaman dan aman, sementara puyuh menceritakan sarangnya yang praktis.
“Aku memiliki sarang yang cantik. Sarangku terbuat dari helaian alang-alang dan rumput kering. Helaian itu dijalin dengan rapi sehingga tidak akan basah saat hujan, dan tidak akan kepanasan di kala terik. Aku menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membuatnya,” kata Tempua.
Sarang Tempua tergantung tinggi di atas pohon walaupun ada yang agak rendah. Jika rendah maka pasti di dekatnya ada sarang ular, lebah atau penyengat. Tempua berlindung pada hewan-hewan tersebut. Kalau Tempua bersarang rendah, pastilah ada yang menjaganya. Orang Melayu mengatakan, “kalau tidak ada berada, takkan mungkin Tempua bersarang rendah.” Hanya karena keberadaan sesuatu hal (penjaga) maka Tempua mau bersarang di dahan rendah.
Berbeda dengan Tempua, sarang burung Puyuh lebih praktis. Puyuh merasa tak perlu menghabiskan waktunya untuk membuat sarang. Puyuh cukup mencari batang pohon yang tumbang untuk berlindung di bawahnya. Jika tidak aman, Puyuh akan berpindah ke tempat lain lagi.
“Dengan sarang berpindah-pindah, musuh tidak tahu keberadaanku pada malam hari,” kata Puyuh.
Akhirnya mereka sepakat untuk mencoba sarang masing-masingnya. Malam pertama, Puyuh mencoba sarang Tempua. Dengan susah payah Puyuh memanjat pohon sarang Tempua tergantung. Sesampai di sarang Tempua, Puyuh terkagum-kagum melihat sarang Tempua yang nyaman, kering dan bersih serta rapi. Kemudian, malam pun berlarut, Puyuh merasa haus dan meminta minum kepada Tempua. “Maaf kawan. Tidak mungkin aku terbang dan turun mencari air karena keadaan gelap gulita,” kata Tempua. Puyuh pun tertidur dalam kehausan.
Tak lama ketika Puyuh dan Tempua tidur pulas, tiba-tiba angin bertiup kencang. Pohon tempat sarang Tempua pun bergoyang-goyang seakan-akan mau tumbang. Sarang Tempua pun terayun-ayun. Puyuh ketakutan sekali dan seakan-akan mau muntah karena terombang-ambing. “Tenanglah kawan, kita tidak akan jatuh,” kata Tempua menghibur. Tak lama angin pun reda.
Keesokan harinya mereka bangun pagi-pagi sekali. Puyuh berkata, “kawan, aku tak mau lagi tidur di sarangmu. Aku takut jatuh lagi pula aku tidak bisa menahan haus.” Tempua diam saja dan memaklumi alasan Puyuh. Mereka pun kembali bersama-sama mencari makan siang hari itu.
Setelah hari mulai gelap, Puyuh mengajak Tempua mencari pohon tumbang untuk dijadikan tempat bermalam karena malam ini giliran Tempua yang mencoba sarang Puyuh. Setelah mencari, akhirnya ditemukan pohon tumbang di dekat air mengalir. Sangat cocok bagi Puyuh.
“Puyuh, dimana kita akan tidur?” tanya Tempua karena ia tidak melihat sarang untuk tidur mereka.
“Disini, kita akan berlindung di bawah pohon ini,” jawab Puyuh. Tempua merasa tidak nyaman, tetapi mengikuti apa yang dilakukan Puyuh.
Tak lama kemudian, Puyuh sudah tertidur pulas sedangkan Tempua masih gelisah dan mondar-mandir saja. Tiba-tiba hujan turun, membasahi tempat Puyuh dan Tempua tidur. “Puyuh, aku kedinginan,” kata Tempua. “Tidak apa-apa, kalau hujan reda tentu tidak akan kedinginan lagi,” jawab Puyuh.
Keesokan harinya Tempua mengeluh pada Puyuh bahwa ia tidak bisa tidur di sarang Puyuh. Ternyata mereka masing-masing tidak cocok dengan sarang kawannya. Mereka akhirnya memahami bahwa setiap makhluk mempunyai kesukaan dan kebiasaan yang tidak bisa dipaksakan. Walaupun berbeda begitu, mereka saling menghargai perbedaan dan pendapat itu sebagai hal yang wajar. Keduanya juga tetap bersahabat.
--0O0--
Batang Tuaka
Batang
Tuaka merupakan sebuah sungai (batang) yang berada di Indragiri Riau. Sungai
ini menurut cerita rakyat Melayu, merupakan perwujudan dari tangisan seorang
ibu yang telah didurhakai oleh anaknya serta tangisan anaknya yang memohon
ampun kepada ibunya.
Pada zaman
dahulu di daerah Indragiri Riau, hiduplah seorang wanita bersama anak
laki-lakinya yang bernama Tuaka. Mereka hidup di sebuah gubuk yang terletak di
muara sebuah sungai. Ayah Tuaka telah lama meninggal. Mereka saling menyayangi.
Tuaka selalu membantu emaknya yang bekerja keras untuk penghidupan mereka.
Mereka sering ke hutan untuk mencari kayu bakar agar bisa dijual. Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari hutan, mereka melihat 2 ekor ular besar sedang berkelahi. Mereka segera berlindung dan mengamati perkelahian tersebut. Sepertinya 2 ekor ular tersebut sedang memperebutkan berupa sebutir permata. Akhirnya salah satu ular itu mati dan satunya lagi sangat kesakitan oleh luka-lukanya. Tuaka dan emaknya berusaha menolong ular itu dan membawanya pulang untuk dirawat.
Beberapa hari kemudian, ular tersebut mulai sembuh dan menghilang dari rumah Tuaka. Permata hasil kemenangan perkelahiaanya dahulu ditinggalkan dalam keranjang di rumah Tuaka. Tuaka dan emaknya terheran-heran dan mengamati permata itu dengan kagum.
“Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya Tuaka.
“Mungkin ular itu ingin berterima kasih kepada kita. Sebaiknya permata itu kita jual dan hasilnya bisa digunakan untuk berdagang,” jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur.
Permata itu laku dijual Tuaka dengan harga tinggi kepada seorang saudagar, cuma sayangnya uang saudagar tersebut kekurangan uang dan mengajak Tuaka ikut ke Temasik untuk menjemput semua uang tersebut. Setelah berpamitan dengan emaknya, Tuaka pun pergi ikut saudagar itu ke Temasik (Singapura).
Sesampai di Temasik, saudagar membayar semua uang kepada Tuaka. Karena uang berlimpah, Tuaka lupa akan pulang ke kampung halamannya. Dia berdagang dan menetap di Temasik dan menjadi saudagar kaya raya. Rumahnya megah, kapalnya banyak, istrinya pun cantik. Dia tak ingat lagi dengan emaknya yang miskin dan hidup sendirian di kampung.
Suatu hari, Tuaka mengajak istrinya berlayar dengan kapal ke suatu tempat. Kapal megah Tuaka akhirnya berlabuh di kampung halamannya. Tetapi, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya. Tuaka tidak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita tua yang miskin.
Sementara itu, kedatangan Tuaka terdengar sampai ke telinga emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang lama telah pergi. Emak pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka.
“Tuaka anakku. Emak merindukanmu, nak,” teriak emak dari sampan.
“Siapa gerangan wanita tua itu,” tanya istri Tuaka.
Tuaka yang malu mengetahui emaknya yang tua dan miskin datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.
“Hei penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka.
Emak Tuaka pergi menjauh dengan sedih. “Oh Tuhan... ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor elang dan istrinya menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih melihat anaknya berubah menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi anaknya tersebut.
Burung elang dan burung punai itu pun terus berputar-putar sambil menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu terus menetes dan membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka (Batang Tuaka). Jika di suatu siang tampak seekor elang terbang di sekitar muara Batang Tuaka sambil berkulik atau menangis, burung tersebut diyakini masyarakat sekitar sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.
Mereka sering ke hutan untuk mencari kayu bakar agar bisa dijual. Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari hutan, mereka melihat 2 ekor ular besar sedang berkelahi. Mereka segera berlindung dan mengamati perkelahian tersebut. Sepertinya 2 ekor ular tersebut sedang memperebutkan berupa sebutir permata. Akhirnya salah satu ular itu mati dan satunya lagi sangat kesakitan oleh luka-lukanya. Tuaka dan emaknya berusaha menolong ular itu dan membawanya pulang untuk dirawat.
Beberapa hari kemudian, ular tersebut mulai sembuh dan menghilang dari rumah Tuaka. Permata hasil kemenangan perkelahiaanya dahulu ditinggalkan dalam keranjang di rumah Tuaka. Tuaka dan emaknya terheran-heran dan mengamati permata itu dengan kagum.
“Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya Tuaka.
“Mungkin ular itu ingin berterima kasih kepada kita. Sebaiknya permata itu kita jual dan hasilnya bisa digunakan untuk berdagang,” jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur.
Permata itu laku dijual Tuaka dengan harga tinggi kepada seorang saudagar, cuma sayangnya uang saudagar tersebut kekurangan uang dan mengajak Tuaka ikut ke Temasik untuk menjemput semua uang tersebut. Setelah berpamitan dengan emaknya, Tuaka pun pergi ikut saudagar itu ke Temasik (Singapura).
Sesampai di Temasik, saudagar membayar semua uang kepada Tuaka. Karena uang berlimpah, Tuaka lupa akan pulang ke kampung halamannya. Dia berdagang dan menetap di Temasik dan menjadi saudagar kaya raya. Rumahnya megah, kapalnya banyak, istrinya pun cantik. Dia tak ingat lagi dengan emaknya yang miskin dan hidup sendirian di kampung.
Suatu hari, Tuaka mengajak istrinya berlayar dengan kapal ke suatu tempat. Kapal megah Tuaka akhirnya berlabuh di kampung halamannya. Tetapi, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya. Tuaka tidak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita tua yang miskin.
Sementara itu, kedatangan Tuaka terdengar sampai ke telinga emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang lama telah pergi. Emak pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka.
“Tuaka anakku. Emak merindukanmu, nak,” teriak emak dari sampan.
“Siapa gerangan wanita tua itu,” tanya istri Tuaka.
Tuaka yang malu mengetahui emaknya yang tua dan miskin datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.
“Hei penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka.
Emak Tuaka pergi menjauh dengan sedih. “Oh Tuhan... ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor elang dan istrinya menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih melihat anaknya berubah menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi anaknya tersebut.
Burung elang dan burung punai itu pun terus berputar-putar sambil menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu terus menetes dan membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka (Batang Tuaka). Jika di suatu siang tampak seekor elang terbang di sekitar muara Batang Tuaka sambil berkulik atau menangis, burung tersebut diyakini masyarakat sekitar sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.
--0O0--
Batu Batangkup
Zaman dahulu di dusun
Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di gubuknya yang reyot
bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan dua orang anak
laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan setiap hari
menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah juga mencari kayu bakar untuk
dijual ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka.
Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.
“Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya.
Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.
“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang.
Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya.
“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.
Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak.
Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.
Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.
“Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya.
Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.
“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang.
Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya.
“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.
Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak.
Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.
