Arti Persahabatan
Oleh :
Loeis Chandra
Bagiku arti
persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering berdebat saat
berbeda pendapat. Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin suka. Aku
belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat berbeda
tentang arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku
sendirian menjaga rumah...
“Hahahahaha!” aku tertawa sambil membaca.
“Hahahahaha!” aku tertawa sambil membaca.
“Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku menemukan buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan? Pokoknya besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan malam ini. Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation!” jelas Judi dengan nada nyaring.
Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe.. Dari kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda lagi kalau masalah bermain PlayStation – Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah tau apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya aku kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main game.
Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali. Sebentar lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini.
“Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu?” Tanyaku pada Bang Jon yang baru masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis pada berbagai hal.
Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu.
Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan “( Eh, itu... )”.
“Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri...” aku mulai ketakutan saat seseorang asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya, aku tidak berani pulang kerumah.
“Ohh iya itu!” Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan merencanakan sesuatu.
“Oke, Beni – kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua” bisikan Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk.
Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan kata apapun dari mulut. “...Beni, ayo...satpam” Judi membisiku sekali lagi.
Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar ceritaku – ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya. Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku.
“Ya Tuhan!” kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah. Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon polisi akibat kasus pencurian ini.
“Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling itu terbirit-birit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh... Judi juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi” jawab Bang Jon dengan tenang dan pedenya.
Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon “Rumahmu aman - kita memergoki mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil barang rumahmu.”
Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya maling ini seperti tidak pernah terjadi.
“Hahahahaha... “ Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya kena pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat bercerita pengalamannya itu.
“( Hahahahaha... )” Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama Bang Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini.
Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat terbaikku. Pikirku, tidak ada orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk sahabatnya ( Judi dan Bang Jon salah satunya ).
TELEDOR
Karya :
Slamet Setya Budi
Semua siswa terdiam menatap wajah
Eliya yang kusut.Kedua matanya basah. Badannya yang gemuk terguncang-guncang
menahan tangis.BuWati dan Pak Burham yang berdiri di sampingnya berusaha
menenangkannya. Namun Eliya masih terus menangis.
“Anak-anak, mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa
Eliya ?” tanya Pak Burham tenang. “ Dia menangis karena uang sekolahnya hilang
!” lanjut Pak Burham.
“Uang sekolah Eliya hilang ?” teriak
seisi kelas hampir bersama-sama. Seketika kelas pun menjadi gaduh.
“Sudahlah! Kalian diam dulu!” potong
Pak Burham. “Sekarang Bapak minta kalian bersikap jujur. Apabila diantara
kalian ada yang mengambil uang Eliya tolong dikembalikan.”
Semua siswa pun diam lagi seperti
patung.
“Kalian jangan takut. Apabila kalian
mengaku,Bu Wati dan Bapak Burhan akan merahasiakan nama kalian,” janji Bu Wati.
“Tetapi bila tidak ada yang mengaku
terpaksa Bapak akan mendatangkan paranormal ke kelas ini,” lanjut Pak Burhan.
“Paranormal?” teriak seisi kelas
bersamaan. Dan kelas pun kembali ramai.
“Kalian tidak usah takut!” seru Pak
Burham. “Yang akan Bapak bawa ke kelas ini bukan orangnya tetapi manteranya
yang sudah dirapalkan ke dalam air putih.”
“Oh begitu…!” guman para siswa lega.
“Dalam satu jam nanti kalian akan
diajak bicara satu persatu oleh Bu Wati. Kalau tidak ada yang mengaku terpaksa
Bapak menggunakan cara yang kedua.” ancam Pak Burham
* * *
Cara pertama ternyata tidak membawa
hasil. Para siswa semakin gelisah.
“Menurut kamu siapa, Mir ?” pancing
Ratih.
“Siapa ,ya?” pikir Mira.
“Biasanya di saat-saat seperti ini
bakat detektifmu muncul,” gurau Ratih.
“Aku mencurigai seseorang, Rat
!Tetapi aku tidak percaya kalau dia yang melakukan!”
“Menduga-duga kan boleh?Ayo ,
menurutmu siapa?” desak Ratih.
“Aku mencurigai Kristian tetapi aku
tidak percaya kalau dia pelakunya!” bisik Mira
Ratih manggut-manggut,”Ternyata kita
sepaham. Aku juga mencurigai Kristian!”
“Alasanmu apa ?” tanya Mira heran.
“Alasanku?Dia anak baru. Baru satu
bulan dia duduk di kelas ini. Sebelum dia masuk kejadian seperti ini tidak
pernah ada!” papar Ratih penuh semangat.”Dan setiap istirahat dia tidak mau
keluar kelas! Tidak mau jajan. Di kelas hanya baca komik saja!”
“Tetapi itu bukan alasan untuk
menuduh dia. Dia tidak mau jajan karena membawa bekal dari rumah. Dia pernah
bercerita kepadaku katanya makanan di kantin ini kurang sehat. Dan dia membaca
komik untuk refreshing karena dia memang hobi baca komik.” bela Mira
“ Saya tahu, tetapi bisa saja semua
itu hanya kedok untuk menutupi kejahatannya!”
“Lalu untuk apa dia mengambil uang
Eliya ? Dia anak orang kaya lho,Rat!” ujar Mira.
“Kalau masalah itu saya tidak tahu!”
jawab Ratih sambil mengangkat bahunya.”Kalau alasanmu mencurigai Kristian apa?”
gantian Ratih yang bertanya.
“ Alasanku?” jawab Mira bingung.
“Ya! Alasanmu mencurigai Kristian
apa?” desak Ratih.
“Sama dengan alasanmu!” jawab Mira
sambil nyengir.
“Payah kamu! Tidak ilmiah sama
sekali!” gerutu Ratih kecewa.
“Sssstttttttt diam…!” perintah ketua
kelas ketika mendengar langkah sepatu Pak Burham.
“Ternyata tidak ada yang mengaku.
Lihatlah! Gelas ini sudah penuh dengan air yang bermantera. Mantera ini hanya
akan bereaksi pada mulut orang yang berbohong. Kalau kalian jujur mantera ini
tidak akan bereaksi dan tidak mempunyai efek samping,” papar Beliau serius.
“Pak Burham tidak usah melakukan
itu. Sayalah yang mengambil uang Eliya!”
Seketika kelas menjadi gaduh.
Seluruh mata menatap Kristian tidak percaya. Bu Wati dan Pak Burham tercengang.
Tangis Eliya terhenti.
“Benarkan Mir, dugaanku!” bisik Ratih penuh
kemenangan.
“Kristian ! kamu kok tega sama aku !” jerit Eliya.
“Sudahlah!Kalian tenang!” perintah Pak Burham.”Jadi
kamu pelakunya,Kris ?”
“Maaf Pak Burham! Maaf Bu Wati! Maaf
teman-teman! Sebenarnya bukan hanya uang Eliya saja yang saya ambil!” jawab
Kristian tenang. “Lihat !Mobil Tamiya ini milik siapa?,” tanya Kristian sambil
mengeluarkan mobil-mobilan kecil dari tasnya.
“Itu milikku!” seru Didin, “Ternyata
kamu pencurinya!” teriak didin garang.
“Jangan menuduh, Din! Mobil ini aku
temukan di laci mejamu, hari Kamis tanggal satu kemarin . Lihat di sini kutulis
datanya! Dan anehnya kamu tidak pernah merasa kehilangan, kamu tidak pernah
lapor Bu Wati atau Pak Burham karena kamu mampu membeli lagi,”
Wajah Didin tersipu malu “Maaf Pak!
Saya tidak akan membawa mainan lagi ke sekolah”
“Ratih! Ini adalah kalkulatormu!”
Kristian kembali merogoh tasnya dan mengeluarkan kalkulator digital. “Jangan
menuduh saya pencuri karena kalkulator ini juga kutemukan di laci mejamu.
Tepatnya Hari Senin setelah pelajaran matematika.Ternyata kamu selalu
menggunakan kalkulator dalam mengerjakan soal matematika. Dan anehnya kamu juga
tidak pernah merasa kehilangan.”
Wajah Ratih memerah. Dia tertunduk
dan tidak berani lagi menatap ke depan.
“Maaf Bu Watik. Saya menemukan ini
di bawah meja Ibu!” lanjut Kristian sambil menunjukkan wesel pos. “Disini
tertulis honor menulis cerita anak sebesar seratus lima puluh ribu. Saya
temukan tanggal sepuluh yang lalu.Dan ternyata Ibu juga tidak pernah merasa
kehilangan uang sebesar ini.”
Gantian wajah Bu Watik yang memerah.
“Lalu uang sekolah Eliya bagaimana?”
desak Pak Burham tidak sabar lagi.
“Uang Eliya di dalam komik ini!
jawab Kristian sambil menunjukkan komik kesayangannya. “Kemarin Eliya pinjam
komik saya dan pagi tadi baru dikembalikan. Jam istirahat tadi saya iseng-iseng
membaca komik dan menemukan uang ini. Mungkin Eliya tergesa-gesa sehingga salah
menyelipkan uang sekolah ini! Betulkan El?”
“Maaf, Kris! Aku telah menuduhmu
yang bukan-bukan. Tadi pagi aku memang tergesa-gesa. Aku teledor sekali!” jawab
Eliya sambil mengulurkan tangannya.
“Aku juga minta maaf . Aku juga
teledor” sesal Didin sungguh-sungguh.
“Ibu minta maaf ya, Kris.Ibu akan lebih hati-hati
lagi,” janji Bu Wati.
Kristian tersenyum menatap
teman-temannya. Dalam hatinya ada rasa haru dan bangga berbaur jadi satu.
Sekolahku di Pedalaman
Oleh :
Surya Ismail
Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Budi Makmur” ini. Sekolahku berada di daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku. Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek.
Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna, mengajar dari kelas satu sampai kelas enam.
Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami sering mengerjakan dan memecahkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali!
Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Rizal, temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena rumah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan belantara.
“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut?” tanyaku.
“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Besok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing di sungai!” janji Pak Nantan.
Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai berhitung memang patut diacungi jempol.
Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa memberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan mengajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok jauh berada di pedalaman.
Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-citamu, Jang?”
“Aku ingin jadi seperti Bapak!” jawabku mantap.
“Menjadi guru?” Pak Nantan ter-senyum.
Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju!”
Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku. “Pendidikan di kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang tua mereka dari pada pergi ke sekolah.”
Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah… Bagaimana mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung.
“Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung,” ujar Abah memujiku.
“Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,” kata Emak lalu mencium kepalaku.
“Terima kasih,” ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah, hehe…”
Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan cinta.
Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, teman-teman!***
"Seharusnya Kau Pergi"
Oleh : Rina Eriska S
“Aku nggak
tau, maunya kamu itu apa. Udah jelas-jelas Fery itu suka banget sama kamu,
sayang dan perhatian. Kenapa sich dia kamu putusin,” tanya Jeni yang nggak
habis pikir tentang kelakuan Ega.
“Aku nggak suka sama dia,” jawab Ega lantang
“Kalau kamu nggak suka, kenapa kamu terima dari awal, waktu dia nembak kamu?”
“Yach, aku kan nggak tau sikap dan sifat dia kayak itu. Ternyata udah dijalanin, aku rasa aku nggak cocok aja sama dia”.
“Tapi kan kalian baru sebulan jalan bareng. Kamu butuh waktu Ga, agar kamu tau banyak soal Fery”.
“Duh..... Jen. Waktu sebulan itu cukup lama. Mau berapa lama lagi sich? Lagian aku udah bosan sama dia”.
“Kamu nggak boleh gitu Ga. Fery itu orangnya baik. Salah apa sich dia sama kamu. Pokoknya aku nggak setuju kamu putus sama dia”.
“Lho ... koq jadinya kamu yang sewot. Ya udah, kamu aja yang pacaran sama dia. Atau jangan-jangan kamu tu naksir ya sama Fery, makanya ngebelain dia”.
“Bukan gitu Ga!”
“Lantas?”
“Aku nggak mau kamu kena batunya. Aku ini sahabat kamu. Aku nggak ingin terjadi apa-apa sama kamu”.
“Aku nggak suka sama dia,” jawab Ega lantang
“Kalau kamu nggak suka, kenapa kamu terima dari awal, waktu dia nembak kamu?”
“Yach, aku kan nggak tau sikap dan sifat dia kayak itu. Ternyata udah dijalanin, aku rasa aku nggak cocok aja sama dia”.
“Tapi kan kalian baru sebulan jalan bareng. Kamu butuh waktu Ga, agar kamu tau banyak soal Fery”.
“Duh..... Jen. Waktu sebulan itu cukup lama. Mau berapa lama lagi sich? Lagian aku udah bosan sama dia”.
“Kamu nggak boleh gitu Ga. Fery itu orangnya baik. Salah apa sich dia sama kamu. Pokoknya aku nggak setuju kamu putus sama dia”.
“Lho ... koq jadinya kamu yang sewot. Ya udah, kamu aja yang pacaran sama dia. Atau jangan-jangan kamu tu naksir ya sama Fery, makanya ngebelain dia”.
“Bukan gitu Ga!”
“Lantas?”
“Aku nggak mau kamu kena batunya. Aku ini sahabat kamu. Aku nggak ingin terjadi apa-apa sama kamu”.
“Duh......perhatiannya. Tenang aja Jen, nggak akan terjadi apa-apa sama aku”.
“Iya, aku percaya, Ga. Sejak Irgi pergi dari kamu, kamu tu banyak berubah. Ega yang dulu nggak pernah nyakitin perasaan orang lain, Ega yang selalu setia, Ega yang punta warna hidup”.
“Ach ..... sudah Jen, semua itu masa lalu. Lupakan aja Ega yang dulu meskipun sikap aku udah berubah. Dan aku rasa soal Irgi nggak usah dibahas dech”.
“Tapi Irgi kan yang buat kamu jadi seperti ini Ga. Aku kasian sama kamu”.
“Kamu nggak perlu kasiani aku, aku nggak papa Jen”.
“Kamu nggak perlu bohong Ga. Kamu tu menderita karena orang yang paling kamu sayangi ningalin kamu tanpa membuat keputusan apapun. Aku kenal baik sama kamu Ga. Aku ingin kamu lupain Irgi”.
Ega terdiam. Sejurus diresapinya kata-kata Jeni barusan. Jeni memang benar, Ega harus membuang jauh-jauh masa lalu dan membuka kehidupan untuk kebahagiaan. Irwan, Doni, Jay, Boy, Tomi dan Fery salah apa mereka?
Tanpa diduga oleh Jeni, Ega memeluknya dengan erat. Gadis itu menangis di pelukan sahabatnya.
“Tapi aku nggak bisa Jen. Aku nggak bisa lupain Irgi. Aku cinta mati sama dia,” ujar Ega disela isaknya.
“Ss ....sst, kamu pasti bisa. Ingat Ega, cinta sejati itu adalah cinta kepada Tuhan. Kamu coba ya .....”.
Ega nuruti anjuran Jeni untuk menerima Fery kembali. Memang dia sayang banget sama Ega. Ega berharap keputusan yang diambilnya kali ini bukan merupakan kesalahan seperti yang dilakukannya saat dia menerima Irgi.
