BAB
I
EVOLUSI
PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN
HAK
ASASI MANUSIA
A.
Konsep Dasar dan Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
(1)
Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Hak asasi
manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau
berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan
martabatnya
sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir
dengan warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbedabeda,
ia tetap
mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut.
Selain bersifat
universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya
seburuk apapun
perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya
perlakuan
seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap
memiliki hak-hak
tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai
makhluk insani.
Asal-usul
gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas
bersumber dari
teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak
itu
bermula dari
teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat
dirunut
kembali sampai
jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga
ke zaman modern
melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Hugo
de Groot
--seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum
internasional”,
atau yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Grotius,
mengembangkan
lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asalusulnya
yang teistik dan
membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional.
Dengan landasan
inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum
terpelajar
pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak
kodrati. Gagasan
Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya
revolusi hak
dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada
abad ke-17 dan
ke-18.
Dalam bukunya
yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil
Government and a
Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah postulasi
pemikiran bahwa
semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup,
kebebasan dan
kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat
dicabut atau
dipreteli oleh negara. Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract),
perlindungan
atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi,
menurut Locke,
apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan
melanggar
hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang
penguasa dan
menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati
hak-hak tersebut.
Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu
yang pra-positif
mendapat pengakuan kuat.
Gagasan hak
asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu
mendapat
tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah
dengan Revolusi
Perancis, adalah salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati.
Burke menuduh
para penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen”
mempropagandakan
“rekaan yang menakutkan mengenai persamaan manusia”.
Deklarasi yang
dihasilkan dari Revolusi Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang
tidak benar dan
harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang sudah ditakdirkan
menjalani hidup
yang tidak jelas dengan susah payah.” Tetapi penentang teori hak
kodrati yang
paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari
Inggris. Kritik
Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hakhak
kodrati itu
tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana
mungkin mengetahui
dari mana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa
isinya?
Bentham dengan
sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan
mengatakan:
“Bagi saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat),
adalah
anak kandung
hukum: dari hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari hukum
imajiner; hukum
kodrati --yang dikhayal dan direka para penyair, ahli-ahli pidato dan
saudagar dalam
rupa racun moral dan intelektual-- lahirlah hak-hak rekaan ... Hak-hak
kodrati adalah
omong kosong yang dungu: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut
adalah omong
kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya!”.
Lebih lanjut,
dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham mengulang kembali cercaan
sinisnya pada
teori hak-hak kodrati. Ia menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan
hal yang sama,
karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak
kandung hukum:
dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati
adalah seorang
anak yang tidak pernah punya seorang ayah”. Serangan dan penolakan
kalangan utilitarian
itu kemudian diperkuat oleh mazhab positivisme, yang
dikembangkan
belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis
berpendapat
bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara.
Satu-satunya
hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang
dari “alam” atau
“moral”.
Namun demikian,
kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis
tersebut tidak
membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan
Bentham, hak-hak
kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada
masa akhir
Perang Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati
inilah yang
mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung
internasional.
Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi,
membuat dunia
berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati.
“Setelah
kebiadaban luar biasa terjadi menjelang maupun selama Perang Dunia II,
gerakan untuk
menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan dirancangnya
instrumen
internasional yang utama mengenai hak asasi manusia,” tulis Davidson. Hal ini
dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, segera
setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu. Dengan
mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali
Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan terhadap
hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan
hak-hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”. Dari
sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah
masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu
tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“acommond
standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai
dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia
internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan
“International Bill of Human Rights”. Dari paparan di atas cukup jelas
bahwa teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu
sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara,
yaitu norma hak asasi manusia internasional. Namun demikian, kemunculannya
sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak
sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi
hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak
yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John Locke).
Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas
pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”,
yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya
makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.