--0O0--
Si Lancang
Di sebuah negeri
bernama Kampar, pada zaman dahulu kala, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang
Emak dan anak laki-lakinya bernama si Lancang. Ayah si Lancang telah lama
meninggal. Emak bekerja menggarap ladang orang lain, dan Lancang menggembalakan
ternak milik tetangganya. Setelah cukup dewasa, si Lancang memohon izin kepada
Emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang, ingin bekerja dan mengumpulkan
uang. Walau sedih, Emaknya mengizinkan Lancang pergi merantau.
Setelah bertahun-tahun merantau, si Lancang menjadi seorang pedagang kaya yang mempunyai berpuluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istrinya pun cantik jelita. Suatu hari si Lancang mengajak istrinya untuk berdagang ke Andalas. Setelah perbekalan dan barang dagang siap, berangkatlah mereka, hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat ke Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. Penduduk pun berdatangan hendak melihat kapal yang megah tersebut. Banyak penduduk masih mengenali wajah si Lancang. “Wah si Lancang rupanya! Megah sekali kapalnya, sudah jadi orang kaya raya,” kata guru mengaji si Lancang. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada Emak si Lancang yang terbaring sakit di gubuknya.
Betapa senangnya Emak si Lancang mendengar kabar anaknya datang, dan bergegas bangkit dari tempat tidurnya. Dengan berpakaian seadanya dan berjalan tertatih-tatih karena sakit, Emak berjalan ke pelabuhan tempat kapal si Lancang. Sesampai di pelabuhan, Emak tak sabar ingin melihat anaknya. Saat hendak naik ke kapal, anak buah si Lancang menghalanginya dan melarangnya untuk naik ke kapal. Emak telah menjelaskan bahwa dia adalah Emaknya si Lancang.
Tiba-tiba si Lancang muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku!” teriak si Lancang. Rupanya dia malu jika orang tahu bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya. “Oh… Lancang…. Anakku, ini Emak. Emak sangat merindukanmu”, rintih emak.
“Usir perempuan gila itu dari kapalku!” perintah si Lancang. Anak buah si Lancang mengusir emak dan mendorongnya sehingga terjerembab. Dengan hati sedih Emak si Lancang pulang ke gubuknya, dan menangis terus menerus. Sesampai di gubuknya, Emak mengambil lesung dan nyiru. Emak memutar-mutar lesung dan mengipasinya dengan nyiru sambil berkata, “Ya Tuhanku… si Lancang telah aku lahirkan dan aku besarkan dengan air susuku. Namun setelah menjadi orang kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhanku… tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”
tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Petir menggelegar dan menyambar kapal si Lancang serta gelombang Sungai Kampar menghantamnya. Kapal si Lancang hancur berkeping-keping.
“Emaaaak… si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak,” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang. Akhirnya si Lancang tenggelam bersama kapalnya yang megah. Barang-barang yang ada di kapal berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang sebagai barang dagangan terbang melayang-layang kemudian jatuh berlipat-lipat dan menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.
Sebuah gong terlempar jauh dan jatuh di dekat gubuk Emak si Lancang di Air Tiris Kampar kemudian menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang terletak berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera itu muncul ke permukaan yang menjadi pertanda bagi masyarakat Kampar akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir irulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya yang durhaka kepada Emaknya.
Setelah bertahun-tahun merantau, si Lancang menjadi seorang pedagang kaya yang mempunyai berpuluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istrinya pun cantik jelita. Suatu hari si Lancang mengajak istrinya untuk berdagang ke Andalas. Setelah perbekalan dan barang dagang siap, berangkatlah mereka, hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat ke Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. Penduduk pun berdatangan hendak melihat kapal yang megah tersebut. Banyak penduduk masih mengenali wajah si Lancang. “Wah si Lancang rupanya! Megah sekali kapalnya, sudah jadi orang kaya raya,” kata guru mengaji si Lancang. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada Emak si Lancang yang terbaring sakit di gubuknya.
Betapa senangnya Emak si Lancang mendengar kabar anaknya datang, dan bergegas bangkit dari tempat tidurnya. Dengan berpakaian seadanya dan berjalan tertatih-tatih karena sakit, Emak berjalan ke pelabuhan tempat kapal si Lancang. Sesampai di pelabuhan, Emak tak sabar ingin melihat anaknya. Saat hendak naik ke kapal, anak buah si Lancang menghalanginya dan melarangnya untuk naik ke kapal. Emak telah menjelaskan bahwa dia adalah Emaknya si Lancang.
Tiba-tiba si Lancang muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku!” teriak si Lancang. Rupanya dia malu jika orang tahu bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya. “Oh… Lancang…. Anakku, ini Emak. Emak sangat merindukanmu”, rintih emak.
“Usir perempuan gila itu dari kapalku!” perintah si Lancang. Anak buah si Lancang mengusir emak dan mendorongnya sehingga terjerembab. Dengan hati sedih Emak si Lancang pulang ke gubuknya, dan menangis terus menerus. Sesampai di gubuknya, Emak mengambil lesung dan nyiru. Emak memutar-mutar lesung dan mengipasinya dengan nyiru sambil berkata, “Ya Tuhanku… si Lancang telah aku lahirkan dan aku besarkan dengan air susuku. Namun setelah menjadi orang kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhanku… tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”
tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Petir menggelegar dan menyambar kapal si Lancang serta gelombang Sungai Kampar menghantamnya. Kapal si Lancang hancur berkeping-keping.
“Emaaaak… si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak,” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang. Akhirnya si Lancang tenggelam bersama kapalnya yang megah. Barang-barang yang ada di kapal berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang sebagai barang dagangan terbang melayang-layang kemudian jatuh berlipat-lipat dan menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.
Sebuah gong terlempar jauh dan jatuh di dekat gubuk Emak si Lancang di Air Tiris Kampar kemudian menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang terletak berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera itu muncul ke permukaan yang menjadi pertanda bagi masyarakat Kampar akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir irulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya yang durhaka kepada Emaknya.