Biarpun Fery udah begitu baiknya, Ega tetap aja belum bisa menerima Fery sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupannya. Menurutnya, posisi Irgi belum bisa digantikan oleh siapapun termasuk Fery. Fery ngajak Ega ke sebuah cafe. Suasana cafe yang cukup romantis pas benar pilihan Fery untuk mengungkapkan semua perasaannya ke Ega.
“Ga, aku nggak tau dan entah apalagi yang bisa aku lakukan untuk yakini kamu, kalau aku benar-benar serius sama kamu. Aku ngerti kok, kalau hati kamu bukan untuk aku. Aku nggak bisa mengantikan posisi Irgi di hati kamu”.
“Irgi...? Kok kamu tau?”
“Jeni udah cerita banyak tentang kamu. Maaf, mungkin aku terlalu lancang tau soal kamu. Tapi ini aku lakukan karena aku bingung dengan sikap kamu. Kita sudah hampir dua bulan pacaran, tapi nggak seperti orang pacaran lazimnya. Aku sadar Ga, aku nggak akan bisa bahagiakan kamu”.
Fery menarik napas dalam-dalam. “Aku nggak peduli perasaan kamu ke aku seperti apa, tapi kamu harus tau aku benar-benar sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, Ga.
Streett....!! tanpa diduga jus tomat Ega tumpah, sehingga membasahi jeans yang dikenakan Ega.
“Kok bisa gini Ga? Kamu sich melamun aja,” kata Fery sembari membersihkan celana Ega dengan tissue. Ega membiarkan Fery melakukan itu. Nggak biasanya dia seperti itu.
“Dah selesai,” kata Fery.
Ega kaget. Berarti dari tadi Fery membersihkan celananya, Ega terus melamun.
“Thanks ya Fer. Duh .. jadi nggak enak nich”.
“Nggak apa-apa Ga”.
“Aku ke toilet sebentar ya Fer”.
Ega ke toilet yang berada di sebelah kanan pintu keluar.
“Oh Tuhan...., kenapa aku selalu deg-degan terus bila dekat sama Fery, padahal sebelaumnya nggak gitu. Dia baik banget, aku nggak tega kalau nyakitin dia. Mungkin Jeni benar, aku harus menerima Fery jadi soulmateku, dan aku akan berusaha belajar mencintainya,” pikir Ega dalam hati.
Pas mau masuk ke toilet, tiba-tiba mata Ega terbentur dengan sosok yang nggak asing lagi buatnya.
“Irgi ....?”
“Ega......kenapa ada di sini?”
“Kamu sendiri? Aku lagi makan bareng sama teman”.
“Dengan siapa kemari? Dengan pacar kamu?”
Bussyet Irgi ngeledek atau serius.
“Nggak, teman.”
“Kamu masih sendiri Ga?”
“He eh”.
“Sama donk kalau gitu”.
“Kenapa ya aku nggak ngerasain hal yang sama pada Irgi seperti yang aku rasakan waktu dengan Fery,” pikirku
“Berarti aku bisa donk jalan lagi sama kamu,” tanya Irgi.
Ega bingung dengan pertanyaan Irgi barusan.
“Boleh”.
“Ga, aku cabut dulu, teman-teman nunggu tuh...”.
***
“Jen, gimana nich? Ntar malam Irgi ngajak aku kencan.”
“Kencan apaan?”
“Jen, aku bingung banget. Tau nggak, dia ngajak aku balikan”.
“Nggak bisa Ga. Aku nggak setuju”.
“Tapi aku masih sayang sama dia. Dia nggak berubah Jen. Lagian kami kan belum putus”.
“Kamu tu gila ya Ga. Irgi tu udah ninggalin kamu, terus sekerang dia ngajakin kamu pacaran lagi. Kamu tu jangan bego Ga”.
“Tapi aku senang kalau bisa jalan sama dia lagi. Masalahnya Fery, Jen. Gimana Fery?”
“Aku nggak bisa bantu kamu soal ini. Aku nggak ikut dalam perbuatan konyol kamu”.
“Ya udahlah, Jen”.
Jeni ninggalin Ega. Sementara Ega masa bodoh dengan omongan Jeni.
Malamnya Irgi menjemput Ega. Irgi membawa Ega ke tempat yang nggak kalah romantisnya dengan waktu Fery ngajak Ega.
“Ga, aku minta maaf”.
“Soal apa?”
“Aku tau, mungkin permintaan maaf aku ini nggak cukup buat nebus kesalahan aku sama kamu. Aku ninggalin kamu gitu aja,” hati-hati Irgi melanjutkan kata-katanya.
“Waktu itu aku nggak tega mutusin kamu, makanya aku pergi ninggalin kamu”.
Ega terdiam, kegetiran menyelimuti perasaannya. Luka lamanya tertoreh kembali oleh perkataan Irgi yang mengingatkannya pada penderitaan yang ia rasakan sepeninggalan Irgi darinya.
“Ga, maafin aku. Sebenarnya waktu kita masih pacaran dulu, aku udah menjalin hubungan dengan cewek lain, namanya Nela. Aku membandingkan kamu dengan Nela, dengan tujuan ingin mencari yang terbaik diantara kalian berdua. Dengan Nela aku mendapatkan sesuatu yang nggak aku dapat dari kamu. Makanya aku putuskan bahwa Nela adalah pilihan hatiku”.
Air mata yang indah ditahan Ega dari tadi nggak bisa lagi diajak kompromi, kini bergulir di kedua pipinya.
“Aku pergi dari kehidupan kamu dengan harapan aku bisa bahagia dengan Nela. Tapi kenyataannya lain, Nela nggak cuma milik aku, dia juga milik cowok-cowok lain. Sejak aku tau Nela seperti itu, aku putus sama dia, dan setelah itu aku kesepian. Waktu itu aku sempat berpikir untuk kembali sama kamu, tapi aku takut kamu nggak mau menerima aku. Akhirnya kita bertemu di cafe itu. Waktu itu semangat dan keberanianku muncul, karena aku yakin dari tatapan mata kamu, masih ada cinta buat aku,” kata Irgi.
Ega mengatur napas. Tampaknya sulit untuk bicara, karena isakan tangis.
“Aku nggak bisa, Ir”.
“Kenapa?” Irgi terkejut dengan ucapan Ega yang nggak pernah dia duga.
“Aku ingin mencari kebahagiaan seperti halnya kamu. Dan aku rasa kebahagiaan itu nggak aku dapatkan dari kamu, tapi dari orang lain.”
“Siapa orang itu, Ga”.
“Kamu nggak perlu tau siapa dia”.
“Tapi aku yakin, Ga, kamu hanya cinta sama aku.”
“Kamu benar, Ir. Aku memang sangat cinta sama kamu, dan aku sulit untuk ngelupain kamu, tetapi bukan berarti aku nggak bisa melupakan kamu.”
“Tapi gimana dengan aku, Ga. Kamu harus mikirin aku donk!”
“Waktu kamu ninggalin aku, kamu pernah mikir nggak dengan perasaan aku. Nggak pernah kan, Ir?”
“Tapi ....”
“Ir, serbaiknya kamu lupain semua tentang kita. Itu semua masa lalu, dan aku rasa nggak seharusnya kamu ada di sini, aku nggak mengharapkan kehadiran kamu. Pergilah Ir, kamu harus mencari cinta kamu, karena cinta kamu bukan aku.
***
“Hei .....ngelamun terus. Tuh Fery nungguin di bawah, Ga. Kayaknya dia ada sesuatu untuk kamu,” Jeni mengejutkan Ega, sehingga lamunannya berhamburan entah kemana.
“Apa....?”
“Nggak tau. Lihat aja sendiri”.
“Apaan nich Fer?”
“Ntar aja dibuka”.
“Makasih ya”.
Seharian Ega berduaan sama Fery ngerayaan ultahnya Ega yang ke 21. Ega mulai suka sama Fery. Ega nggak sia-sia belajar mencintai dia, karena sekarang Ega memang cinta sama dia.
“Oh ya, Ga, handphone kamu ketinggalan. Tadi aku lihat ada satu missed call dan satu message. Coba lihat”.
Ega meraih handphone di tempat tidurnya. Satu nomor baru, ada satu pesan lagi.
“Selamat Ulang Tahun Ega,” tulis Irgi di handphone itu.
Tersenyumlah Sahabat Ku!!
Oleh : Ghyna Noviana Yuniar
Oleh : Ghyna Noviana Yuniar
Kala mentari sudah mulai menampakan dirinya, pancaran sinarnya pun mulai terasa hangat. Tubuhku sudah siap untuk menyambut pagi ini, meski bahan makalah masih terbengkalai, laporan karya ilmiah masih terbengkalai, tugas-tugas sekolah pun masih terbengkalai dan sekarang muncul pula masalah yang memusingkan kepala. Meski pikiranku ini tak karuan, aku paksakan kaki ini untuk terus melangkah ke tempat tujuan.
Aku sedih .. !!
Iya ,, aku sangat sedih. Dalam waktu sekejap persahabatan yang indah itu hancur berkeping-keping. Wajah manis berubah menakutkan, tak ada kata yang keluar dari bibirku dan bibirnya. Bibir itu mengatup tanpa komando. Kebahagiaan berubah menjadi kesedihan, kebersamaan berubah menjadi perpisahan. Meski raga bersatu tapi jiwa terpisah.
Sering aku bertanya dalam hati, kenapa ini bisa terjadi?? Mengapa kesedihan yang sama harus terulang kembali, mengapa harus ada kesedihan setelah kesedihan itu pergi ??
Tapi sayang, tak ada jawaban !
Pertanyaan hanya tinggal tanya. Aku hanya manusia biasa, aku tetaplah insan lemah yang tak punya daya. Aku tidak bisa mengelak dari bencana itu.
“ Rha, besok giliran kelompok kita untuk presentasi, tadi siang Fachri kasih tau aku.” Aku beranikan diri menghampirinya. Aku harus bisa melawan syetan itu. Aku tidak mau dicap sebagai orang yang suka memutuskan tali silaturrahmi. Seperti sabda Nabi dalam sebuah hadistnya : “Tidak akan masuk surga orang yang mendiamkan saudaranya selama lebih dari 3 hari.”
Percuma beribadah sepanjang masa kalau akhirnya tetap masuk neraka. Itulah kenapa aku mati-matian ungkapkan sepatah dua patah kata padanya. Aku tak peduli apakah dia mau dengar atau tidak, ditanggapi atau tidak aku tak peduli. Biar saja, yang yang penting tugas dan kewajibanku selesai. Dia mengangguk sambil bergumam pelan, aku tidak sempat mendengar gumaman itu karena aku terlanjur mengangkat kaki dari sana, aku tak punya daya untuk terus menopang kaki di tempat itu. Tak ada ucapan terima kasih yang aku dengar dari bibirnya. Biarlah ! aku tak butuh ucapan terimakasih itu, yang pasti aku lega karena kewajiban itu berhasil aku tunaikan. Setidaknya aku tidak akan masuk neraka karenanya. Itu saja !
Lambat laun perang dingin itu tercium juga. Teman-teman sekelas pun heran melihat aku yang tidak seperti biasanya. Mereka yang tau aku dan kenal siap aku, mereka yang selalu melihat aku dengan Zahra selalu bersama-sama. Tapi sekarang .. mereka tak melihat lagi hal itu. Mungkin mereka juga sudah tau masalah antara aku dan Zahra.
Aku ditemui Nabil setelah bel pulang sekolah di ruang kelas.
“ Syah, ada masalah ya sama Zahra ?” tanyanya sambil menarik kursi dan duduk disampingku. Mau tak mau aku harus jujur.
“ Iya, aku juga ngga tau kenapa bisa terjadi ?” ujarku.
“ Awalnya gimana sih kejadiannya ?” Nabil balik Tanya.
“ Aku rasa karena masalah kemarin, dia nanya tapi aku menanggapinya kurang ramah. Seharusnya dia juga ngerti kalau saat itu aku lagi bingung dan panik.”
” Kamu kenapa jawabnya kurang ramah?” protes Nabil.
”Aku kesal aja, dia ngga sopan sama aku. Memang dia anggap aku apa ?” Aku balik protes.
” Aku tau, semuanya terjadi karena kalian sama-sama panik dan terjadilah salah paham seperti itu. Sekarang kamu lupakan saja masalah itu.kembalilah bersikap biasa, bersahabatlah seperti dulu. Aku ngga suka kamu seperti itu.
” Sebenarnya aku yang salah, seharusnya aku bersikap bijaksana, tidak boleh membalas keegoan dengan keegoan yang lain.”
” Nah ,, itu kamu tau sendiri. Sekarang kamu harus seperti dulu lagi, sapa dan bicaralah denganya. Jangan takut dicuekin, itu tantangan mulia untukmu. Ayo Aisyah ...berjuanglah ! sangat mulia orang yang menghubungkan silaturrahmi.” Nabil menasehatiku. Aku bersyukur punya teman yang perhatian dan suka mengingatkan. Dia memang teman yang baik.
” Makasih ya ,, Bil. Aku akan berjuang mengembalikan jalinan itu kembali. Mohon doanya ya !!
Aku menggerakan bibir sambil membentuknya menjadi lebih indah, itu senyuman paling manis yang aku ciptakan. Aku berharap senyumman itu bisa meluluhkan hatinya. Tapi ternyata senyum itu hanya tinggal senyum. Senyuman manisku teracuhkan begtu saja, dia melengah tanpa membalas sedikitpun. Hatiku menyuruh sabar .. sabar .. dan tetap sabarr.
Perjuangan belum usai !!
Aku tidak boleh menyerah ...
Aku harus tetap berjuang sampai senyuman manisku dibalas dengan senyuman yang paling manis.
” Oya ,, Rha , besok materi presentasi kita tentang wawancara, drama dan pidato.” Lagi-lagi senyumku mengembang sambil menyapanya. Aku bersyukur punya bahan pembicaraan supaya bisa berbicara dengannya. Dia diam saja, lagi-lagi tanpa ucapan terima kasih. Ah ,, sudah biasa.
Hari ini kos’an sepi, sunyi, tak ada suara-suara yang berarti. Mungkin semua orang sibuk dengan aktivtasnya disekolah. Aku tau, di kamar sebelah ada Zahra. Aku juga tau, hanya aku dan Zahra yang tersisa di kos’an hari ini. Aku sengaja berangkat agak siang ke sekolah,karena aku tau Zahra masih siap-siap di kamarnya. Aku beranikan diri menghampirinya dan mencoba menyapanya. Bermaksud untuk mengajak beangkat kesekolah bersama, tapi sayang sepertinya usahaku kembali sia-sia. Dia seolah-olah menganggapku tak ada. Saat itu, tak sanggup lagi rasanya hatiku menerima perlakuan seperti ini. Dia hanya diam saja tak perdulikan omonganku.
” Rha ,, aku kesekolah duluan ya.” Lagi-lagi aku tabah-tabahkan hati setelah sekali lagi dicuekin. Dalam hati aku berdoa semoga Allah melembutkan hatinya dan bisa menerima aku kembali menjadi sahabatnya. Sayang ,, persahabatan indah itu harus pupus di tengah jalan setelah sekian lama membinanya
” Boleh bicara, Rha ?” Aku menghampirinya di perpustakaan. Dia cuek, tanpa mmenoleh sama sekali, matanya lekat tertuju pada buku yang sedang dia baca.