(2)
Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
Karel Vasak,
seorang ahli hukum dari Perancis, membantu kita untuk memahami
dengan lebih
baik perkembangan substansi hak-hak yang terkandung dalam konsep hak asasi
manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan
ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu. Ahli hukum
dari Perancis itu membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis
yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”. Menurut Vasak,
masing-masing kata dari slogan itu, sedikit banyak mencerminkan perkembangan
dari kategori-kategori atau generasi-generasi hak yang berbeda. Penggunaan
istilah “generasi” dalam melihat perkembangan hak asasi manusia memang bisa
menyesatkan. Tetapi model Vasak tentu saja tidak dimaksudkan sebagai representasi
dari kehidupan yang riil, model ini tak lebih dari sekedar suatu ekspresi dari suatu
perkembangan yang sangat rumit. Bagaimana persisnya generasi-generasi hak yang
dimaksud oleh Vasak? Di bawah ini garis-garis besarnya dielaborasi lebih
lanjut.
(a)
Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama”
sering dirujuk untuk mewakili hakhak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi
manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri
dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial
lainnya --sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika
Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. Karena itulah hak-hak generasi
pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut pada hakikatnya
hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap
orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertama
ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari
penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan,
kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan
penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum
yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil. Hak-hak
generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya
tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan
terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan
di mana individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hakhak generasi
pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihakpihak luar
(baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu.
Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi pertama
ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hakhak tersebut.
Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan
pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya
dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru menuntut peran aktif
negara. Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke dalam konstitusi
mereka.
(b)
Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
“Persamaan” atau
“hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hakhak ekonomi, sosial
dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara
menyediakan
pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada
kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak
tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan
dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif:
“bebas dari” (“freedom from”). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi
pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah
yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan,
hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang
sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan
kesenian. Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan
sosial. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Yang
dimaksud dengan positif di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat
membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan
tanda plus (positif), tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk
memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara
diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan
hak-hak tersebut. Contohnya, untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap
orang, negara harus membuat kebijakan ekonomi yang dapat membuka lapangan
kerja. Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan paham
sosialis, atau sering pula dianggap sebagai “hak derivatif” - yang karena itu
dianggap bukan hak yang “riil”.23 Namun demikian, sejumlah negara (seperti
Jerman dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.
(c)
Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
“Persaudaraan”
atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak
solidaritas”
atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara
berkembang atau
Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan
atas hak
solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu
tatanan ekonomi
dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak
berikut: (i) hak
atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya
alam sendiri;
(iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan
budaya sendiri.
Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi
ketiga ini sebetulnya
hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai
berkaitan dengan
kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.
Di antara
hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara
berkembang itu,
terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara Barat agak
kontroversial.
Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”.
Klaim atas
hak-hak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab dengan
memuaskan
pertanyaan-pertanyaan berikut: siapa pemegang hak tersebut, individu atau
negara?; siapa
yang bertanggungjawab melaksanakannya, individu, kelompok atau
negara?
Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan terhadap pertanyaanpertanyaan
mendasar ini
telah melahirkan keraguan dan optimisme di kalangan para ahli
dalam menyambut
hak-hak generasi ketika itu. Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa
pelaksanaan
hak-hak semacam itu --jika memang bisa disebut sebagai “hak”-- akan
bergantung pada
kerjasama internasional, dan bukan sekedar tanggungjawab suatu
negara.
(d)
Keberkaitan (Indivisibility) dan Kesalingtergantungan (Interdependence)
Antonio Cassese
pernah mengatakan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia
merupakan buah dari beberapa ideologi, suatu titik temu antara berbagai
konsep mengenai
manusia dan lingkungannya. Dengan demikian, apa yang ada dalam
Deklarasi
tersebut tidak lain adalah kompromi.
Negara Barat
mungkin memang telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi
pendekatan
internasional terhadap hak asasi manusia. Kontribusi-kontribusi tersebut
tidak diragukan
lagi telah membantu pengembangan teori modern hak asasi manusia.