Hang Tuah Kesatria Melayu
Pada masa lalu,
dikenal seorang kesatria bernama Hang Tuah. Ketika masih anak-anak, ia beserta
kedua orangtuanya, Hang Mahmud dan Dang Merdu, menetap di Pulau Bintan.
Pulau ini berada di perairan Riau. Rajanya adalah Sang Maniaka, putra Sang
Sapurba raja besar yang bermahligai di Bukit Siguntang.
Hang Mahmud
berfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang terkemuka. Saat
berumur sepuluh tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Selatan
disertai empat sahabatnya, yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan
Hang Lekiu. Dalam perjalanan, mereka berkali-kali diganggu oleh gerombolan
lanun. Dengan segala keberaniannya,
Hang Tuah beserta para sahabatnya mampu mengalahkan gerombolan
itu. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Bendahara Paduka Raja
Bintan, yang sangat kagum terhadap keberanian mereka.
Suatu ketika, Hang Tuah dan keempat
sahabatnya berhasil mengalahkan empat pengamuk yang menyerang Tuan Bendahara.
Tuan Bendahara kemudian mengangkat mereka sebagai anak angkatnya. Tuan Bendahara
kemudian melaporkan tentang kehebatan mereka kepada Baginda Raja
Syah Alam. Baginda Raja pun ikut merasa kagum dan juga mengangkat mereka sebagai
anak angkatnya.
Beberapa tahun
kemudian, Baginda Raja berencana mencari tempat baru sebagai pusat kerajaan. Ia beserta punggawa kerajaan,
termasuk Hang Tuah dan para sahabatnya, melancong ke sekitar Selat Melaka dan Selat Singapura. Rombongan akhirnya
singgah di Pulau Ledang. Di sana rombongan melihat seekor pelanduk
(kancil) putih yang ternyata sulit untuk ditangkap.
Menurut petuah orang tua-tua, jika
menemui pelanduk putih di hutan maka tempat itu bagus dibuat negeri.
Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri dan dinamakan Melaka, sesuai nama
pohon Melaka yang ditemukan di tempat itu.
Setelah beberapa lama memerintah, Baginda
Raja berniat meminang seorang putri cantik bernama Tun Teja, putri tunggal
Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Namun, sayangnya putri itu menolak
pinangan Baginda Raja. Akhirnya, Baginda Raja meminang Raden Galuh Mas Ayu
putri tunggal Seri Betara Majapahit, raja besar di tanah Jawa.
Sehari menjelang pernikahan, di istana
Majapahit terjadi sebuah kegaduhan. Taming Sari, prajurit
Majapahit yang sudah tua tapi amat tangguh, tiba-tiba mengamuk.
Mengetahui keadaan itu, Hang Tuah kemudian menghadang Taming Sari. Hang Tuah
mempunyai siasat cerdik dengan cara menukarkan kerisnya dengan keris Taming
Sari. Setelah keris bertukar, Hang Tuah kemudian berkali-kali menyerang
Taming Sari. Taming Sari baru kalah setelah keris sakti yang dipegang Hang
Tuah tertikam ke tubuhnya. Hang Tuah kemudian diberi gelar Laksamana dan
dihadiahi keris Taming Sari.
Baginda Raja bersama istri dan rombongannya
kemudian kembali ke Melaka. Selama bertahun-tahun negeri ini aman dan tenteram.
Hang Tuah menjadi laksamana yang amat setia kepada raja Melaka dan amat
disayang serta dipercaya raja. Hal itu menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit
dan pegawai istana. Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan bahwa Hang
Tuah telah berbuat tidak sopan dengan seorang dayang istana. Penyebar
fitnah itu adalah Patih Kerma Wijaya yang merasa iri terhadap Hang Tuah. Baginda
Raja marah mendengar kabar itu. Ia memerintahkan Bendahara Paduka Raja agar
mengusir Hang Tuah. Tuan Bendahara sebenarnya enggan melaksanakan perintah
Baginda Raja karena ia mengetahui Hang Tuah tidak bersalah. Tuan Bendahara
menyarankan agar Hang Tuah cepat-cepat meninggalkan Melaka dan pergi ke
Indrapura.
Di Indrapura, Hang Tuah mengenal seorang
perempuan tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja. Dang Ratna kemudian menjadi ibu angkatnya. Hang Tuah meminta
Dang Ratna untuk menyampaikan pesan kepada Tun Teja agar mau menyayangi
dirinya. Berkat upaya Dang Ratna, Tun Teja mau menyayangi Hang Tuah. Hubungan
keduanya kemudian menjadi sangat akrab.
Suatu waktu, Indrapura kedatangan perahu
Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan Tun Bija Sura. Mereka meminta
Hang Tuah agar mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna juga ikut bersama
rombongan.
Sesampainya di Melaka, Hang Tuah kemudian
bertemu dengan Baginda Raja. Hang Tuah berkata, “Mohon maaf, Tuanku, selama
ini hamba tinggal di Indrapura. Hamba kembali untuk tetap mengabdi setia kepada
Baginda.” Tun Ratna Diraja melaporkan kepada Baginda Raja bahwa Hang Tuah
datang bersama Tun Teja, putri yang dulu diidam-idamkan Baginda Raja. Singkat
cerita, Tun Teja akhirnya bersedia menjadi istri kedua Baginda Raja
meskipun sebenarnya ia menyayangi Hang Tuah. Hang Tuah kemudian menjabat
lagi sebagai Laksamana Melaka, yang sangat setia dan disayang raja.