“ Rha ,, kamu dengar suara aku kan ?” kali ini suaraku terdengar serak.sedih sekali dicuekin seperti ini.
“ Mau ngomong apa ?” Itu suara Zahra. Alhamdulillah akhirnya suara itu terdengar juga setelah sekian lama aku menantinya.
“ Kita tidak boleh seperti ini terus Rha, diam-diaman tanpa kenal dosa.sedih hati ini Rha, kita bersahabat sejak lama, sayang hanya karena masalah sepele kita bermusuhan seperti ini. Mari kita rajut kembali benang-benang itu menjadi tali ukhuwah yang lebih indah, mari kita bina persahabatan kita kembali.” Air mataku berjatuhan dari pelupuknya. Air mata itu mengalir mengairi pipi mulusku lalu merambas ke sela-sela jilbab putih yang aku pakai. “Rabb ,, hati ini sedih sekali.” Batinku pelan.
“ Terserah ....” Hanya itu jawaban darinya.
“ Terserah apanya, Rha ?”
“ Ya terserah .”
“ Kamu ga boleh seperti itu Rha, kasihlah komentar harus seperti apa hubungan kita,harus dibawa kemana persahabatan kita ?”
“ Up to you !” itu jawaban singkat yang betul-betul menyinggung perasaanku. Sedikitpun dia tidak menghargai aku sebagai sahabatnya. Dari jawaban ketus itu aku bisa mengambil kesimpulan bahwa Zahra tak lagi menganggap diriku sahabatnya.
“ Terima kasih Rha atas jawabanmu, setidaknya aku tau apa yang harus aku lakukan setelah ini. Maaf kalau aku selama ini tidak bisa menjadi sahabat yang baik bagimu, maaf kalau selama ini aku sering merepotkanmu dan maaf kalau aku harus mengambil keputusan yang aku sendiri tak sanggup melakukannya.
Tapi sanggup tak sanggup aku harus tetap menjalankannya. Air mtaku bertambah deras membasahi pipi,suaraku gemetar tak terhingga. Sebelum beranjak aku kuatkan hati untuk mengulurkan tangan ingin bersalaman, mungkin jabat tangan terakhir. Alhamdulillah dia menyambutnya walaupun hanya sekilas saja.
Aku beranjak ke luar dengan hati pilu. Keputusanku sudah bulat, aku harus hijrah ke tempat lain. Aku tidakmau menjadi masalah disini. Mengalah bukan berarti kalah bukan ???
Namun, sungguh sejujurnya aku tak mengharapkan kejadian ini. Aku pikir semuanya akan baik-baik saja.
Sudahlah ...
Apa dayaku ,,,
Harapan aku selama ini tak kunjung ku dapatkan, ku tak temukan lagi ”senyuman dari sahabatku”.
SAHABAT
Aku bersembunyi ..
Bukan berarti akumenghindar
Aku tenggelam..
Bukan berarti aku menghilang
Tapi..
Semua itu aku lakukan
Demi kebaikan kitabersamanya
Tanpa Kekasih
Oleh : Eka Fransiska
Oleh : Eka Fransiska
Telah sekian lama aku merasa menanti Bayu menjadi milikku seutuhnya. Akhirnya, cerita cintaku saat ini sudah happy ending, tingal sekarang aku dan Bayu yang menjalaninya. Dulu kami sering sekali bertengkar, hanya karena hal-hal kecil, kadang kami sampai ribut nggak menentu. Dulu sebagai teman, kami memang bukan teman yang cocok, kami saling menjatuhkan dan saling membenci. Tapi sekarang, benar kata orang-orang, kalau kamu membenci seseorang janganlah kamu sampai terlalu, dan hasilnya sekarang perasaan itu menjadi kebalikan bagi aku dan Bayu, justru kami sekarang saling mencintai dan menyayangi. Tapi yang jelas, aku juga nggak mau kehilangan Bayu, aku takut juga kalau aku terlalu mencintai dan menyayangi dia, bisa jadi aku dan dia akan terpisahkan.
“Hei Ela, kamu lagi ngapain? aku kangen deh sama kamu..”
“Halo Bayu, kan baru kemarin kita ketemu, kamu gimana sih?”
“Ela, kamu baik-baik ya di sana, jaga diri kamu dan jangan pernah lupakan aku ya sayang.”
“Kamu ngomong apa sih Bayu? Kamu ngigau ya?”
“Nggak, maksud aku yah kamu jangan macam-macam di sana, kan di kampus kamu banyak banget tuh cowok-cowok keren, ntar ada yang godain kamu lagi, trus kamu lupain aku.”
“Ha-ha.....ha-ha.... ya nggak dong sayang, aku nggak akan tergoda sama cowok-cowok di kampus ini, nggak ada yang kayak kamu di sini, dan yang aku mau tuh cuma kamu seorang.”
“Hei, kamu udah pintar ngegombal yah, siapa yang ajarin, ayo ngaku?”
“Bayu, kamu apaan sih?! Udah deh, aku mau kamu kasih aku kepercayaan untuk berteman dengan teman-temanku. Asal kamu tau aku berterima kasih banget selama ini sama Tuhan karena aku udah bisa memiliki kamu.”
“Iya Ela, dan asal kamu tau juga cintaku lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan selama ini.”
Satu hal inilah yang selalu ditakutkan Bayu, dia selalu bilang aku akan tergoda oleh cowok-cowok di kampus, sementara aku nggak begitu? Justru akulah yang paling takut Bayu yang akan berpaling dariku, dia akan pergi meninggalkanku selamanya, dan cintanya hilang untukku. Bayu sekarang kerja di salah satu perusahaan asing terkemuka di kota ini, sebagai cowok kalau kita melihatnya dengan kesan pertama, dia adalah cowok yang diimpi-impikan semua cewek, karena Bayu punya segalanya, dengan modal wajah yang tampan, prilaku yang baik, kerja yang mapan, akupun takut dia akan pergi dariku, kalau seandainya ada cewek yang lebih menarik dariku, lebih sederajat dengan dia.
Bayu menggenggam tanganku erat sekali, aku merasakan kenyamanan saat dia memegang tanganku. Aku merasakan cintanya begitu kuat untukku. Saat kami masuk ke sebuah toko buku, Bayu bilang dia akan membelikan aku sebuah buku sastra yang dulu sudah pernah dibacanya dan sekrang dia ingin aku juga membaca buku itu. Setelah Bayu membayar buku tersebut, Bayu langsung menyerahkannya padaku. Aku kaget membaca sinopsisnya, ternyata buku itu berisi tentang kekuatan cinta yang tulus, yang akhirnya terpisahkan oleh maut, dan bagaimana sakitnya hati seorang kekasih saat menghadapi peristiwa kematian itu.
“Bayu, kenapa kamu kasih aku buku kayak gini?”
“Ela, aku pengen banget kamu baca buku ini, karena kalau kamu baca buku ini, kamu bakal lebih mengerti lagi apa itu cinta sejati, kamu akan merasakan betapa sangat berartinya orang yang mencintai kamu, pokoknya ceritanya bagus deh, kamu pasti nggak bakalan nyesal kalau baca buku ini, dan setelah membacanya, aku juga yakin kamu akan semakin sayang sama aku, he-he... he-he ...”
“Ih, kamu!! Ke-GR-an banget sih kamu, masa cuma gara-gara baca buku ini aku bisa semakin sayang sama kamu.”
“Eh, benaran, percaya deh sama aku. Kalau nggak, ntar kamu boleh musuhin aku lagi deh kayak dulu.”
“Bayu!! Kamu ngomong apaan sih, ya udah-udah, aku baca bukunya, kamu kira aku bakalan senang yah kalau kita musuhan lagi.”
Bayu aneh sekali hari ini. Tadi siang dia ngomong yang nggak-nggak di telpon, dan malam ini dia juga menyuruhku membaca buku yang isinya aneh, tentang kematian. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang, kata kematian terasa terngiang-ngiang di telingaku. Entah kenapa aku semakin ketakutan, takut akan kematian, takut akan kehilangan. Peganganku semakin aku kuatkan ke pinggang Bayu, aku peluk pungungnya dan aku sandarkan wajahku ke sana. Aku merasakan lagi kalau aku bersama Bayu, saat ini mungkin Bayu sedang tersenyum karena dia merasakan cintaku besar untuknya.
Sambil mengenderai motornya, sesekali dia menoleh ke belakang untuk melihatku, Bayu seperti orang yang was-was. Aneh, di sepanjang jalan aku terus kepikiran. Dan akhirnya bunyi keras dan goncangan hebat membuat aku kaget, nggak hanya goncangan, tapi sakit yang luar biasa di kepalaku, aku merasakan pusing serasa dunia ini berputar sangat kencang sekali, penglihatanku kabur, aku berusaha untuk menyadarkan diriku sendiri, apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba aku melihat Bayu yang sedang tidur di jalanan, samar-samar aku melihat dia seolah-olah tidur nyenyak, aku merasa mimpi, mana mungkin Bayu tidur di jalan, perasaan baru tadi aku boncengan dengan dia. Aku berjalan mendekati dia, tapi orang-orang yang ramai lebih dulu menghampiri dia, aku semakin kesakitan, aku nggak kuat lagi dan akhirnya yang aku lihat hanya kegelapan.
“Ela, kamu nggak apa-apa sayang, ini Mama.”
Aku pandangi wajah Mama. Dia seperti orang yang ketakutan, aku melihat sekelilingku, tiba-tiba aku baru sadar, selintas kejadian tadi malam teringat lagi olehku.
“Ma, Bayu mana? Dia baik-baik aja kan?”
“Ela, nanti aja, kamu istirahat dulu, kamu masih sakit sayang.”
“Nggak Ma, Ela nggak merasa sakit apa-apa, sekarang Ela mau lihat Bayu, dimana dia Ma?”
“Ela, luka kamu belum kering betul, tadi kamu terus-terusan ngigau kalau kamu ngerasain sakit.”
“Ma, Ela nggak ngerasa sakit, benaran, nggak tau kenapa Ela ngerasa sehat dan kuat Ma, sekarang pokoknya Ela mau ketemu Bayu, pasti saat ini dia butuhin Ela banget.”
“Ela, saat ini Bayu nggak butuh siapa-siapa lagi, dia udah aman Ela, dia udah tenang di sana, sekarang udah bahagia dengan kehidupannya sendiri, ada yang menjaga dia di sana.”
“Apa? Apa Ma, maksud Mama? Mama bohong!! Ela nggak percaya, nggak mungkin, nggak mungkin itu terjadi sama Bayu, dia udah janji Ma nggak akan pernah ninggalin Ela, dia sayang Ela, Ela sayang Bayu Ma .... nggak, nggak mungkin....
Teriakanku membuat semua suster datang ke tempatku, mereka berusaha menenangkanku, tapi aku nggak bisa, air mataku mengalir terus tiada hentinya, salah seorang suster baru saja akan memberiku suntikan penenang, tapi cepat-cepat aku elakkan.
“Tolong jangan suster, saat ini aku nggak butuh itu, aku hanya ingin menangis, aku nggak rela, aku marah sama Bayu, kenapa dia berani pergi ninggalin aku, padahal dulu dia udah janji nggak akan pernah pergi dariku, tapi kenapa Bayu bohong, kenapa sekarang justru dia pergi selamanya, dan aku tau dia nggak akan pernah kembali lagi kan untukku? Kenapa kamu tinggalin aku Bayu?”
“Ela, ini udah takdirnya, waktu Bayu udah habis di dunia, kamu jangan pernah marah sama Bayu sayang. Kamu harus yakin kalau sekarang Bayu udah bahagia di sana.”
“Ma, kenapa justru Bayu, kenapa buka Ela aja yang ada di sana? Ela mau kok Ma, Menggantikan Bayu, karena Ela sayang sama Bayu Ma, atau biarkan Ela untuk bersama dia sekarang, Ela pengen menyusul dia Ma, Ela nggak mau hidup di dunia ini tanpa dia, percuma Ma, percuma kalau nggak ada Bayu di sini, hidup Ela nggak ada arti apa-apa.”
Dengan cepat suster-suster itu memegang seluruh tubuhku, dan sesaat kemudian aku tertidur, di alam mimpi Bayu datang padaku. Dengan pakaian yang serba putih Bayu tersenyum padaku, dia berjalan mendekatiku, dia kelihatan senang sekali, seolah-olah dia mendapatkan kebahagiaan yang baru, yang tiada duanya di dunia, melihat Bayu terus-terusan tersenyum, rasanya aku ingin sekali ikut bersama dia, ikut merasakan kebahagiaan yang dia rasakan saat ini. Aku berusaha memeluknya dan menggenggam tangannya, dia membalas pelukanku, dia mendekapku, kembali aku meerasakan kenyamanan bersamanya, aku merasakan dia memberiku kekuatan, ketegaran, dia membelai rambutku dengan penuh rasa sayang, tapi pelan-pelan dia melepaskanku, dia justru menjauh dariku, semakin jauh, jauh dan hilang dari penglihatanku.
Saat aku sadar, aku menangis lagi, aku bukan menangis karena menahan sakit pada kepalaku, tapi aku menangis karena hatiku yang terasa amat sakit. Sekarang dunia bagiku terasa kelam, hujan nggak hanya membasahi bumi, tapi hujan membasahi kehidupanku, hatiku seolah-olah nggak berhenti menangis, menangisi orang yang telah pergi untuk selama-lamanya, dia nggak akan pernah kembali lagi.
Tiba-tiba mataku tertuju pada buku yang ada di atas meja, aku baru ingat kalau itu adalah buku yang dibelikan Bayu kemarin. Aku buka satu demi satu halaman buku itu, beberapa menit kemudian aku tenggelam dalam ceritanya. Aku menangis membaca buku itu, sekilas aku seolah-olah melihat wajah Bayu tersenyum di langit yang mendung di luar sana.
Entah kenapa sekarang aku kembali merasakan kekuatan itu, kekuatan cinta yang diberikan oleh Bayu, aku merasakan dia ada di dekatku, merangkulku, menenangkanku, aku dapat merasakan cinta dan sayangnya. Bayu, aku sangat mencintai dan menyayangi kamu, aku yakin kamu bahagia di sana, walaupun kamu sudah pergi dari kehidupanku, tapi kamu nggak akan pernah pergi dari hatiku, kamu abadi untukku, Bayu. Aku akan buktikan, kematianmu nggak akan pernah mengakhiri cintaku.
***
Setitik Gerimis di Pagi Hari
Oleh : Veni Yuherliana Putri
Namaku Zie. Aku adalah anak tunggal sekaligus yatim. Aku sangat menyukai gambar dan lukisan. Tetapi penyakit jantung ayah kambuh saat penyerahan hadiah kemenanganku atas lomba lukis se-Riau, dan ia tak pernah melihat piagam kemenanganku untuk selamanya.
Sejak kejadian itu, aku sulit untuk membuat gambar ataupun melukis lagi. Dan tugasku sebagai ilustrator mading sekolah sering tersendat dan tidak sesuai lagi dengan keinginanku.