Menurut catatan
sejarah, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan produk
suatu era yang
didominasi oleh “Negara Barat”, dan sedikitnya merefleksikan suatu
konsep barat
tentang hak asasi manusia. Terdapat pengaruh faham liberal-Barat dalam
draft pertama
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dianggap sebagai “suatu
standar bersama
yang merupakan sebuah pencapaian bagi seluruh umat manusia dan
seluruh bangsa.”
Tetapi juga dapat dilihat di dalamnya kontribusi kaum Sosialis,
terutama
mengenai apa yang kemudian disebut Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Adalah Karl
Marx, yang melalui kritiknya atas konsep “kebebasan”, yang
memberi
kontribusi sangat penting bagi pandangan universal terhadap hak asasi
manusia.
Pemikirannya kemudian berkembang ke suatu ide untuk saling
menyeimbangkan
antara konsep liberal kebebasan individu dan konsep hak warga
negara. Di
kemudian hari, negara-negara dunia ketiga juga memberikan kontribusi
penting dalam
menegaskan eksistensi hak asasi manusia. Dekolonisasi dan munculnya
sejumlah
negara-negara merdeka baru sedikit banyak merefleksikan kemenangan hak
asasi manusia,
terutama hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dalam
forum internasional.
Kondisi inilah yang di kemudian hari berujung pada pengakuan
terhadap hak
kolektif atau hak kelompok.
Dengan
penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa semua pihak yang berperan dalam
apa yang kita
kenal sekarang sebagai dunia modern telah turut memberi kontribusi
penting dalam
konteks pengakuan universal terhadap hak asasi manusia. Ini berarti
bahwa dalam
konteks historis, konsep hak asasi manusia telah diakui secara universal.
Terlepas dari
inkosistensi dan multi-interpretasi prinsip-prinsip hak asasi manusia,
terutama dalam
hal intervensi kemanusiaan atau prinsip non-intervensi, negara-negara
anggota PBB
tetap mencapai kemajuan dalam menegakkan hak asasi manusia.
Perbedaan
pandangan antara negara-negara maju/Barat, yang lebih menekankan
pentingnya
hak-hak individu, sipil dan politik, dengan negara-negara
berkembang/Timur,
yang lebih menekankan pentingnya hak-hak kelompok, ekonomi
dan sosial,
berujung pada penciptaan suatu kesepakatan bahwa hak asasi manusia harus
diperhitungkan
sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.30 Artinya, hak-hak sipil, politik,
ekonomi, sosial
dan budaya saling berkaitan (indivisible) dan saling membutuhkan
(interdependence),
dan harus diterapkan secara adil baik terhadap individu maupun
kelompok.
Hubungan antara berbagai hak yang berbeda sangatlah kompleks dan dalam
prakteknya tidak
selalu saling menguatkan atau saling mendukung. Sebagai contoh, hak
politik, seperti
hak untuk menjadi pejabat publik, tidak dapat dicapai tanpa terlebih
dahulu
terpenuhinya kepentingan sosial dan budaya, seperti tersedianya sarana
pendidikan yang
layak.
(3)
Universalisme dan Relativisme Budaya
Sejauh ini
pembahasan telah menguraikan asal-usul munculnya hak asasi manusia
sebagai norma
internasional yang berciri universal serta perkembangannya dalam
ilustrasi
generasi-generasi hak.
Salah satu
wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir adalah
konflik antara
dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan hak asasi manusia dalam
skala nasional,
yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural
relativism). Di satu sisi,
universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya
“primitif” yang
pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan
hak yang sama
dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan
sebaliknya,
yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah. Berikut ini adalah
pembahasan lebih
lanjut tentang dua ‘ideologi’ tersebut.