Hang Tuah kembali kena fitnah setelah
bertahun-tahun menetap di Melaka. Mendengar fitnah itu, kali ini Baginda Raja
sangat marah dan memerintahkan Tuan Bendahara agar membunuh Hang Tuah. Tuan
Bendahara tidak tega membunuh Hang Tuah dan memintanya agar mengungsi
ke Hulu Melaka. Hang Tuah menitipkan keris Taming Sari ke Tuan Bendahara
agar diserahkan pada Baginda Raja. Hang Jebat kemudian menggantikan Hang
Tuah sebagai Laksamana Melaka. Oleh Baginda Raja keris Taming Sari diserahkan
kepada Hang Jebat.
Sepeninggal
Hang Tuah, Hang Jebat lupa diri dan menjadi mabuk kekuasaan. Ia bertindak
sewenang-wenang. Jebat juga sering bertindak tidak sopan terhadap para pembesar
kerajaan dan dayang-dayang. Banyak orang telah menasihatinya. Namun, Hang
Jebat tetap keras kepala, tidak mau berubah. Baginda Raja menjadi gusar
melihat kelakuan Hang Jebat. Tak seorang pun prajurit yang mampu mengalahkan
Hang Jebat. Baginda lalu teringat kepada Hang Tuah. Tuan Bendahara
memberitahu kepada Baginda Raja, “Maaf Baginda, sebenarnya
Hang Tuah masih hidup. Ia mengungsi ke Hulu Melaka.” Atas perintah Baginda
Raja, Hang Tuah bersedia ke Melaka.
Hang Tuah
menghadap Baginda Raja dan menyatakan kesiapannya melawan Hang Jebat. Hang
Tuah kemudian diberi keris Purung Sari. Terjadi pertempuran yang sangat hebat
antara dua sahabat yang sangat setia dan yang mendurhaka. Suatu ketika Hang
Tuah berhasil merebut keris Taming Sari dan dengan keris itu, Hang Tuah dapat
mengalahkan Hang Jebat. Ia mati di pangkuan Hang Tuah. Hang Tuah kembali
diangkat sebagai Laksamana Melaka. Setelah itu, Melaka kembali tenteram.
Laksamana Hang Tuah sering melawat
ke luar negeri hingga ke negeri Judah dan Rum untuk memperluas pengaruh kerajaan
Melaka di seluruh dunia.
Suatu saat Baginda Raja mengirim
utusan dagang ke Kerajaan Bijaya Nagaram di India, yang dipimpin oleh Hang
Tuah. Setelah sampai di India, rombongan melanjutkan pelayaran ke
negeri Cina. Di pelabuhan Cina, rombongan Hang Tuah berselisih dengan
orang-orang Portugis, karena mereka sangat sombong, tidak terima Hang Tuah
melabuhkan kapalnya di samping kapal Portugis. Setelah menghadap Raja Cina,
rombongan Hang Tuah kemudian
melanjutkan perjalanannya kembali ke Melaka. Di tengah perjalanan,
mereka diserang oleh perahu-perahu Portugis. Hang Tuah mampu mengatasi
serangan mereka. Kapten dan seorang perwira Portugis melarikan
diri ke Manila, Filipina. Rombongan Hang Tuah akhirnya tiba di
Melaka dengan selamat.
--oOo--
Suatu hari raja Melaka beserta keluarganya
berwisata ke Singapura diiringi Laksamana Hang Tuah dan Bendahara Paduka
Raja dengan berbagai perahu kebesaran. Ketika sampai di Selat Singapura
Raja Syah Alam melihat seekor ikan bersisik emas bermatakan mutu manikam
di sekitar perahu Syah Alam. Ketika menengok ke permukaan air,
mahkota Raja terjatuh ke dalam laut.
Hang Tuah langsung menyelam ke dasar
laut sambil menghunus keris Taming Sari untuk mengambil mahkota tersebut. Ia
berhasil mengambil mahkota itu tetapi ketika hampir tiba di perahu, seekor
buaya putih besar menyambarnya sehingga mahkota beserta kerisnya terjatuh
lagi ke laut. Hang Tuah kembali menyelam ke dasar lautan mengejar buaya
tersebut. Tetapi ternyata mahkota beserta kerisnya tetap tidak ditemukan.
Sejak kehilangan mahkota dan keris Taming Sari, Raja dan Hang Tuah menjadi
pemurung dan sering sakit-sakitan.
--oOo--
Sementara itu,
Gubernur Portugis di Manila sangat marah mendengar laporan kekalahan dari
perwiranya yang berhasil melarikan diri. Setelah beberapa bulan melakukan
persiapan, angkatan perang Portugis berangkat menuju Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai
serangan terhadap Melaka yang menyebabkan banyak prajurit Melaka
kewalahan. Pada saat itu, Hang Tuah sedang
sakit keras.
Baginda Raja memerintahkan Tuan Bendahara
untuk meminta bantuan Hang Tuah. Meski sakit, Hang Tuah tetap bersedia ikut
memimpin pasukan melawan Portugis. Kata Hang Tuah kepada Baginda Raja,
“Apa yang kita tunggu? Kita secepatnya harus mengusir mereka dari sini.”
Dengan
keteguhannya, Hang Tuah masih mampu menyerang musuh, baik dengan pedang
maupun meriam. Namun, sebuah peluru mesiu Portugis berhasil menghantam
Hang Tuah. Ia terlempar sejauh 7 meter dan terjatuh ke laut. Hang Tuah
berhasil diselamatkan dan kemudian dibawa dengan perahu Mendam Birahi kembali
ke Melaka. Seluruh perahu petinggi dan pasukan Melaka juga kembali ke kerajaan.
Demikian pula halnya pasukan Portugis kembali ke Manila karena banyak pemimpinnya
yang terluka. Peperangan berakhir tanpa ada yang menang dan yang kalah.
Setelah sembuh,
Hang Tuah tidak lagi menjabat sebagai Laksamana Melaka karena sudah
semakin tua. Ia menjalani hidupnya dengan menyepi di puncak bukit Jugara di
Melaka. Baginda Raja juga sudah tidak lagi memimpin, ia digantikan oleh
anaknya, Putri Gunung Ledang.