“Hei, Zie!” teriak Bima dari luar kelas.
Bima adalah ketua ilustrator. Saat itu aku sedang membuat ilustrasi untuk majalah dinding bulan ini yang ditugaskan olehnya. Tapi sepertinya dia akan meminta tugasku sekarang.
“Sorry, Bim,” aku kembali melanjutkan menggambar, tanpa menoleh,”mungkin setengah jam lagi siap.”
“Entar aku kesini semuanya udah clear, oke?”
Tanpa menunggu jawabanku, Bima membalikkan langkahnya.
Andaikan aku bisa kembali menggambar seperti dulu, mungkin tugas seperti ini akan selesai dari tadi. Oh, god!
Kerongkonganku terasa kering. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli minuman di kantin yang cukup jauh juga dari kelas ini.
Sesaat setelah meneguk pop ice rasa anggur kesukaanku, terdengar pembicaraan di belakangku.
“Kenapa lagi dia?” kata suara yang kurang kukenal.
“Nggak tau, tuh! Buat ilustrasi gitu aja lama betul,” aku mengenali suara ini sebagai suara Bima,
“Jangan-jangan ilustrasinya baru siap besok!” celetuk temannya Bima.
“Tauk, ah!” jawab Bima geram, “Cewek itu selalu suka seenaknya. Udah jelek, belagu lagi! Untung…,”
Aku tak lagi mendengar kelanjutan percakapan itu, mereka sudah pergi dari tempat duduk mereka. Dan tanpa kusadari airmataku sudah jatuh membasahi pipiku yang tak mulus karena jerawat.
Besoknya aku tak merasa ingin pergi ke sekolah. Begitu juga dua hari berikutnya. Ibu tidak banyak bertanya kenapa aku tidak ke sekolah. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai penerjemah.
Beberapa orang mengirimkan pesan padaku lewat sms, tapi semuanya tidak menanyakan keadaanku. Mereka hanya memintaku untuk melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai. Betapa bencinya aku pada mereka semua!
Di hari keempat sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk kembali ke sekolah. Dan aku membulatkan tekad untuk tidak memedulikan mereka, yang sebagian besar membenciku.
Hari ini ada seorang murid baru cewek pindahan dari Selat Panjang. Anak baru itu sangat cantik, dan dia memperkenalkan dirinya dengan nama Fira.
“Hai, aku boleh duduk disampingmu?” tanya Fira kepadaku
“Silahkan, asal jangan ngeganggu aja,” jawabku
“Baiklah,” katanya sambil tersenyum, dan mengacungkan dua jarinya membentuk tanda damai kepadaku, “Aku janji nggak bakal ngerepotin, kok!”
Fira anak yang senang bercerita. Walaupun aku tidak terlalu suka dengan orang yang banyak bicara, tapi aku selalu betah mendengarkan ceritanya yang sebagian besar terdengar konyol. Fira juga membuatku jadi tidak minder kalau berada di dekatnya, karena dia selalu menggandeng tanganku.
“Zie, kamu kok diam saja,” Tanya Fira suatu hari, “sekali-kali cerita gitu sama aku. Perasaan selama ini aku terus yang bekoak-koak sendiri kaya’ tante-tante cerewet!”
Aku tertawa mendengar perkataan Fira yang polos itu. Kejujurannya inilah yang mungkin menyebabkan aku betah mendengarkan ceritanya.
“Entah, Fir,” kataku akhirnya setelah selesai tertawa, “Aku tidak punya bahan cerita yang menarik untuk diceritakan.”
“Kok gitu?” aku tidak menjawab pertanyaannya. Bagiku cukup kalau dia bersikap seperti ini padaku tanpa harus terkontaminasi oleh cerita-ceritaku nantinya.
“Zie!” teriak Bima dari depan pintu kelas
Aku menjawab dengan mendengus menandakan bahwa aku mendengarkannya.
“Tugas kemarin udah selesai?”
“Nggak,” jawabku sekenanya, “aku nggak mood ngerjainnya.”
“Maksudmu? Kamu ini, udah lama dikasih tugasnya, belum kelar-kelar juga! Lelet amat sih jadi orang!” teriak Bima, “Niat kerja nggak sih, dasar cewek jelek!”
Darahku hampir mendidih mendengar perkataannya barusan. Kemudian tiba-tiba Fira sudah berdiri di depanku dan menarikku mendekati Bima.
“Zie, kamu tahu nggak, gara-gara cowok yang selalu memandang fisik seseorang kaya’ gini aku pindah dari sekolahku yang lama,” setelah berkata begitu, Fira mengepalkan tinjunya dan mengarahkannya ke perut Bima, dan membuat Bima meringis kesakitan.
“Apaan sih cewek ini,” kata Bima sambil memegangi perutnya yang meradang, “Kamu udah gila, ya! Dasar Cewek Lesbi!”
Kali ini aku yang naik pitam. aku masih bisa bersabar kalau dia menghinaku. Tapi tidak kalau dia berani menghina satu-satunya teman yang begitu baik padaku. Aku menampar mukanya berkali-kali hingga muka Bima yang putih mulus berubah merah lebam.
“Itu hadiah buatmu karena nggak pernah sopan sama cewe’,” kataku akhirnya, dan melemparkan sebuah amplop yang jatuh di atas perutnya, “dan itu surat pengunduran diriku,”
Betapa leganya aku karena telah melampiaskan kekesalanku selama ini. Setelah hari itu, entah kenapa jari-jemariku kembali menuruti keinginanku, sehingga aku kembali dapat melukis seperti dulu. Thanks God!
Kutitipkan cintaku pada-Mu
Oleh :
Septhi Permendtkaret
Muhammad
Aqil Al Fatih... Itu nama salah satu mahasiswa sekaligus seniorku. Mahasiswa
lain biasa memanggilnya ‘Aqil’, tapi tidak denganku, aku lebih senang
memanggilnya ‘Alfath’. Kebiasaanku mengganti nama orang memang sudah melekat
kuat pada diriku.
Semua berawal dari PROSPEK. Kebetulan aku mahasiswa baru disalah satu Universitas Islam di kota Sangatta Kaltim. Jadi mau tidak mau aku harus mengikuti “Program Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus” (PROSPEK). Oh iya, namaku ‘Azzna’, nama yang diambil dari nama depan dan akhiran, begitulah orang-orang mendeskripsikannya.
Lengkapnya ‘Azzatul Khusna’. Waktu itu tepat seorang panitia prospek berteriak nyaring disampingku. ‘Owh My God, very noisy...!!!’ hanya kata itu yang aku ucapkan dalam hati. Setelah aku membelokkan kepalaku kurang lebih berbelok 90 derajat, kira-kira segitulah, karna aku juga tidak sempat mengukur berapa derajat kepalaku berbelok. Seorang laki-laki bertubuh tidak terlalu tinggi, berhidung mancung dan kalau aku bandingkan dengan laki-laki kebanyakan, dia termasuk laki-laki yang berkulit putih bersih, wajahnya terlihat sangat kalem dan religius.
Tapi lupakan dulu gambaran dari panitia yang aku ceritakan tadi, karna aku juga bukan type-kal cewe yang selalu menomor satukan fisikly. Dan semenjak itu ada kebencian yang tertanam dihatiku. Aku hanya kurang suka dengan sikapnya itu, aku tidak suka ada orang yang berteriak didekatku.
Waktu terus berjalan, dari prospek hari pertama, hari kedua, hari ketiga, dan aku merasa ada yang aneh denganku. Diam-diam aku suka memperhatikan seniorku itu, bahkan dengan berbagai alasan aku mendekatinya, tidak bisa disebut mendekatinya juga, karna aku hanya ingin melihatnya lebih dekat, paling tidak dari jarak yang tidak lebih dari satu meter. ‘sampah’.. yahh hanya itu yang bisa aku jadikan alasan. Dia berdiri tidak jauh dari tong sampah berukuran sedang, dua kali aku mondar-mandir memungut kertas/ plastic yang tidak terpakai, jelas memang aku seperti orang yang kurang kerjaan, tapi aacchhh.. aku tidak peduli, aku hanya ingin melihat kakak senior, just it.
Tiba waktunya para mahasiswa baru (peserta prospek., termasuk aku) harus meminta tanda tangan panitia-panitia prospek. Banyak panitia yang baik hati memberikan tanda tangannya tanpa si mahasiswa harus bersusah payah menuruti satu persatu perintah dari panitia. Tapi sepertinya hanya aku yang aneh, aku sibuk mencari dimana keberadaan salah satu panitia disana. Alhamdulillah, aku melihatnya, ‘Thanks God’, aku langsung mendekati rerumunan mahasiswa yang sedang asik meminta tanda tangan dari seorang panitia. Dan kini bukan satu meter lagi jarak aku dengan panitia itu.
Aku bisa melihat jelas wajahnya, dia berada tepat dihadapanku, aku melihat dia bertanda tangan atas nama ‘Muhammad Aqil Al Fatih’. Itu dia namanya, sekarang aku tau siapa namanya. Nama yang indah seperti keindahan yang terpancar dari wajahnya. Dan otomatis, aku tidak mau melewatkan kesempatan itu, setelah mendapat tanda tangannya, aku masih tetap berdiri tegap disana, memandangnya dengan kekaguman yang luar biasa, mengagumi ciptaan Allah dengan jantung yang terus berdetak kencang.
Prospek hari ke’empat, sekaligus prospek terakhir yang kami ikuti, aku dan mahasiswa lainnya, senang, sedih bercampur seperti gado-gado yang tidak enak dibenakku. Pukul dua siang, seorang dosen memberikan materi terakhirnya. Aku mendengarkan dengan seksama, tetapi otakku terhenti saat aku menyadari ‘Muhammad Aqil Al Fatih’ berdiri disamping kursi yang sedang kududuki. ‘Astaga, Kak Alfath’,.. aku terpekik pelan, aku terlalu senang dengan detik ini, detik yang memporak-porandakan otak dan hatiku. Dan bukan lagi seperti gado-gado yang bercampur aduk, melainkan seperti tomat yang diblender, berkolaborasi dengan gula, air, es batu yang teraduk dalam satu tempat. (huuuhhhh.. ...) aku menarik pelan nafasku dan mulai mencari inspirasi untuk memunculkan ide-ide konyol sesion 2, selain ide sampah kemarin. (Ohh inspirasi.. datanglah.. datanglah..)
Aku menjatuhkan pulpenku, bertujuan agar Kak Alfath bersedia mengambilkan untukku, dan sial.. pulpen itu tidak bisa diajak kolaborasi dengan baik. Ntah apanya yang salah, tanganku yang terlalu berdosa atau memang pulpenku yang sedang tidak mood bekerjasama denganku. Pulpen itu meluncur dengan tidak terkontrol. Alhasil, seorang laki-laki bertubuh besar yang duduk didepanku berbaik hati mengambil pulpen itu untukku. ‘makasih’.. itu yang aku ucapkan pada laki-laki itu dengan imbuhan senyum kecut yang sok’ manis.
Berhubung hari terakhir prospek, jadi malamnya diadakan acara ‘malam penutupan prospek’. Panjang ceritanya aku bisa dapat nomor HP Kak Alfath, tetap dengan berbagai alasan konyol, yang intinya, seusai prospek aku sudah ber’sms’an dengannya, yang aku tau sekarang, dia orang yang cukup pendiam, kaku seperti robot, atau memang karna aku yang belum mengenalnya lebih dekat. Tapi tenang saudara-saudara, sikap Kak Alfath yang seperti itu tidak lantas mematahkan semangatku.
Kampus mengadakan kemah mahasiswa disebuah pedesaan selama empat hari. Selama kemah mahasiswa itu, aku semakin menambah pengalaman dan wawasanku. Berbaur dengan warga sekitar, sangat menyenangkan. Terlebih lagi dengan adanya Kak Alfath, meski ada dia, tidak setiap saat aku bisa bertemu dengannya. Kami memang ber’sms’an, tapi bukan berarti kami jadi dekat, yang seperti aku bilang tadi, Kak Alfath seperti robot, tidak asik, kalaupun tidak sengaja aku bertemu dengannya, tidak ada tegur sapa sama sekali. Lambat laun, masih melalui sms, aku mulai tidak canggung lagi, obrolanku juga agak menjurus kearah rayuan, aku tidak peduli, aku bukan orang yang gengsi untuk merayu lawan jenisku, jelas yang aku maksud disini bukan rayuan seperti perempuan genit, nakal atau sebagainya. Kalau tidak percaya, aku akan beri salah satu rayuan terbaikku itu,
“Ehm.. kalau boleh jujur, ada satu hal yang aku suka dari kakak, aku suka mata kakak, indah,, bersinar,, aku boleh panggil kakak bintang?”. . gimana menurut kalian? Bukan seperti perempuan genit yang berusaha menggoda lawan jenisnya kan? Dari situ Kak Alfath mulai merespon, aku tidak tau itu harapan atau hanya sekedar formalitas saja. Kak Alfath juga mulai tidak canggung membalas kata-kataku, kami bisa lebih saling mengenal satu sama lain, dengan berbagai pertanyaan yang bertujuan memancing sang idolapun kukerahkan satu persatu, hingga aku tau banyak tentang Kak Alfath, dari makanan favorit, minuman favoritnya sampai hal terkecil aku berusaha untuk mengetahuinya. Dia terlihat lebih menyenangkan bila seperti ini.
Semua berawal dari PROSPEK. Kebetulan aku mahasiswa baru disalah satu Universitas Islam di kota Sangatta Kaltim. Jadi mau tidak mau aku harus mengikuti “Program Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus” (PROSPEK). Oh iya, namaku ‘Azzna’, nama yang diambil dari nama depan dan akhiran, begitulah orang-orang mendeskripsikannya.
Lengkapnya ‘Azzatul Khusna’. Waktu itu tepat seorang panitia prospek berteriak nyaring disampingku. ‘Owh My God, very noisy...!!!’ hanya kata itu yang aku ucapkan dalam hati. Setelah aku membelokkan kepalaku kurang lebih berbelok 90 derajat, kira-kira segitulah, karna aku juga tidak sempat mengukur berapa derajat kepalaku berbelok. Seorang laki-laki bertubuh tidak terlalu tinggi, berhidung mancung dan kalau aku bandingkan dengan laki-laki kebanyakan, dia termasuk laki-laki yang berkulit putih bersih, wajahnya terlihat sangat kalem dan religius.
Tapi lupakan dulu gambaran dari panitia yang aku ceritakan tadi, karna aku juga bukan type-kal cewe yang selalu menomor satukan fisikly. Dan semenjak itu ada kebencian yang tertanam dihatiku. Aku hanya kurang suka dengan sikapnya itu, aku tidak suka ada orang yang berteriak didekatku.
Waktu terus berjalan, dari prospek hari pertama, hari kedua, hari ketiga, dan aku merasa ada yang aneh denganku. Diam-diam aku suka memperhatikan seniorku itu, bahkan dengan berbagai alasan aku mendekatinya, tidak bisa disebut mendekatinya juga, karna aku hanya ingin melihatnya lebih dekat, paling tidak dari jarak yang tidak lebih dari satu meter. ‘sampah’.. yahh hanya itu yang bisa aku jadikan alasan. Dia berdiri tidak jauh dari tong sampah berukuran sedang, dua kali aku mondar-mandir memungut kertas/ plastic yang tidak terpakai, jelas memang aku seperti orang yang kurang kerjaan, tapi aacchhh.. aku tidak peduli, aku hanya ingin melihat kakak senior, just it.