(a)
Teori Universalis (Universalist theory) Hak Asasi Manusia
Doktrin
kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah
perspektif moral
universalis. Asal muasal dan perkembangan hak asasi manusia tidak
dapat
terpisahkan dari perkembangan universalisme nilai moral. Sejarah perkembangan
filosofis hak
asasi manusia dapat dijelaskan dalam sejumlah doktrim moral khusus
yang, meskipun
tidak mengekspresikan hak asasi manusia secara menyeluruh, tetap
menjadi
prasyarat filosofis bagi doktrin kontemporer. Hal tersebut mencakup suatu
pandangan moral
dan keadilan yang berasal dari sejumlah domain pra-sosial, yang
menyajikan dasar
untuk membedakan antara prinsip dan kepercayaan yang “benar” dan
yang
“konvensional”. Prasyarat yang penting bagi pembelaan hak asasi manusia di
antaranya adalah
konsep individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa
pandangan umum
mengenai nilai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu
secara rasional.
Hak asasi
manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan
akan keberadaan
kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia.
Universalisme
moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas
budaya dan
lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal muasal
universalisme
moral di Eropa terkait dengan tulisan-tulisan Aristotle. Dalam karyanya
Nicomachean
Ethics,
Aristotle secara detail menguraikan suatu argumentasi yang
mendukung
keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini
harus menjadi
dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu
ketertiban alam kemudian
diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang
komprehensif
untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan
manusia”. Oleh
karenanya, kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benarbenar
rasional harus
menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah
manusia. “Hukum
alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi
sosial dan
politik. Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah
ada pada “reason”,
yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.
Dasar dari
doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode
moral alami yang
didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan
tertentu yang
bersifat fundamental. Penikmatan kita atas kepentingan mendasar tersebut
dijamin oleh
hak-hak alamiah yang kita miliki. Hukum alam ini seharusnya menjadi
dasar dari
sistem sosial dan politik yang dibentuk kemudian. Oleh sebab itu hak alamiah
diperlakukan
sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang dimiliki individu terlepas
dari nilai-nilai
masyarakat maupun negara. Dengan demikian hak alamiah adalah valid
tanpa perlu
pengakuan dari pejabat politis atau dewan manapun. Pendukung pendapat
ini adalah
filsuf abad ke 17, John Locke, yang menyampaikan argumennya dalam
karyanya, Two
Treaties of Government (1688). Intisari pandangan Locke adalah
pengakuan bahwa
seorang individu memiliki hak-hak alamiah yang terpisah dari
pengakuan
politis yang diberikan negara pada mereka. Hak-hak alamiah ini dimiliki
secara terpisah
dan dimiliki lebih dahulu dari pembentukan komunitas politik manapun.
Locke
melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan bahwa tujuan utama pelantikan
pejabat politis
di suatu negara berdaulat seharusnya adalah untuk melindungi hak-hak
alamiah mendasar
individu. Bagi Locke, perlindungan dan dukungan bagi hak alamiah
individu
merupakan justifikasi tunggal dalam pembentukan pemerintahan. Hak alamiah
untuk hidup,
kebebasan dan hak milik menegaskan batasan bagi kewenangan dan
jurisdiksi
negara. Negara hadir untuk melayani kepentingan dan hak-hak alamiah
masyarakatnya,
bukan untuk melayani monarki atau sistem.
Dalam
universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak
yang tidak dapat
dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi.
Dalam model
relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal
ini tidak
dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan.
Yang diakui
adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini
telah diterapkan
di berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari
Barat dan
menganggapnya sebagai imperialisme budaya. Namun demikian, negaranegara
tersebut
mengacuhkan fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nationstate
dari Barat dan
tujuan modernisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran secara
ekonomi.
(b)
Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory)
Isu relativisme
budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya
Perang Dingin
sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia
internasional.
Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan
merupakan
satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.31 Karena itu hak
asasi manusia
dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara.
Semua kebudayaan
mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus
dihormati.
Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak
universalisasi
hak asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.