--0O0--
Legenda Ikan Patin
Alkisah,
pada zaman dahulu kala, di Tanah Melayu hiduplah seorang nelayan tua yang
bernama Awang Gading. Ia tinggal seorang diri di tepi sebuah sungai yang luas
dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu merasa bahagia. Ia
mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerajaan
sehari-harinya adalah menangkap ikan di sungai dan mencari kayu di hutan.
Suatu sore, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. “Ah, semoga hari ini aku mendapat ikan besar,” gumam Awang Gading. Usai melemparkan kailnya ke dalam air, ia berdendang sambil menunggu kailnya. Berapa saat kemudian, umpannya pun di makan ikan. Dengan hati-hati disentakkannya kail itu. Apa yang terjadi? Ternyata ikannya terlepas. Lalu dipasangnya lagi umpan pada mata kailnya. Berkali-kali umpannya di makan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.
“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”
terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.
Hari sudah mulai gelap. Namun, tak seekor ikan pun yang diperolehnya. “Rupanya, aku belum beruntung hari ini,” gumam Awang Gading. Usai bergumam, Awang Gading pun bergegas pulang. Namun, baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendegar tangisan bayi. Dengan perasaan takut, Awang Gading mencari asal suara itu. Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” Ucap Awang Gading dalam hati. Oleh karena merasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.
Malam itu juga Awang Gading membawa bayi ke rumah tetua kampung. “Awang, berbahagialah, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah ia dengan baik,” Tetua Kampung berpesan. “Terima kasih, Tetua! Saya akan merawat bayi ini dengan baik. Semoga kelak menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik,” jawab Awang Gading mengharap.
Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan selamatan atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Ia mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Usai acara tersebut, Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil mendendang, “Dayang sayang, anakku seorang…Cepatlah besar menjadi gadis dambaan.”
Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih dekat.
Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah sedang menjemur pakaian, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya.
Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading.
“Maaf, Tuan! Nama saya Awangku Usop. Saya dari desa sebelah,” kata Usop memperkenalkan diri.
“Ada apa gerangan, Ananda Awangku Usop?” tanya Awang Gading.
“Saya ke mari hendak meminang putri Tuan” pinang Awangku Usop.
Awang Gading tidak langsung memberikan jawaban. Keputusannya ada pada Dayang Kumunah. Lalu ia meminta pendapat Dayang Kumunah. “Anakku, Dayang! Bagaimana pendapatmu tentang pinangan Awangku Usop?” tanya Awang Gading pada Dayang yang sedang duduk di sampingya. Dayang Kumunah langsung menanggapi pinangan pemuda itu. “Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop menyanggupi syarat itu. “Baiklah! Saya berjanji untuk memenuhi syarat itu,” kata Awangku Usop.
Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan mereka berlangsung meriah. Semua kerabat dan tetangga kedua mempelai diundang. Para undangan turut gembira menyaksikan kedua pasangan yang serasi tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Mereka pun hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah mereka menikah, Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah sangat sedih kehilangan ayah yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka telah menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada “ayahnya”. Ia pun kembali bahagia hidup bersama suami dan kelima anaknya.
Namun, Awang Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awang Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.
Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama keluarganya di teras rumah. Saat itu, si Bungsu mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awang Usop meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya.
Sesampainya di tepi sungai, perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awang Usop pun baru menyadari kekhilafannya. “Maafkan aku, istriku! Aku sangat menyesal telah melanggar janjiku sendiri, karena memintamu untuk tertawa. Kembalilah ke rumah, istriku!” bujuk Awangku Usop.
Namun, semua sudah terlambat. Dayang Kumunah telah terjun ke sungai. Ia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.
Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, “Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.
Suatu sore, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. “Ah, semoga hari ini aku mendapat ikan besar,” gumam Awang Gading. Usai melemparkan kailnya ke dalam air, ia berdendang sambil menunggu kailnya. Berapa saat kemudian, umpannya pun di makan ikan. Dengan hati-hati disentakkannya kail itu. Apa yang terjadi? Ternyata ikannya terlepas. Lalu dipasangnya lagi umpan pada mata kailnya. Berkali-kali umpannya di makan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.
“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”
terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.
Hari sudah mulai gelap. Namun, tak seekor ikan pun yang diperolehnya. “Rupanya, aku belum beruntung hari ini,” gumam Awang Gading. Usai bergumam, Awang Gading pun bergegas pulang. Namun, baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendegar tangisan bayi. Dengan perasaan takut, Awang Gading mencari asal suara itu. Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” Ucap Awang Gading dalam hati. Oleh karena merasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.
Malam itu juga Awang Gading membawa bayi ke rumah tetua kampung. “Awang, berbahagialah, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah ia dengan baik,” Tetua Kampung berpesan. “Terima kasih, Tetua! Saya akan merawat bayi ini dengan baik. Semoga kelak menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik,” jawab Awang Gading mengharap.
Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan selamatan atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Ia mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Usai acara tersebut, Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil mendendang, “Dayang sayang, anakku seorang…Cepatlah besar menjadi gadis dambaan.”
Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih dekat.
Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah sedang menjemur pakaian, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya.
Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading.
“Maaf, Tuan! Nama saya Awangku Usop. Saya dari desa sebelah,” kata Usop memperkenalkan diri.
“Ada apa gerangan, Ananda Awangku Usop?” tanya Awang Gading.
“Saya ke mari hendak meminang putri Tuan” pinang Awangku Usop.