Tiba waktunya para mahasiswa baru (peserta prospek., termasuk aku) harus meminta tanda tangan panitia-panitia prospek. Banyak panitia yang baik hati memberikan tanda tangannya tanpa si mahasiswa harus bersusah payah menuruti satu persatu perintah dari panitia. Tapi sepertinya hanya aku yang aneh, aku sibuk mencari dimana keberadaan salah satu panitia disana. Alhamdulillah, aku melihatnya, ‘Thanks God’, aku langsung mendekati rerumunan mahasiswa yang sedang asik meminta tanda tangan dari seorang panitia. Dan kini bukan satu meter lagi jarak aku dengan panitia itu.
Aku bisa melihat jelas wajahnya, dia berada tepat dihadapanku, aku melihat dia bertanda tangan atas nama ‘Muhammad Aqil Al Fatih’. Itu dia namanya, sekarang aku tau siapa namanya. Nama yang indah seperti keindahan yang terpancar dari wajahnya. Dan otomatis, aku tidak mau melewatkan kesempatan itu, setelah mendapat tanda tangannya, aku masih tetap berdiri tegap disana, memandangnya dengan kekaguman yang luar biasa, mengagumi ciptaan Allah dengan jantung yang terus berdetak kencang.
Prospek hari ke’empat, sekaligus prospek terakhir yang kami ikuti, aku dan mahasiswa lainnya, senang, sedih bercampur seperti gado-gado yang tidak enak dibenakku. Pukul dua siang, seorang dosen memberikan materi terakhirnya. Aku mendengarkan dengan seksama, tetapi otakku terhenti saat aku menyadari ‘Muhammad Aqil Al Fatih’ berdiri disamping kursi yang sedang kududuki. ‘Astaga, Kak Alfath’,.. aku terpekik pelan, aku terlalu senang dengan detik ini, detik yang memporak-porandakan otak dan hatiku. Dan bukan lagi seperti gado-gado yang bercampur aduk, melainkan seperti tomat yang diblender, berkolaborasi dengan gula, air, es batu yang teraduk dalam satu tempat. (huuuhhhh.. ...) aku menarik pelan nafasku dan mulai mencari inspirasi untuk memunculkan ide-ide konyol sesion 2, selain ide sampah kemarin. (Ohh inspirasi.. datanglah.. datanglah..)
Aku menjatuhkan pulpenku, bertujuan agar Kak Alfath bersedia mengambilkan untukku, dan sial.. pulpen itu tidak bisa diajak kolaborasi dengan baik. Ntah apanya yang salah, tanganku yang terlalu berdosa atau memang pulpenku yang sedang tidak mood bekerjasama denganku. Pulpen itu meluncur dengan tidak terkontrol. Alhasil, seorang laki-laki bertubuh besar yang duduk didepanku berbaik hati mengambil pulpen itu untukku. ‘makasih’.. itu yang aku ucapkan pada laki-laki itu dengan imbuhan senyum kecut yang sok’ manis.
Berhubung hari terakhir prospek, jadi malamnya diadakan acara ‘malam penutupan prospek’. Panjang ceritanya aku bisa dapat nomor HP Kak Alfath, tetap dengan berbagai alasan konyol, yang intinya, seusai prospek aku sudah ber’sms’an dengannya, yang aku tau sekarang, dia orang yang cukup pendiam, kaku seperti robot, atau memang karna aku yang belum mengenalnya lebih dekat. Tapi tenang saudara-saudara, sikap Kak Alfath yang seperti itu tidak lantas mematahkan semangatku.
Kampus mengadakan kemah mahasiswa disebuah pedesaan selama empat hari. Selama kemah mahasiswa itu, aku semakin menambah pengalaman dan wawasanku. Berbaur dengan warga sekitar, sangat menyenangkan. Terlebih lagi dengan adanya Kak Alfath, meski ada dia, tidak setiap saat aku bisa bertemu dengannya. Kami memang ber’sms’an, tapi bukan berarti kami jadi dekat, yang seperti aku bilang tadi, Kak Alfath seperti robot, tidak asik, kalaupun tidak sengaja aku bertemu dengannya, tidak ada tegur sapa sama sekali. Lambat laun, masih melalui sms, aku mulai tidak canggung lagi, obrolanku juga agak menjurus kearah rayuan, aku tidak peduli, aku bukan orang yang gengsi untuk merayu lawan jenisku, jelas yang aku maksud disini bukan rayuan seperti perempuan genit, nakal atau sebagainya. Kalau tidak percaya, aku akan beri salah satu rayuan terbaikku itu,
“Ehm.. kalau boleh jujur, ada satu hal yang aku suka dari kakak, aku suka mata kakak, indah,, bersinar,, aku boleh panggil kakak bintang?”. . gimana menurut kalian? Bukan seperti perempuan genit yang berusaha menggoda lawan jenisnya kan? Dari situ Kak Alfath mulai merespon, aku tidak tau itu harapan atau hanya sekedar formalitas saja. Kak Alfath juga mulai tidak canggung membalas kata-kataku, kami bisa lebih saling mengenal satu sama lain, dengan berbagai pertanyaan yang bertujuan memancing sang idolapun kukerahkan satu persatu, hingga aku tau banyak tentang Kak Alfath, dari makanan favorit, minuman favoritnya sampai hal terkecil aku berusaha untuk mengetahuinya. Dia terlihat lebih menyenangkan bila seperti ini.
And all my
love
I’m holding on forever
Reaching for the love that seem
So far..
So i say a little prayer
Andhope my dream will take me
There
Where the skies are blue
To see you once again my love
Oversees from coast to coast
To find the place i love the most
Where the fields are green
To see you once again my love
I’m holding on forever
Reaching for the love that seem
So far..
So i say a little prayer
Andhope my dream will take me
There
Where the skies are blue
To see you once again my love
Oversees from coast to coast
To find the place i love the most
Where the fields are green
To see you once again my love
Lirik lagu favoritku ‘westlife-my love’ persis menggambarkan perasaanku saat ini.
Empat hari berlalu, ‘kemah mahasiswapun hanya bisa dikenang. Akhirnya aku kembali dirumah. Aku masih bingung dengan perasaanku kepada Kak Alfath. Aku terus memikirkannya, dan itu membuat hatiku tidak tenang. Seusai shalat maghrib, aku menengadahkan tanganku pada-Nya.
“Ya Allah,, Ya Rob,, nama Kak Alfath sungguh semakin melekat dihati ini, kebencian yang pernah tertanam pada diri hamba kepada Kak Alfath sudah tidak ada dihati hamba, kebencian itu lantas menjadi jembatan untuk hamba masuk kedalam hati Kak Alfath, tentu hamba hanya ingin selalu melihat Kak Alfath dalam keadaan yang baik, berikanlah yang terbaik untuknya, amiinn..”
Didalam bait doaku, aku selalu melampirkan nama Kak Alfath, perasaanku akhir-akhir ini gelisah tidak melihat Kak Alfath. Ini pertama kali aku merasakan hal aneh seumur hidupku. Apa aku jatuh cinta? Ntahlah.. sepertinya begitu. Semakin hari aku semakin tersiksa dengan perasaan ini, aku menangis dalam keheningan malam-malamku. Dadaku terasa sesak bila terus-terusan sepeti ini, cinta pertama yang kualami terasa menyesakkan. Bukan hanya perasaanku, tapi semua yang aku punya untuk mencintai Kak Alfath, semuanya terasa sakit. Kembali aku berdoa pada shalat tahajud yang aku lakukan,
“Maha Suci Allah.. Engkau yang tau perasaan hamba, sungguh sampai detik ini, hamba tidak bisa berhenti memikirkan Kak Alfath,” tanpa kusadari air mata jatuh tepat dimukena putih yang aku kenakan. “Apa hamba salah jika hamba mengharapkan Kak Alfath mempunyai perasaan yang sama? Apa hamba terlalu egois jika hamba berpikir seperti itu? Tunjukan jalanmu Ya Allah..”
Tidak bisa memiliki orang yang kusayang, terlebih lagi ini cinta pertamaku, itu sangat menyedihkan. Apa yang harus kulakukan agar Kak Alfath bisa sedikit membuka hatinya untukku?
Kurang lebih beberapa hari ini aku mencari tau informasi tentang Kak Alfath melalui teman-teman seangkatannya. Kini aku tau, perempuan seperti apa yang bisa menarik hatinya. Aku memulai dengan merubah penampilanku menjadi lebih feminim, semua orang tau aku bukan perempuan yang bisa dikatakan feminim, bahkan sangat jauh dari itu, aku lebih sering memakai rok sekarang, walaupun itu tidak nyaman untukku, tapi kalau dipikir dengan akal sehat, memang bagus merubah diri menjadi yang lebih baik, karna kodrat seorang perempuan harus seperti itu.
Malam ini aku memberanikan diri untuk menanyakan suatu pada Kak Alfath melalui sms yang aku kirimkan padanya, aku juga bukan perempuan yang suka berlama-lama berbasa-basi. Ini sms yang aku kirimkan,
“Kak, apa kakak udah punya pacar?”. Seketika aku merasa bodoh menanyakan hal itu, tapi inilah tujuan utamaku. Azzna bodoh.. apa kamu siap dengan jawaban Kak Alfath nantinya? Bagaimana kalau jawabannya hanya membuat kamu semakin sakit? Apa yang akan kamu lakukan? Menangis dan terus-terusan mengadu pada Sang pemberi hidup? Bisikku pada diriku sendiri. Dengan perasaaan kacau aku menunggu balasan dari Kak Alfath. Getar Hpku menghentikan segala pertanyaan aneh yang meraung-raung meminta jawaban diotakku. Bismillah.... sembari membuka sms itu,
“Iya, kakak sudah punya pacar dik, dikampung.” Degggg.... kali ini bukan lagi sakit yang aku rasa, tapi rasa nyeri yang tidak terkendali, aku merasa berdosa telah menyukai dan berharap pada orang yang notabene sudah menjadi pacar perempuan lain. Air mataku sekejap bercucuran menolak kenyataan ini. Apa aku menyesal bertanya seperti ini? Kenapa aku harus menanyakan hal ini? Kenapa Kak Alfath tidak mengerti perasaanku? Kenapa semuanya tidak berpihak padaku? Berbagai kata ‘kenapa’ memenuhi otakku kini. Sms ini tidak aku lanjutkan, aku tidak mau mendengar pernyataan selanjutnya yang akan Kak Alfath ucapkan. Aku hanya ingin tidur, yahh.. dengan tidur aku bisa melupakan smuanya, sakit hati, air mata, semuanya...
Paginya aku kembali terbangun, tepat setengah empat pagi aku mengambil air wudhu. Shalat tahajudku kali ini terasa berbeda, karna mataku sedikit terjanggal, mataku terlihat sangat sembab, efek dari tangisan semalam. Tiba saatnya aku memanjatkan doa seusai shalat,
“Engkaulah tempat terbaik untuk mengadu, hanya Engkau penenang hati dan jiwaku saat ini, Ya Allah kenyataan ini sungguh sangat menyakitkan, hamba mencintai Kak Alfath sebesar yang Engkau ketahui, atas dasar keridhoanmu, hamba bisa mencintainya seperti ini. Sepenuhnya hamba titipkan cintaku pada-Mu, lindungilah Kak Alfath...”
Satu minggu setelah itu, aku mendapati kabar bahwa ayahku harus berpindah kerja di Jambi, aku dan keluargaku terpaksa ikut pindah, dan kuliahku juga harus terhenti, mungkin aku memang harus memulainya dikota lain, karena ayah akan menetap kerja di Jambi, jadi aku tidak takut lagi memulainya dari nol.
Masih ada waktu untuk aku menulis surat untuk Kak Alfath, karna hanya dia yang pertama kali kuingat sebelum perpindahanku.
Paginya pukul tujuh, Airin teman dekatku dikampus kerumah, seperti halnya seorang sahabat, ia menemuiku mengucapkan salam perpisahan sebelum ia pergi kuliah. Tidak lupa aku menitipkan suratku itu pada Airin, Airin yang mengerti benar bagaimana awal cerita aku membenci hingga menyukai Kak Alfath sekaligus sahabat terbaik yang aku miliki.
Mobil avanza berwarna silver milik Om’ku sudah datang, Om’ku yang akan mengantarkan aku dan keluargaku menuju bandara Balikpapan. Pelukan hangat dari Airin membuatku tenang.
“Hati-hati Na.. jaga dirimu baik-baik.. .” ucap Airin padaku dengan mata berkaca-kaca.
“Iya Rin, jangan nangis ach.. makin jelek tau.” Balasku dengan tetap terlihat cool.
“Sakit ya Na..”
“Aku baik, makanya selalu doakan aku supaya selalu baik agar kita bisa bertemu lagi esok.” Kataku dengan sedikit menahan tangis, meski aku tau yang Airin maksud memang bukan fisikku, melainkan sakit hatiku.
Tepat setengah delapan Aku dan keluargaku berangkat.
Sekarang aku sudah berada dipersimpangan Bontang, Airin pasti sudah bertemu dengan Kak Alfath dan memberikan suratku.
“Assalamualaikum Kak Alfath...
Memory otakku seolah tidak berhenti memutar setiap kenangan tentang Kak Alfath sewaktu aku menulis surat ini. ‘Muhamamad Aqil Al Fatih’.. mungkin ini kali pertama aku menyebut nama kakak, dan aku tidak pernah berharap menjadi yang terakhir kalinya, karna aku berkeinginan suatu saat nanti tepat dihadapan kakak, aku bisa menyebutkan nama kakak dengan lengkap, walaupun hal itu dirasa sulit, karna bahkan aku tidak tau bisa bertemu kakak lagi atau tidak.
Kakak tentu ingat pertama kali aku meminta izin ingin memanggil kakak ‘bintang’..? pada saat itulah aku merasakan perasaan itu, perasaan yang mungkin orang biasa menyebutnya dengan cinta.. . aku cukup senang bisa mengenal kakak, tidak ada sedikitpun penyesalan yang aku rasa. Sampai akhirnya aku tau sudah ada perempuan beruntung yang memiliki kakak. Sumpah, demi tiap tetes air mataku, aku berat menerima kenyataan itu, kenyataan yang menghancurkan hati dan jiwaku. Satu detik dimana aku rasa, aku telah benar-benar mencintai kakak. Tapi ada hal yang paling rendah dan berdosa, yaitu kalau aku iri dengan perempuan yang sudah memiliki hati kakak. Aku sadar, hidup itu pilihan, sama seperti cinta, aku bisa memilih melupakan kakak atau tidak sama sekali, dan dua-duanya tetap ada resiko. Aku hanya ingin melupakan hal yang bisa aku lupakan dan tidak ingin memaksakan diri untuk melupakan hal yang sulit untuk lupakan, dan itu kakak.