Gagasan bahwa
hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya
diusung oleh
negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Gagasan ini begitu
mengemuka pada
dasawarsa 1990-an --terutama menjelang Konferensi Dunia Hak
Asasi Manusia di
Wina--, disuarakan dengan lantang oleh para pemimpin dan
cendikiawan
(yang biasanya merepresentasikan kepentingan status quo) di negaranegara
tersebut. Para
pemimpin negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat,
misalnya,
mengajukan klaim bahwa apa yang mereka sebut sebagai “nilai-nilai Asia”
(Asian Values)
lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini, ketimbang “nilai-nilai
Barat” (seperti
hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu urgen bagi
bangsa-bangsa
Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia” itu
adalah Lee Kwan
Yew, Menteri Senior Singapura, dan Mahathir Mohammad, mantan
Perdana Menteri
Malaysia.
“Di Asia
Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi,
melainkan dengan
pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni suatu kepemimpinan
yang transparan
dan tidak korup”,32 ujar Lee Kwan Yew dalam sebuah ceramahnya di
Jepang. Menurut
Lee, yang terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah
pembangunan
ekonomi yang ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan
memberikan
kebebasan dan hak asasi manusia. Yang terakhir itu akan diberikan apabila
negara-negara di
kawasan ini mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan memberi
kesejahteraan
kepada rakyat mereka. Dalam nada yang hampir sama Mahathir
Mohammad
berpendapat, “saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai
masih
merajalela, dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas
mesti diberikan
kepada pembangunan ekonomi”.33 Atas dasar ini Mahathir menolak
pemaksaan
standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain. “Asia
tampaknya tidak
memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-nilainya sendiri tentang
hak asasi
manusia, kecam Mahathir terhadap
upaya-upaya internasionalisasi hak
asasi manusia.
Singkatnya, baik bagi Lee maupun Mahathir, ide hak asasi manusia tidak
urgen bagi
bangsa-bangsa Asia.
Apa sebetulnya
yang ingin dikemukakan oleh elit yang memerintah di Asia
dengan bertameng
di balik “nilai-nilai Asia” itu? Apakah memang untuk tujuan
memajukan hak
asasi manusia?, atau ada kepentingan lain di luar hak asasi manusia
yang diinginkan
oleh mereka? Perdebatan mengenai isu ini dengan gamblang
menunjukkan pada
kita bahwa di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di
kawasan ini
ingin mengemukakan pembenaran bagi penyimpangan-penyimpangan
substansial dari
tafsiran internasional yang baku tentang kaidah-kaidah hak asasi
manusia. Dengan
mengajukan “nilai-nilai Asia” mereka menolak dijadikannya hak
asasi manusia
sebagai parameter dalam kerja sama pembangunan internasional. Lebih
jauh sebetulnya
di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan itu
gamang dengan
diterapkannya “conditionality” dalam kerja sama pembangunan.
“Conditionality”
yang dimaksud adalah menjadikan catatan hak asasi manusia sebagai
persyaratan
dapat-tidaknya kerja sama pembangunan dilakukan. Singkatnya, ada
kepentingan
tersembunyi (vested interest) para penguasa di kawasan itu dalam upaya
advokasi
“nilai-nilai Asia” sehebat-hebatnya.
Relativisme
budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide
yang sedikit
banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang
sekali adanya
kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada
kondisi di mana
“mereka yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”.36 Ketika suatu
kelompok menolak
hak kelompok lain, seringkali itu terjadi demi kepentingan
kelompok itu
sendiri. Oleh karena itu hak asasi manusia tidak dapat secara utuh bersifat
universal
kecuali apabila hak asasi manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya yang
seringkali
dibuat tidak dengan suara bulat, dan dengan demikian tidak dapat mewakili
setiap individu.
Sebagai contoh,
dalam pandangan liberal Barat, setiap sistem selain sistem liberal
dominan tidak
akan kondusif untuk menegakkan hak asasi manusia. Penganut faham
liberal
berpendapat bahwa setiap sistem politik selain liberal tidak dapat melindungi
dan
memajukan hak
asasi manusia. Oleh karenanya, menurut mereka, penegakan dan
pemajuan hak
asasi manusia hanya dapat dicapai dengan mengubah sistem politik itu
sendiri. Di sisi
lain, mereka mengatakan bahwa hanya sistem liberal yang dapat
menjamin
pencapaian hak asasi manusia. Jika pendapat ini dianggap absolut, maka hak
asasi manusia
hanya akan menjadi ajang pertempuran ideologi dengan satu tujuan, yaitu
untuk menegakkan
rezim liberal di seluruh dunia. Ini hanya akan menciptakan suatu
lingkaran
perdebatan dan konfrontasi mengenai interpretasi dan implementasi hak asasi
manusia.