Awang Gading tidak langsung memberikan jawaban. Keputusannya ada pada Dayang Kumunah. Lalu ia meminta pendapat Dayang Kumunah. “Anakku, Dayang! Bagaimana pendapatmu tentang pinangan Awangku Usop?” tanya Awang Gading pada Dayang yang sedang duduk di sampingya. Dayang Kumunah langsung menanggapi pinangan pemuda itu. “Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop menyanggupi syarat itu. “Baiklah! Saya berjanji untuk memenuhi syarat itu,” kata Awangku Usop.
Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan mereka berlangsung meriah. Semua kerabat dan tetangga kedua mempelai diundang. Para undangan turut gembira menyaksikan kedua pasangan yang serasi tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Mereka pun hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah mereka menikah, Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah sangat sedih kehilangan ayah yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka telah menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada “ayahnya”. Ia pun kembali bahagia hidup bersama suami dan kelima anaknya.
Namun, Awang Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awang Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.
Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama keluarganya di teras rumah. Saat itu, si Bungsu mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awang Usop meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya.
Sesampainya di tepi sungai, perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awang Usop pun baru menyadari kekhilafannya. “Maafkan aku, istriku! Aku sangat menyesal telah melanggar janjiku sendiri, karena memintamu untuk tertawa. Kembalilah ke rumah, istriku!” bujuk Awangku Usop.
Namun, semua sudah terlambat. Dayang Kumunah telah terjun ke sungai. Ia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.
Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, “Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.
--oOo--
Puteri
Kaca Mayang, Asal Mula Kota Pekanbaru
Pada suatu hari,
Raja Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua
orang panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib.
Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan
maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud
kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang
utusan. “Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang
bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya.
“Maaf,
Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami
kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke
Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.
Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang
penolakan Raja Gasib. Raja
Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah
dan berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib.
Sementara itu, Raja
Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan
yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh
itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar
Sungai Siak.
Rupanya segala
persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang
mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu
berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan
lain untuk masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib
menjadi penunjuk jalan.
“Hai, orang
muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang
penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu,
tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu.
Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang
negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke
Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak
tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja
Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan
dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan
darat menuju ke arah Gasib.
Berkat petunjuk
pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan
Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada saat
prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja
Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika
musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit
Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk
melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan
telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam
sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat
berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu
dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.
Panglima Gimpam
yang mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama
pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan
bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas
kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke
istana.
Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk
menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima
Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya.
Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima
Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia
melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya,
dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana untuk diserahkan
kepada Raja Aceh.
Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan
kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk
membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan
diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana Gasib.
Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang
sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin
parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas.
Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam
untuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini.
Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina
Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam
berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima
Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke istana
dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima Gimpam
melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke hadapan
Raja Gasib.
Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang
membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan
sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu
lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak
kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari
kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang
amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan
menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.
Akhirnya, atas
kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka
sebuah perkampungan baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu
dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru.
Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail,
sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.
--oOo--
Legenda
Batu Rantai, Temasik Dilanda Todak
Tersebutlah
dalam sebuah kisah beberapa abad lalu, negeri Temasik diperintah oleh Paduka
Seri Maharaja, seorang Raja yang terkenal sangat kejam dan angkuh. Suatu
ketika, Raja itu tega menghukum mati seorang ulama yang juga sebagai pedagang
dari Pasai bernama Tun Jana Khatib. Sebenarnya, ulama itu tidak bersalah, ia
secara tidak sengaja berpandangan mata dengan permasuri Raja. Namun, sang Raja
yang melihat kejadian itu menjadi murka. Tak ada yang bisa mencegahnya untuk
menjatuhkan hukuman itu. Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana
untuk menangkap dan menghukum mati sang Ulama.
Peristiwa gaib di atas adalah
pertanda akan datangnya malapetaka dahsyat di negeri Temasik. Pada suatu hari,
tiba-tiba Temasik diserang beribu-ribu ikan Todak. Gerombolan ikan
yang berparuh panjang, runcing, dan tajam itu menyerang penduduk sampai ke
pelosok desa di sekitar pantai. Penduduk berlarian menghindari serangan ikan
itu. Namun, musibah tak terelakkan lagi, banyak penduduk bergelimpangan secara
mengerikan. Tak lama kemudian, kabar peristiwa ini pun sampai di telinga sang
Raja. Dengan cepat, sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana
menyediakan seekor gajah tunggangan untuk pergi ke tempat kejadian. Sesampainya
di pantai, sang Raja menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Sang Raja kemudian
memerintahkan pengawal istana dan penduduk agar membuat pagar betis. Namun
upaya itu justru membuat ikan Todak tersebut kian mengganas. Hari demi hari,
penduduk yang mati dan luka-luka diserang ikan Todak tersebut semakin bertambah.
Penduduk yang terluka itu, merintih dan mengerang kesakitan siang dan malam.
Meskipun
banyak penduduk yang menjadi korban keganasan ikan Todak tersebut, namun tak
seorang pun yang berani meninggalkan negeri itu tanpa titah sang Raja. Penduduk
tetap berdiri mematuhi titah raja untuk membuat pagar betis. Rintihan penduduk
yang menahan sakit tidak dihiraukan sang Raja yang sangat kejam itu. Sang Raja
justru diam-diam bermaksud meninggalkan negeri Temasik untuk bersembunyi. Pada
saat sang Raja sedang berlari bersembunyi, ia diserang oleh seekor ikan Todak.
Ia berusaha menghindar, namun baju sang Raja tersambar paruh ikan Todak. Sang
Raja amat cemas dan menggigil ketakutan. “Tolooong...! Tolooong...! Bajuku
robek!” jerit sang Raja ketakutan. Tetapi, jeritan tersebut tak ada yang
menghiraukan. Tak seorang pun menghampiri sang Raja untuk menolongnya.