Jangan timbulkan pertanyaan knapa aku menyukai kakak, karna sampai nafasku berhenti berhembus, aku tidak akan pernah mengetahui alasan knapa aku menyukai kakak, aku hanya tau sebuah rasa yang tulus ialah seonggok rasa yang tidak beralasan.
Kakak sepeti malaikat untukku, malaikat yang sedikit banyak sudah mengajarkan arti kedewasaan, mengikhlaskan sesuatu yang belum berpihak padaku, berubah menjadi yang lebih baik, dan semuanya. Terimakasih dan maaf.
Wassalam... .”
Dering HP menghentikan lamunanku. ‘Airin’.. . ada apa dia meneleponku.
“Hallo, assalamualaikum ..” ucapku.
“Walaikumsalam.. .Azzna, aku mohon sekarang kamu putar balik, Kak Aqil ingin menemuimu.” Dengan suara yang terdengar terdesa-desa.
“Tapi....”
“Aku mohon. ..” pinta Airin. “Hanya kali ini, aku yakin keluargamu akan mengerti.”
Lima menit lamanya aku berhasil membujuk orang tua dan Om’ku. Setelah setengah jam perjalanan, aku sampai diKampus, karna tadi Airin sempat sms menyuruhku langsung ke Kampus. Jantungku berdegup kencang sekali. Didepan salah satu ruangan, aku melangkahkan kakiku perlahan. Banyak orang disana, terlihat Airin menghampiriku.
“Azzna..,..” kemudian Airin terdiam.
Langkah kakiku membuat orang-orang disana beralih melihat kearahku. Aku melihat seorang laki-laki terbaring lemah ditengah-tengah rerumunan orang yang sekarang melihat kearahku. Aku mendekati laki-laki itu, jantungku tidak lagi berdegup kencang, tapi serasa berhenti melihat laki-laki yang sekarang sudah berada didepanku. ‘Kak Alfath’.. . wajahnya terlihat aneh.
‘Sabar Na..,’ aku seperti mendengar sayup-sayup suara Airin, dan beberapa isakan tangis orang-orang disekitarku.
“Kak Alfath. .. apa kakak kedinginan? Udara sangat panas diluar, dan bukannya kakak pernah cerita kalau kakak sangat menyukai warna coklat? Kakak bilang hampir semua barang-barang yang kakak punya bewarna coklat, tapi knapa sekarang kakak memakai selimut putih ini?” ucapku.
“Kakak juga berbohong hari ini, kakak juga cerita kalau kakak suka sekali dengan jus jeruk, bahkan kakak bilang selalu menolak jika diberi minuman selain jus jeruk, lalu kenapa air yang menempel dibibir kakak bewarna merah? Itu seperti bukan warna jus jeruk.”
Aku berusaha sedikit mendekatkan telingaku pada hidung mancung Kak Alfath, dan memejamkan mataku, mencoba merasakan hembusan nafasnya.
“Kak, knapa kakak menahan nafas seperti ini? Tolong jawab kak.” Kataku sambil menahan tangis.
“Setelah membaca suratmu, Kak Aqil sudah berusaha mengejarmu Jan, Kak Aqil bilang, dia hanya ingin mendengar smuanya langsung dari kamu, tapi takdir berkata lain, motor yang dipakai Kak Aqil oleng dan smuanya terjadi. Semuanya terlambat sebelum dibawa ke Rumah Sakit.” Ucap Airin dengan sedikit terisak.
Kali ini tangisku benar-benar pecah. .. Aku memang sudah sepenuhnya menitipkan cintaku Pada-Nya.. Kak Alfath pergi untuk selamanya.. .
Sepenggal Kisah
Oleh : Ershe Wida Mei Liana
Untuk cinta,
Tak perlu
alasan mengapa
Meski
terkadang
Selalu butuh
alasan untuk cinta
Alisa menyisir rambut ikal sebahunya dengan tidak bersemangat. Begitupun ketika mengenakan jilbab. Alhasil, jilbab segi empat-nya tidak juga berbentuk. Ya Allah, tenangkanlah aku, doanya dalam hati.
Pukul 06.35
Alisa telah berhasil mengenakan jilbabnya. Walau tak serapi biasanya, tapi sudah lebih baik dibanding tadi. Ini gara-gara Andra, dengusnya sebal. Dia selalu saja cari gara-gara. Selalu saja membuatnya sebal. Apa dia tidak bosan mencari masalah dengannya?
“Alisa.... ayo berangkat. Keburu telat nih....” teriak Meyza, sahabat Alisa.
“Iya...” sahutku. ”Ibu, Alis berangkat. Asaalamu’alaikum...’
“Waalaikumsalam. Kok kamu nggak sarapan?’ tegur ibunya.
“Udah telat, bu.”
Ibu Alisa hanya geleng-geleng kepala.
***
Pelajaran akuntansi hari ini sungguh membosankan, lebih membosankan dari biasanya. Bagaimana tidak, selama 2 jam bu Risma hanya membiarkan muridnya membuat laporan arus kas yang tak ia mengerti bagaimana caranya. Alisa memang payah di mata pelajaran ini.
“Kok banyak yang belum kamu isi sih tugas akuntansinya? Nggak biasa ngitung uang banyak ya?” Andra mulai meledek Alisa. Alisa tak menanggapi. Sudah biasa Andra meledeknya.
“Maklum sih. Uang saku aja paling cuma seribu,” lanjut Andra, membuat emosi Alisa mulai mendidih.
Alisa beranjak dari kursi. “Kamu bisa nggak sih, sehari aja nggak rese sama aku?”
“Sayangnya nggak bisa tuh...” ucap Andra, semakin membuat Alisa kesal.
“Percuma nanggepin cowok stres kayak kamu!” ucap Alisa emosi, kemudian setengah berlari keluar kelas.
“Tumben kamu keluar?” tegur Mira, teman sekelas mereka.
“Iya nih. Ada cowok stres di dalem.”
“Siapa?” tanya Mira sambil melongok ke dalam kelas.
“Siapa lagi kalau bukan Andra?” jawab Alisa dengan nada emosi. Mira tersenyum.
“Kamu kenapa? Kok malah senyum-senyum?”
“Kamu nyadar nggak. Andra tuh naksir kamu!” seru Mira riang.
Alisa tertawa getir. “Apa? Ya nggak mungkin lah. Dia tuh udah jelas-jelas nggak suka sama aku.”
“Alisa... Alisa. Dia kayak gitu sebenernya cari perhatian aja ke kamu.”
“Cari perhatian apanya? Dia tuh keterlaluan banget. Kamu masih inget kan pas pengumuman beasiswa dan aku dapet, dia bilang aku pantes banget dapet beasiswa itu karena aku miskin.”
“Ya, aku inget. Mungkin emang Andra orangnya asal ceplos. Tapi aku yakin, Andra pasti naksir kamu.”
***
Ssat pelajaran geografi, Alisa tidak bisa berkonsentrasi. Ia memikirkan kata-kata Mira. Mungkinkah Andra suka padaku? Ah, apa yang kupikirkan, jelas-jelas Andra tidak suka padaku. Lagipula, ngapain juga mikirin hal nggak penting kayak gini? Gumamnya dalam hati. Ia pun berkonsentrasi menyimak pelajaran geografi.
Tak terasa 2 jam geografi usai. Berganti dengan bahasa jerman. Tapi ngomong-ngomong, tumben Andra nggak bikin heboh tadi? Ah, bodo amat lah, pikir Alisa. Tak sengaja matanya bertatapan dengan Andra yang duduk di pojok belakang. Dan... ya Allah. Kenapa dia menatapku begitu? Alisa buru-buru mengalihkan pandangan ke depan, fokus menyimak conversation yang dibacakan bu Dona.
Pelajaran bahasa jerman berlalu begitu cepat. Padahal Alisa masih excited mendengarkan penjelasan bu Dona. Hmm... selalu begini. Waktu selalu berlalu begitu cepat saat kita melakukan hal yang kita suka, begitu sebaliknya.
Bel istirahat kedua berbunyi. Teman-teman sekelasnya mulai berhamburan keluar kelas. Hanya Alisa, Tina, Elis, dan Tono yang tidak keluar. Mereka memang pendiam. Tidak suka nongkrong di kantin atau ikut mengobrol di luar kelas.
“Yaelah... ni anak. Nggak bosen apa ngendon terus di kelas? Tegur Meyza.
“Kamu ni kayak baru kenal aku aja, “ ucap Alisa sambil tersenyum. Meyza berbeda kelas dengan Alisa. Alisa di kelas IPS, sedangkan Meyza di kelas IPA. “Kamu sendiri tumben nggak ke kantin?” Alisa balik bertanya.
“Udah kenyang banget. tadi pas istirahat pertama, Diaz nraktir aku bakso. Abis 2 mangkok. Hehe...”
“Dasar kamu ni. Badan doang yang kurus, perut udah kayak gentong aja.”
Meyza nyengir. “Eh, Lis. Aku balik ke kelas dulu ya. Tadi aku nggak pamit sama Diaz kalau kamu ke sini.”
“Oh... oke deh. Aku juga mau keluar.”
“Pasti mau ke perpus.”
“Hehehe. Ya daripada bete. Kan mumpung istirahat ke-2 waktunya panjang. Aku lagi nggak sholat, jadi bisa puas baca buku deh.”
“Dasar kutu buku. Aku duluan ya...” Meyza setengah berlari menuju kelasnya.
“Oke, daaa...”
Alisa sangat senang berada di perpustakaan. Selain banyak buku, ruangannya sangat sejuk dan nyaman. Kekesalannya pada Andra bisa sejenak ia lupakan saat berada di sini. Tiga puluh menit berlalu. Bel masuk kelas berbunyi. Alisa setengah berlari menuju kelasnya, takut terlambat mengikuti pelajaran kewarganegaraan. Pak Zein, gurunya selalu on time.
“Santai aja kali...”
Alisa menoleh. Huh, dia lagi.
“Pak Zein nggak masuk hari ini.” Kata Andra sambil terus menjajari langkah Alisa.
“Tahu darimana kamu?” Alisa menghentikan langkahnya.
“Ya tahu lah. Aku kan gaul, selalu update. Nggak kayak kamu, ngendon mulu di kelas. Hahaha...”
Alisa cemberut. Mulai lagi, batinnya. Ia pun meneruskan langkahnya menuju kelas. Andra mengekor di belakang Alisa sambil terus menggoda. Ada saja tingkahnya untuk membuat Alisa sebal. Menarik-narik jilbab Alisa lah, menginjak tali sepatu.
“Mau kamu apa sih?” Alisa kehilangan rasa sabar. Emosinya meluap.
“Apa aja boleh...” jawab Andra dengan entengnya seraya nyengir, membuat Alisa makin emosi.
“Belum puas ya kemarin numpahin es ke buku tugasku?”
“Belum tuh.”
Mata Alisa memerah. Bulir air mata perlahan mengalir dari matanya. “Sebenernya aku salah apa ke kamu sampe-sampe kamu segitu bencinya sama aku? Kamu gangguin aku terus, bikin aku kesel. Apa maksud kamu?”
Andra menatap Alisa dengan wajah haru. Ia tak menyangka Alisa akan marah padanya. Selama ini, Andra selalu diam tiap kali Andra mengganggunya.
“Alisa... kamu kenapa nangis?” tiba-tiba Diaz datang. Ia lalu memeluk pundak Alisa. “Pasti gara-gara kamu!” Diaz menunjuk Andra dengan tatapan tajam. Andra menunduk.”Aku peringatin ya, sekali lagi aku liat kamu nyakitin Alisa, aku nggak akan segan-segan nonjok kamu!”
Andra menatap Diaz dengan tatapan marah. “Emang kamu siapanya Alisa, hah? Pacar bukan, tetangga jauh. Nggak usah ikut campur deh.”
“Tutup mulut kamu! Alisa sahabat pacarku, jadi aku punya hak untuk melindungi dia!”
Andra mengepalkan tangan. Emosi. Ia berlari ke lapangan sepak bola. Sementara itu, Alisa menatap punggung Andra sambil terus menangis.
“Udah, Alis. Jangan nangis lagi ya. Kalau dia macem-macem lagi, bilang sama aku. Biar aku tonjok.”
“Makasih ya Diaz...”
“Iya, sama-sama. Ya dah aku ke kelas dulu ya. Tadi aku Cuma izin keluar kelas sebentar.”
“Sekali lagi makasih ya.’
Diaz mengangguk, kemudian berlari menuju kelasnya.
Alisa duduk di bawah pohon dekat perpustakaan. Air matanya masih menetes. Entah kenapa ia masih merasa sedih melihat Andra bertengkar dengan Diaz tadi. Hatinya sakit menyaksikan Andra diancam Diaz, lebih sakit daripada saat Andra meledeknya. Padahal, harusnya ia senang saat Diaz membelanya.
Pukul 13.30. setengah jam lagi bel pulang sekolah berbunyi. Alisa tidak berniat kembali ke kelas. Lagipula, pak Zein sepertinya tidak memberikan tugas karena tadi ia melihat teman-temannya nongkrong di kantin. Ia pun memutuskan ke kamar mandi, mencuci muka.
Setelah mencuci muka, matanya terasa fresh. Ini kali pertamaAlisa menangis di sekolah. Karena Andra. Andra memang sangat menyebalkan. Temperamental, kasar, semau gue. Teman-teman sekelas tidak ada yang suka padanya. Makanya Andra tidak punya teman. Sebenarnya bila ia mau berbaur dengan anak-anak cowok bisa saja ia punya teman. Tapi Andra selalu menyendiri.
Alisa baru sadar. Selama ini Andra bahkan tidak pernah bergaul dengan siapapun. Hanya Alisa yang diajaknya mengobrol. Ya, walaupun Andra lebih banyak meledek dan mengganggunya. Apakah Andra menyukainya? Ah, tapi sepertinya tidak mungkin. Alisa merasa tidak ada satupun dalam dirinya yang bisa menarik seorang cowok seperti Andra. Ia cupu, tidak cantik. Lagipula Andra suka meledeknya, menjelek-jelekkan dirinya. Itu tandanya Andra tidak suka padanya.
Bel pulang sekolah berbunyi. Alisa bergegas menuju kelasnya untuk mengambil tas.
“Alisa... kamu baik-baik aja?” Meyza menghampiri Alisa.
“Iya... aku baik-baik aja kok.”
“Emang kurang ajar Andra. Mana dia? Biar aku marahin dia.”
“Nggak perlu, Mey. Tadi Diaz kan udah marahin Andra, jadi menurutku udah cukup.”
Meyza geleng-geleng kepala. “Kamu tuh udah disakitin sama Andra tapi masih aja belain dia.”
Alisa hanya diam. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa. Ia sama sekali tidak membenci Andra, hanya sebal.
“Oh iya. Alis, aku mau ngerjain tugas fisika sama Diaz. Maaf ya aku nggak bisa pulang bareng.”
“Iya, nggak apa-apa kok.”
“Aku suruh Diaz anterin kamu ya?”
“Nggak usah, makasih. Aku bisa pulang sendiri kok.”
“Ya dah kamu hati-hati di jalan ya. Kalau ada apa-apa call aku aja.”
“Oke, kamu juga hati-hati ya. Salam buat Andra.”
“Oke nanti aku sampein. Daaa...”