Dalam
keadaan panik, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki kecil menghampiri sang
Raja. “Percuma saja Temasik dipagar betis dengan manusia, sampai habis penduduk
Temasik ini, serangan ikan Todak tidak dapat dikalahkan,” kata anak kecil itu
mengingatkan. Mendengar suara anak kecil yang datang tiba-tiba itu, sang Raja
segera bertanya: “Hei, budak! Siapakah engkau ini, dari mana asalmu hingga
beraninya engkau menasihatiku?” tanya sang Raja dengan nada kesal.
Dengan
santun, anak kecil itu menjelaskan dirinya: “Ampun, wahai Baginda Raja, hamba
bernama Kabil. Hamba datang dari Bintan Penaungan,” jelas Kabil seraya
menyembah. “Hamba hidup di pinggir laut, dan hamba mengenal sifat ikan Todak.
Ikan Todak tidak dapat dilumpuhkan dengan betis manusia, melainkan dengan
batang pisang. Apabila Sang Raja mengizinkan, hamba mohon agar Temasik dipagari
dengan batang pisang,” kata Kabil setengah memohon.
“Batang
pisang? Untuk Apa?,” tanya sang Raja dengan heran. “Jika kita menggunakan
batang pisang sebagai perisai di sepanjang pantai, maka paruh ikan Todak itu
akan tertancap pada batang pisang. Pada saat itulah, para penduduk menggunakan
kesempatan untuk membunuh ikan-ikan Todak itu,” jelas Kabil pada sang Raja.
Tanpa berpikir panjang, sang Raja bertitah kepada panglima dan rakyatnya,
“Wahai sekalian panglima dan rakyatku sekalian, angkutlah batang pisang
sebanyak-banyaknya, lalu pagari negeri kita ini dengan batang pisang!”
Mendengar titah sang Raja, seluruh panglima dan penduduk yang ada di tempat
kejadian itu segera mencari batang pisang ke kebun-kebun pisang. Setelah
mendapat banyak batang pisang, mereka pun membawanya ke pantai. Tak lama
kemudian Temasik berubah menjadi negeri berpagar batang pisang. Ikan-ikan Todak
yang sedang mengamuk itu tersangkut di batang pisang, sehingga
menggelepar-gelepar tak berdaya. Penduduk pun dengan mudah membunuhnya
dan kemudian mengambilnya untuk dimakan dagingnya.
Rakyat
negeri Temasik pun bersuka ria, karena terlepas dari malapetaka. Sebagai tanda
berakhirnya kesedihan itu, maka dibuatlah pantun ikan Todak:
Temasik dilanggar Todak
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Namun,
di tengah suasana gembira tersebut, para pembesar istana justru berpikir lain.
Mereka menjadi cemas dan takut kalau anak kecil itu akan merampas negeri
Temasik. Merasa terancam, para pembesar istana menghadap sang Raja. “Ampun,
Baginda Raja! Jika si Kabil tidak kita singkirkan, tidak mustahil suatu hari
anak itu akan menguasai kita dan akan merampas negeri Temasik ini,” kata salah
satu pembesar istana mempengaruhi. “Benar Baginda, selagi kecil dia sudah
pintar, hingga sanggup mengalahkan ikan Todak, apalagi sudah besar kelak,”
tambah pembesar istana yang lainnya. “Aku setuju, tapi kalian harus ingat, si
Kabil ini anak pintar. Jika kita tidak membuanganya jauh-jauh, dia pasti akan
kembali lagi ke negeri ini. Maka sebaiknya masukkan saja anak itu ke dalam
kurungan baja, lilitkan dengan rantai besi, lalu tenggelamkan di tengah laut,”
titah sang Raja kepada pembesar istana tersebut.
Keesokan
harinya, Kabil pun ditangkap, kemudian dimasukkan ke dalam kurungan baja,
dikunci dan diikat dengan rantai besi, lalu dinaikan ke atas perahu. Dengan
dikawal sang Raja dan beberapa pengawal istana, berangkatlah mereka ke perairan
Pulau Segantang Lada, tempat dimana Kabil akan ditenggelamkan. Tak berapa lama,
mereka pun sampai di tempat tujuan. “Ampun Baginda Raja! Kita sudah sampai di
Perairan Pulau Segantang Lada!” lapor seorang pengawal kepada Raja.
“Tenggelamkan anak kecil itu!” perintah sang Raja. Namun, sebelum
ditenggelamkan, Kabil bertanya kepada sang Raja. “Beginikah balasan Baginda
Raja kepada hamba? Tidakkah ada jalan lain yang lebih baik untuk menghindari
kematian ini? “Baginda Raja.....hamba belum rela mati muda,” ratap Kabil dari
dalam kurungan.
Sang
Raja hanya bergeming mendengar ratapan Kabil. Setelah itu diperintahkannya
pengawal istana untuk segera menenggelamkan kurungan yang berisi Kabil itu.
“Byuuurr....byuuurr....byuuur....” terdengar bunyi suara air ketika kurungan
diceburkan ke dalam laut di karang Kepala Sambu. Tak lama kemudian, Kabil pun
mati dalam keadaan yang mengenaskan, setelah ia baru saja berjasa menyelamatkan
nyawa penduduk negeri Temasik.
Sejak
peristiwa mengenaskan itu, sampai saat ini, suara pusar arus mendesah, “Byuuurr
... sssh ... byuuur ....”, seolah menyimpan perasaan sedih yang menyayat. Ombak
yang bertemu arus pasang sangatlah ganas, seperti orang yang meronta-ronta.
Oleh karena itu, para pelaut dan nahkoda kapal yang melintasi gugusan pulau
tersebut selalu menghindari karang berbahaya di perairan Sambu ini untuk
menjaga keselamatan penumpangnya. Peninggalan Legenda Batu Rantai ini berada di
antara gugusan Pulau Sambu dan Batam, di perairan Riau, Indonesia.
--oOo--
No comments:
Post a Comment