“Daaa...”
Alisa melihat ke arah bangku Andra. Tas Andra masih ada. Kemana dia? Kenapa belum pulang? Apa aku ke lapangan aja ya? Batin Alisa. Ia ingin memastikan apakah Andra baik-baik saja.
Lapangan bola terlihat sepi. Ia tidak menemukan Andra di sana. Ya Allah, kemana Andra? Ia mulai cemas. Alisa memutuskan mencari Andra di aula yang tertletak di sebelah timur lapangan. Aula juga sepi. Tapi... “Ya Allah... Andra!” serunya. Alisa berlari ke arah pintu utara aula. Ternyata Andra ada di situ. Mukanya pucat, nafasnya turun naik.
“Andra... kamu kenapa?”
Andra tidak menjawab. Nafasnya semakin kencang.
“Kamu sesak nafas? Kita ke UKS ya. Yuk aku bantu jalan.”
“Ti... tidak usah. Kamu... di sini aja... temenin aku...”
Alisa menurut. Ia duduk di sebelah Andra dengan perasaan tak menentu. Cemas, sedih, takut, bingung.
“Biasanya sembuhnya diapain?” tanya Alisa polos. Ah, tentu saja ada obatnya. Tapi, sepertinya Andra tidak membawa obat. “Andra... aku bener-bener khawatir...”
“A... Aku nggak apa-apa kok...”
Alisa memeluk Andra. Ia berharap dengan begitu sakit Andra bisa berkurang. Ya walaupun belum tentu bisa. Tapi saat ini hanya itulah yang bisa ia lakukan. Jantung Alisa berdebar kencang. Ia bisa merasakan nafas Andra yang memburu. Hampir satu menit Alisa memeluk Andra. Sedetik kemudian, nafas Andra mulai teratur. Alisa melepaskan pelukannya. “Alahamdulillah...” ucapnya senang. Ia menatap Andra yang balas menatapnya dengan tersenyum. Ya Allah, kenapa hatiku deg-degan? Ucap Alisa dalam hati.
“Makasih ya. Aku...” Andra tidak melanjutkan kata-katanya. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Alisa memeluknya. Ia bahagia sekali. Rasa sakitnya hilang seketika.
Alisa menunduk. Pipinya merah. “Mmm... maaf tadi aku nggak bermaksud... aku... aku cuma bingung harus gimana.”
Andra tersenyum. “Nggak apa-apa. Aku malah seneng kamu peluk tadi. Makasih ya.”
Andra senang? Apa maksudnya? Tanya Alisa dalam hati. Ah, sudahlah. Apapun itu, yang penting Andra sudah tidak sakit lagi sekarang.
“Mmm... Andra. Apa sesak nafas kamu sering kambuh?”
“Ya... kadang-kadang kalau aku lagi kecapekan atau banyak pikiran.”
“Orang tua kamu tahu kamu sesak nafas?”
“Nggak ada yang tahu kecuali kamu.”
Kasihan, Andra. Sepertinya tidak ada yang memperhatikan dia.
“Lain kali kamu jangan lupa bawa obat ya.”
Bukannya menjawab, Andra malah menatap mata Alisa dalam-dalam. “Kamu baik banget sama aku, padahal aku sering nyakitin kamu.”
Alisa tersenyum. “Jujur aku emang sebel sama kamu. Tapi aku tidak pernah membenci kamu...”
“Sebenernya aku melakukan itu karena... karena ingin mencari perhatian kamu.”
Alisa agak terkejut. Tapi kemudian tersenyum malu. Andra gemas melihat Alisa begitu. Alisa terlihat manis sekali.
“Tapi... kenapa?” tanya Alisa polos.
“Karena... aku... aku... sayang sama... kamu...”
Jantung Alisa berdebar. Ia bahagia mendengar Andra mengatakan itu. Ah, perasaan apa ini?
“Aku tahu, aku bukan cowok yang baik. Aku tidak pantas buat kamu. Kamu terlalu baik. Tapi... aku tidak bisa mengingkari rasa ini...”
“Tapi kenapa kamu bisa sayang sama aku? Aku sama sekali tidak menarik.”
“Apa perlu alasan untuk sebuah rasa yang indah ini?”
“Tidak. Tapi aku ingin tahu mengapa. Agar aku bisa meyakinkan diriku untuk memiliki rasa yang sama.”
Andra meneteskan air mata. Ia sangat bahagia mendengarnya. “Kamu... juga memiliki rasa yang sama?”
Alisa juga meneteskan air mata.”Apa aku perlu menjawabnya?”
“Tentu saja. Agar aku bisa meyakinkan diriku bahwa ini bukanlah mimpi.”
Alisa mencubit pipi Andra. “Aw, sakit!”
Alisa tertawa. “Kamu ini.” Andra mengacak-acak jilbab Alisa. Kemudian meraih kepala Alisa dan disandarkan di bahunya. Alisa mandah saja, menikmati rasa nyaman di bahu Andra. Dalam hati ia masih tidak percaya. Rasa ini... sungguh magis. Lembut menembus hatinya. Kenapa harus pada Andra hati ini terpaut? Tapi Alisa tidak peduli. Cinta takkan pernah salah memilih hati siapa yang akan dilabuhinya. Andra mungkin punya banyak kekurangan. Alisa juga. Dan cinta akan melengkapi kekurangan itu.
“Alisa...” Andra menatap mata Alisa.
“Ya, ada apa Andra?” Alisa balas menatap mata Andra.
“Aku sayang kamu...”
“Aku juga sayang kamu...”
Pelajaran akuntansi hari ini sungguh membosankan, lebih membosankan dari biasanya. Bagaimana tidak, selama 2 jam bu Risma hanya membiarkan muridnya membuat laporan arus kas yang tak ia mengerti bagaimana caranya. Alisa memang payah di mata pelajaran ini.
“Kok banyak yang belum kamu isi sih tugas akuntansinya? Nggak biasa ngitung uang banyak ya?” Andra mulai meledek Alisa. Alisa tak menanggapi. Sudah biasa Andra meledeknya.
“Maklum sih. Uang saku aja paling cuma seribu,” lanjut Andra, membuat emosi Alisa mulai mendidih.
Alisa beranjak dari kursi. “Kamu bisa nggak sih, sehari aja nggak rese sama aku?”
“Sayangnya nggak bisa tuh...” ucap Andra, semakin membuat Alisa kesal.
“Percuma nanggepin cowok stres kayak kamu!” ucap Alisa emosi, kemudian setengah berlari keluar kelas.
“Tumben kamu keluar?” tegur Mira, teman sekelas mereka.
“Iya nih. Ada cowok stres di dalem.”
“Siapa?” tanya Mira sambil melongok ke dalam kelas.
“Siapa lagi kalau bukan Andra?” jawab Alisa dengan nada emosi. Mira tersenyum.
“Kamu kenapa? Kok malah senyum-senyum?”
“Kamu nyadar nggak. Andra tuh naksir kamu!” seru Mira riang.
Alisa tertawa getir. “Apa? Ya nggak mungkin lah. Dia tuh udah jelas-jelas nggak suka sama aku.”
“Alisa... Alisa. Dia kayak gitu sebenernya cari perhatian aja ke kamu.”
“Cari perhatian apanya? Dia tuh keterlaluan banget. Kamu masih inget kan pas pengumuman beasiswa dan aku dapet, dia bilang aku pantes banget dapet beasiswa itu karena aku miskin.”
“Ya, aku inget. Mungkin emang Andra orangnya asal ceplos. Tapi aku yakin, Andra pasti naksir kamu.”
***
Ssat pelajaran geografi, Alisa tidak bisa berkonsentrasi. Ia memikirkan kata-kata Mira. Mungkinkah Andra suka padaku? Ah, apa yang kupikirkan, jelas-jelas Andra tidak suka padaku. Lagipula, ngapain juga mikirin hal nggak penting kayak gini? Gumamnya dalam hati. Ia pun berkonsentrasi menyimak pelajaran geografi.
Tak terasa 2 jam geografi usai. Berganti dengan bahasa jerman. Tapi ngomong-ngomong, tumben Andra nggak bikin heboh tadi? Ah, bodo amat lah, pikir Alisa. Tak sengaja matanya bertatapan dengan Andra yang duduk di pojok belakang. Dan... ya Allah. Kenapa dia menatapku begitu? Alisa buru-buru mengalihkan pandangan ke depan, fokus menyimak conversation yang dibacakan bu Dona.
Pelajaran bahasa jerman berlalu begitu cepat. Padahal Alisa masih excited mendengarkan penjelasan bu Dona. Hmm... selalu begini. Waktu selalu berlalu begitu cepat saat kita melakukan hal yang kita suka, begitu sebaliknya.
Bel istirahat kedua berbunyi. Teman-teman sekelasnya mulai berhamburan keluar kelas. Hanya Alisa, Tina, Elis, dan Tono yang tidak keluar. Mereka memang pendiam. Tidak suka nongkrong di kantin atau ikut mengobrol di luar kelas.
“Yaelah... ni anak. Nggak bosen apa ngendon terus di kelas? Tegur Meyza.
“Kamu ni kayak baru kenal aku aja, “ ucap Alisa sambil tersenyum. Meyza berbeda kelas dengan Alisa. Alisa di kelas IPS, sedangkan Meyza di kelas IPA. “Kamu sendiri tumben nggak ke kantin?” Alisa balik bertanya.
“Udah kenyang banget. tadi pas istirahat pertama, Diaz nraktir aku bakso. Abis 2 mangkok. Hehe...”
“Dasar kamu ni. Badan doang yang kurus, perut udah kayak gentong aja.”
Meyza nyengir. “Eh, Lis. Aku balik ke kelas dulu ya. Tadi aku nggak pamit sama Diaz kalau kamu ke sini.”
“Oh... oke deh. Aku juga mau keluar.”
“Pasti mau ke perpus.”
“Hehehe. Ya daripada bete. Kan mumpung istirahat ke-2 waktunya panjang. Aku lagi nggak sholat, jadi bisa puas baca buku deh.”
“Dasar kutu buku. Aku duluan ya...” Meyza setengah berlari menuju kelasnya.
“Oke, daaa...”
Alisa sangat senang berada di perpustakaan. Selain banyak buku, ruangannya sangat sejuk dan nyaman. Kekesalannya pada Andra bisa sejenak ia lupakan saat berada di sini. Tiga puluh menit berlalu. Bel masuk kelas berbunyi. Alisa setengah berlari menuju kelasnya, takut terlambat mengikuti pelajaran kewarganegaraan. Pak Zein, gurunya selalu on time.
“Santai aja kali...”
Alisa menoleh. Huh, dia lagi.
“Pak Zein nggak masuk hari ini.” Kata Andra sambil terus menjajari langkah Alisa.
“Tahu darimana kamu?” Alisa menghentikan langkahnya.
“Ya tahu lah. Aku kan gaul, selalu update. Nggak kayak kamu, ngendon mulu di kelas. Hahaha...”
Alisa cemberut. Mulai lagi, batinnya. Ia pun meneruskan langkahnya menuju kelas. Andra mengekor di belakang Alisa sambil terus menggoda. Ada saja tingkahnya untuk membuat Alisa sebal. Menarik-narik jilbab Alisa lah, menginjak tali sepatu.
“Mau kamu apa sih?” Alisa kehilangan rasa sabar. Emosinya meluap.
“Apa aja boleh...” jawab Andra dengan entengnya seraya nyengir, membuat Alisa makin emosi.
“Belum puas ya kemarin numpahin es ke buku tugasku?”
“Belum tuh.”
Mata Alisa memerah. Bulir air mata perlahan mengalir dari matanya. “Sebenernya aku salah apa ke kamu sampe-sampe kamu segitu bencinya sama aku? Kamu gangguin aku terus, bikin aku kesel. Apa maksud kamu?”
Andra menatap Alisa dengan wajah haru. Ia tak menyangka Alisa akan marah padanya. Selama ini, Andra selalu diam tiap kali Andra mengganggunya.
“Alisa... kamu kenapa nangis?” tiba-tiba Diaz datang. Ia lalu memeluk pundak Alisa. “Pasti gara-gara kamu!” Diaz menunjuk Andra dengan tatapan tajam. Andra menunduk.”Aku peringatin ya, sekali lagi aku liat kamu nyakitin Alisa, aku nggak akan segan-segan nonjok kamu!”
Andra menatap Diaz dengan tatapan marah. “Emang kamu siapanya Alisa, hah? Pacar bukan, tetangga jauh. Nggak usah ikut campur deh.”
“Tutup mulut kamu! Alisa sahabat pacarku, jadi aku punya hak untuk melindungi dia!”
Andra mengepalkan tangan. Emosi. Ia berlari ke lapangan sepak bola. Sementara itu, Alisa menatap punggung Andra sambil terus menangis.
“Udah, Alis. Jangan nangis lagi ya. Kalau dia macem-macem lagi, bilang sama aku. Biar aku tonjok.”
“Makasih ya Diaz...”
“Iya, sama-sama. Ya dah aku ke kelas dulu ya. Tadi aku Cuma izin keluar kelas sebentar.”
“Sekali lagi makasih ya.’
Diaz mengangguk, kemudian berlari menuju kelasnya.
Alisa duduk di bawah pohon dekat perpustakaan. Air matanya masih menetes. Entah kenapa ia masih merasa sedih melihat Andra bertengkar dengan Diaz tadi. Hatinya sakit menyaksikan Andra diancam Diaz, lebih sakit daripada saat Andra meledeknya. Padahal, harusnya ia senang saat Diaz membelanya.
Pukul 13.30. setengah jam lagi bel pulang sekolah berbunyi. Alisa tidak berniat kembali ke kelas. Lagipula, pak Zein sepertinya tidak memberikan tugas karena tadi ia melihat teman-temannya nongkrong di kantin. Ia pun memutuskan ke kamar mandi, mencuci muka.
Setelah mencuci muka, matanya terasa fresh. Ini kali pertamaAlisa menangis di sekolah. Karena Andra. Andra memang sangat menyebalkan. Temperamental, kasar, semau gue. Teman-teman sekelas tidak ada yang suka padanya. Makanya Andra tidak punya teman. Sebenarnya bila ia mau berbaur dengan anak-anak cowok bisa saja ia punya teman. Tapi Andra selalu menyendiri.
Alisa baru sadar. Selama ini Andra bahkan tidak pernah bergaul dengan siapapun. Hanya Alisa yang diajaknya mengobrol. Ya, walaupun Andra lebih banyak meledek dan mengganggunya. Apakah Andra menyukainya? Ah, tapi sepertinya tidak mungkin. Alisa merasa tidak ada satupun dalam dirinya yang bisa menarik seorang cowok seperti Andra. Ia cupu, tidak cantik. Lagipula Andra suka meledeknya, menjelek-jelekkan dirinya. Itu tandanya Andra tidak suka padanya.
Bel pulang sekolah berbunyi. Alisa bergegas menuju kelasnya untuk mengambil tas.
“Alisa... kamu baik-baik aja?” Meyza menghampiri Alisa.
“Iya... aku baik-baik aja kok.”
“Emang kurang ajar Andra. Mana dia? Biar aku marahin dia.”
“Nggak perlu, Mey. Tadi Diaz kan udah marahin Andra, jadi menurutku udah cukup.”
Meyza geleng-geleng kepala. “Kamu tuh udah disakitin sama Andra tapi masih aja belain dia.”
Alisa hanya diam. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa. Ia sama sekali tidak membenci Andra, hanya sebal.
“Oh iya. Alis, aku mau ngerjain tugas fisika sama Diaz. Maaf ya aku nggak bisa pulang bareng.”
“Iya, nggak apa-apa kok.”
“Aku suruh Diaz anterin kamu ya?”
“Nggak usah, makasih. Aku bisa pulang sendiri kok.”
“Ya dah kamu hati-hati di jalan ya. Kalau ada apa-apa call aku aja.”
“Oke, kamu juga hati-hati ya. Salam buat Andra.”
“Oke nanti aku sampein. Daaa...”
“Daaa...”
Alisa melihat ke arah bangku Andra. Tas Andra masih ada. Kemana dia? Kenapa belum pulang? Apa aku ke lapangan aja ya? Batin Alisa. Ia ingin memastikan apakah Andra baik-baik saja.
Lapangan bola terlihat sepi. Ia tidak menemukan Andra di sana. Ya Allah, kemana Andra? Ia mulai cemas. Alisa memutuskan mencari Andra di aula yang tertletak di sebelah timur lapangan. Aula juga sepi. Tapi... “Ya Allah... Andra!” serunya. Alisa berlari ke arah pintu utara aula. Ternyata Andra ada di situ. Mukanya pucat, nafasnya turun naik.
“Andra... kamu kenapa?”
Andra tidak menjawab. Nafasnya semakin kencang.
“Kamu sesak nafas? Kita ke UKS ya. Yuk aku bantu jalan.”
“Ti... tidak usah. Kamu... di sini aja... temenin aku...”
Alisa menurut. Ia duduk di sebelah Andra dengan perasaan tak menentu. Cemas, sedih, takut, bingung.
“Biasanya sembuhnya diapain?” tanya Alisa polos. Ah, tentu saja ada obatnya. Tapi, sepertinya Andra tidak membawa obat. “Andra... aku bener-bener khawatir...”
“A... Aku nggak apa-apa kok...”
Alisa memeluk Andra. Ia berharap dengan begitu sakit Andra bisa berkurang. Ya walaupun belum tentu bisa. Tapi saat ini hanya itulah yang bisa ia lakukan. Jantung Alisa berdebar kencang. Ia bisa merasakan nafas Andra yang memburu. Hampir satu menit Alisa memeluk Andra. Sedetik kemudian, nafas Andra mulai teratur. Alisa melepaskan pelukannya. “Alahamdulillah...” ucapnya senang. Ia menatap Andra yang balas menatapnya dengan tersenyum. Ya Allah, kenapa hatiku deg-degan? Ucap Alisa dalam hati.
“Makasih ya. Aku...” Andra tidak melanjutkan kata-katanya. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Alisa memeluknya. Ia bahagia sekali. Rasa sakitnya hilang seketika.
Alisa menunduk. Pipinya merah. “Mmm... maaf tadi aku nggak bermaksud... aku... aku cuma bingung harus gimana.”
Andra tersenyum. “Nggak apa-apa. Aku malah seneng kamu peluk tadi. Makasih ya.”
Andra senang? Apa maksudnya? Tanya Alisa dalam hati. Ah, sudahlah. Apapun itu, yang penting Andra sudah tidak sakit lagi sekarang.
“Mmm... Andra. Apa sesak nafas kamu sering kambuh?”
“Ya... kadang-kadang kalau aku lagi kecapekan atau banyak pikiran.”
“Orang tua kamu tahu kamu sesak nafas?”
“Nggak ada yang tahu kecuali kamu.”
Kasihan, Andra. Sepertinya tidak ada yang memperhatikan dia.
“Lain kali kamu jangan lupa bawa obat ya.”
Bukannya menjawab, Andra malah menatap mata Alisa dalam-dalam. “Kamu baik banget sama aku, padahal aku sering nyakitin kamu.”
Alisa tersenyum. “Jujur aku emang sebel sama kamu. Tapi aku tidak pernah membenci kamu...”
“Sebenernya aku melakukan itu karena... karena ingin mencari perhatian kamu.”
Alisa agak terkejut. Tapi kemudian tersenyum malu. Andra gemas melihat Alisa begitu. Alisa terlihat manis sekali.
“Tapi... kenapa?” tanya Alisa polos.
“Karena... aku... aku... sayang sama... kamu...”
Jantung Alisa berdebar. Ia bahagia mendengar Andra mengatakan itu. Ah, perasaan apa ini?
“Aku tahu, aku bukan cowok yang baik. Aku tidak pantas buat kamu. Kamu terlalu baik. Tapi... aku tidak bisa mengingkari rasa ini...”
“Tapi kenapa kamu bisa sayang sama aku? Aku sama sekali tidak menarik.”
“Apa perlu alasan untuk sebuah rasa yang indah ini?”
“Tidak. Tapi aku ingin tahu mengapa. Agar aku bisa meyakinkan diriku untuk memiliki rasa yang sama.”
Andra meneteskan air mata. Ia sangat bahagia mendengarnya. “Kamu... juga memiliki rasa yang sama?”
Alisa juga meneteskan air mata.”Apa aku perlu menjawabnya?”
“Tentu saja. Agar aku bisa meyakinkan diriku bahwa ini bukanlah mimpi.”
Alisa mencubit pipi Andra. “Aw, sakit!”
Alisa tertawa. “Kamu ini.” Andra mengacak-acak jilbab Alisa. Kemudian meraih kepala Alisa dan disandarkan di bahunya. Alisa mandah saja, menikmati rasa nyaman di bahu Andra. Dalam hati ia masih tidak percaya. Rasa ini... sungguh magis. Lembut menembus hatinya. Kenapa harus pada Andra hati ini terpaut? Tapi Alisa tidak peduli. Cinta takkan pernah salah memilih hati siapa yang akan dilabuhinya. Andra mungkin punya banyak kekurangan. Alisa juga. Dan cinta akan melengkapi kekurangan itu.
“Alisa...” Andra menatap mata Alisa.
“Ya, ada apa Andra?” Alisa balas menatap mata Andra.
“Aku sayang kamu...”
“Aku juga sayang kamu...”
Kutemukan Arti Hidup
Oleh : Tri Wulandari
Kehidupan itu adalah perjalanan yang panjang, penuh tikungan yang tajam, dan akan jatuh bila tidak hati-hati melewatinya. Orangtuaku memberi namaku Viandita, yang kata teman-temanku adalah anak pendiam, terutama di SMA kami. Aku sangat mencintai masa-masa SMA-ku, walaupun sebenarnya aku belum pernah mendapatkan apa yang selama ini aku cari. Di sekolah aku mempunyai banyak teman, ya ada Icha, Satya sahabatku sejak SMP dulu.
Sejak tiga tahun kematian ayah karena gagal ginjal, aku tinggal bersama tante Ana, dia adalah adik dari ibuku. Dimana ibumu? Ya, ibuku meninggal ketika aku baru berusia dua hari, dia meninggal karena pendarahan yang hebat. Dan aku tidak pernah merasakan hangat pelukannya. Sifatku yang keras terkadang membuat orang di sekelilingku jengkel, aku tahu itu, tapi itulah aku.
Selama ini aku telah menyia-nyiakan waktu dan kehidupanku. Aku terlalu egois dan selalu berpikir hidup ini hanya untuk bersenang-senang. Tanpa kusadari bahwa sebenarnya aku tak kan selamanya merasakan kebahagiaan, dan kesedihan akan selalu mencari celah utnuk masuk di kehidupanku. Hidup ini seperti pohon, itu yang ayah bilang padaku. Tiap bagiannya mempunyai arti khusus yang tak bisa diuraikan satu persatu, tapi akan kuberikan satu diantaranya, yaitu daun. Ayah bilang mereka tumbuh, lalu berguguran dan berganti lagi dengan yang baru, itu seperti orang yang lahir, pergi dan akan ada lagi yang baru. Dan di sini, aku telah menemukan arti dari kehidupan itu yang sebenarnya...
Bel berbunyi, seperti biasa pelajaran akan dimulai, tapi beberapa anak masih tampak berkeliaran di luar, mereka memperbaiki pakaian yang berantakan, berlari karena terlambat dan memelas untuk bisa melewati pintu gerbang yang sudah ditutup tepat pukul 07.15. Pemandangan ini adalah makanan sehari-hari bagiku yang bisa kulihat dari jendela yang tepat berada di sampingku. Aku menyukai tempat yang sedang kududuki ini karena di sini semua sudut sekolah bisa kulihat.
Aku tersentak kaget saat tangan Icha mendarat di pundakku.
“Serius amat, lagi ngeliat apaan sih?” tanya Icha heran.
“Ngak ada,” balasku singkat dengan senyum yang tak berarti. Wajah Icha terlihat bingung, tapi dilanjuti dengan senyum manis yang sering membuatku gemas.
Dan .....
Tuk...tuk ....tuk.... suara sepatu menyentuh lantai itu kian mendekat kelasku. Anak-anak yang sudah hapal dengan suara itu berhamburan kembali ke tempat duduknya. Padahal tadinya mereka asik berjalan mencari tempat nongkrong yang paling seru untuk topik gossip hari ini. Dan kelasku yang tadinya hampir seperti pasar, kini lengang seperti pemakaman.
Sepulang dari sekolah, aku memilih berpisah di perempatan jalan, karena hari ini ada satu tempat yang ingin aku kunjungi.
“Mau kemana sih Vi?” tanya Satya.
“Cuma mau ke toko buku sebentar,” balasku.
“Yah, Satya kayak nggak tau aja rutinitas Vian. Lupa ya, ini kan hari Rabu, biasa,” tambah Icha.
“Ya, aku hampir lupa. Ya udah kalau gitu, hati-hati ya,” nasehat Satya. aku hanya membalasnya dengan anggukan, dan pastinya mereka tau arti dari anggukan ku itu.
Dan di sini, aku berdiri menatap langit yang hampir mendung. Angin yang berhembus membuat pohon dan rumput-rumput hijau itu bergoyang pelan, daun-daun itu seakan mengikuti alunan lagu yang dibawakan oleh angin. Aku menyukai hal itu, dan semua ini hanya bisa kudapatkan di sini.
Di tepian danau yang tak jauh dari rumahku, bukan di toko buku seperti yang kubilang pada Satya dan Icha, aku duduk di bawah pohon rindang. Kuterawang setiap tempat, sunyi, hanya ada aku, pepohonan, rumput hijau dan danau ini. Terkadang aku heran, mengapa tempat seindah ini tak pernah terjamah oleh mereka yang ingin mencari kenyamanan, mereka malah pergi ke cape, diskotik dan club-club malam yang sarat akan keributan. Entahlah, mungkin mereka bisa mendapatkan kenyamanan dari tempat-tempat itu, tapi tidak untuk aku. Ya, aku tau tiap orang berbeda-beda.
Hampir setengah jam aku di sini, tak ada yang berubah, hanya saja daun-daun yang sudah menguning itu berguguran dan angin pun sesekali bertiup pelan. Aku lelah, andai saja aku masih mempunyai banyak waktu utnuk berada di tempat ini, tapi sayangnya aku harus pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 14.40, aku takut tante khawatir.
Di perjalan pulang seperti biasa, aku melewati beberapa ruko dan rumah tak berpenghuni. Ini adalah jalan yang biasa kulewati ketika pulang sekolah. Langkah kakiku berhenti di depan rumah yang bergaya tempo dulu, bangunannya masih asli dan belum pernah direnovasi. Rumah yang tak pernah diurus oleh pemiliknya itu terlihat ada yang menghuni. Aku penasaran, ingin rasanya bertanya, tapi ...
“Selamat siang, Bapak pemilik rumah ini ya?” tanyaku yang tadinya ragu-ragu.
“Ya siang. Bukan, saya anak yang punya rumah ini. Kamu tinggal di sekitar sini ya?” balasnya dengan nada yang sangat lembut.
“Oo... saya kira bapak yang punya rumah ini. Ya, rumah saya nggak jauh dari sini. Nama saya Vian,” tambahku sambil mengulurkan tangan.
“Saya Herdian, panggil saja Om Hedi,” ucapnya sambil menyambut uluran tanganku. Lelaki paruh baya itu terlihat baik, dan aku menghabiskan cukup lama untuk ngobrol dengannya.
Dia bercerita padaku tentang perjuangannya selama dua tahun belakangan ini melawan penyakit kanker darah. Penyakit yang membuatnya mengerti tentang hidup dan betapa berartinya waktu. Aku teringat saat ayah melawan penyakit yang bersarang di tubuhnya dulu. Ia hampir putus asa dan menyerah, tapi ada satu alasan yang membuat ia bangun dan kekeh untuk bisa bertahan, yaitu aku.
“Ayah Vian pasti orang yang baik...,” ucap Om Hedi menatapku.
“Pasti, dia adalah orang yang paling baik di dunia ini,” balasku bangga.
“Dan pastinya dia adalah seorang pekerja keras, benarkah?” tambahnya lagi. Aku hanya mengangguk.
Garis-garis halus di wajah ayah sudah menegaskan bahwa ia adalah sosok ayah yang kuat dan rela melakukan apa saja demi kebahagianaan keluarganya.
“Di luar sana masih banyak orang yang bernasib sama dengan Om, dan ayah Vian. Kami mendambakan kehidupan, tapi banyak pula orang yang menyia-nyiakan kehidupannya itu,” ucap Om Hedi lirih. Raut wajahnya menggambarkan rasa kecewa. Aku percaya ayah pasti setuju dengan apa yang baru saja aku dengar tadi.
“Tapi Om yakin, Vian nggak ngelakuin itu,” tambahnya lagi. Aku hanya membalas dengan untaian senyum.
Aku pulang disambut dengan beberapa pertanyaan dari tante Ana. Aku tau dia pasti khawatir, seperti ayah dulu yang selalau mewawancaraiku bila aku pulang terlambat. Di kamar, kubuka lagi buku jurnal ayah yang berisi kalimat-kalimat indah. Buku yang sudah menjadi saksi perjalanan hidup ayah itu kini ada bersamaku.
“Jangan pernah menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk saling berjauhan, tapi jadikanlah perbedaan itu sebagai alasan untuk kita saling mengenal dan pondasi untuk membangun suatu hubungan...”. 9 November 1997.
“Keberhasilan yang sebenarnya tak akan menemukan jalan yang lurus, tapi ia akan menemukan jalan yang berliku dan beberapa tikungan yang tajam...”. 28 Juli 2001.
Kini setalah apa yang terjadi, apa yang kulihat, kudengar dan kurasakan, aku mulai mengerti tentang hidup. Bahwa sebenarnya hidup ini adalah berjuang, ya berjuang untuk bisa mencapai titik yang diinginkan. Entah itu kebahagiaan atau keberhasilan, dan sekarang tak akan kubiarkan ayah dan ibuku kecewa, tapi sebaliknya... aku akan berjuang untuk membuat mereka bangga. Hari ini, entah kenapa aku merindukan mereka.
No comments:
Post a Comment