Terdapat
perbedaan dalam konsep filosofis hak asasi manusia. Negara-negara
Barat selalu
membela prioritas mereka mengenai hak asasi manusia. Bagi mereka, hak
asasi manusia
telah secara alamiah dimiliki oleh seorang individu dan harus diakui
secara penuh dan
dihormati oleh pemerintah. Bagi negara-negara Timur dan non-liberal,
hak asasi
manusia dianggap ada hanya dalam suatu masyarakat dan dalam suatu negara.
Hak asasi
manusia tidak ada sebelum adanya negara, melainkan diberikan oleh negara.
Dengan demikian,
negara dapat membatasi hak asasi manusia jika diperlukan.
Perbedaan lain
muncul pada tingkat implementasi dalam memajukan dan
menegakkan hak
asasi manusia. Bagi negara-negara Barat, konsep “keseimbangan”
antara
kepentingan untuk menghormati urusan dalam negeri negara asing dan keperluan
untuk melakukan
apapun yang mungkin bagi penghormatan terhadap hak asasi manusia
seorang individu
adalah sebagai berikut: dalam kasus di mana pelanggaran yang
dilakukan di
negara lain telah menjadi semakin serius, sistematis dan skalanya meluas,
negara lain atau
organisasi internasional diperbolehkan untuk campur tangan, bahkan
apabila hal
tersebut berpotensi menimbulkan perdebatan, ketegangan dan konflik.
Sementara dalam
pandangan negara-negara Timur, intervensi terhadap pelanggaran
yang terjadi di
negara lain dan kemudian menuduh pemerintah negara tersebut telah
gagal menegakkan
hak asasi manusia adalah suatu tindakan yang tidak logis dan tidak
layak.
Contoh lebih
jauh adalah anggapan adanya “dominasi kultural” yang dilakukan
oleh Barat
terhadap perspektif Timur. Dominasi kultural berarti bahwa mereka yang
berasal dari
kelompok dominan berpendapat bahwa apa yang baik bagi mereka juga
pasti baik bagi
seluruh isi planet.38 Sebagai analogi, sistem nasional atau regional yang
dominan memiliki
kecenderungan untuk menganggap dirinya sebagai universal bagi
yang lainnya.
Dalam hal hak asasi manusia, kecenderungan tersebut sampai pada titik di
mana ada tekanan
politik untuk mengakui satu generasi atas generasi lainnya. Hasilnya
adalah suatu
faham hak asasi manusia yang ideologis dan interpretasi yang bersifat
politis terhadap
hak-hak tersebut.
Harus diingat
bahwa gagasan tentang “dominasi kultural” Barat merupakan salah
satu kritik
terkuat dari negara-negara Timur, terutama negara-negara Asia Timur dan
Asia Tenggara.
Mereka menyatakan bahwa konsep hak di Barat yang bersifat destruktif
dan sangat
individualis tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Asia, di mana
komunitas harus
diutamakan atas individu.39 Para pemimpin Asia menentang apa yang
mereka sebut
sebagai “imperialisme budaya” nilai-nilai barat, dan menuduh Barat telah
mencoba untuk
memelihara budaya kolonial dengan memaksakan suatu konsep hak
yang tidak
mencerminkan budaya Asia.
(c)
Memadukan Universalisme dengan Pluralisme
Telah diakui
secara umum bahwa dalam prakteknya hak asasi manusia
dikondisikan
oleh konteks sejarah, tradisi, budaya, agama, dan politik-ekonomi yang
sangat beragam.
Tetapi dengan segala keberagaman tersebut, tetap terdapat nilai-nilai
universal yang
berpengaruh. Martabat manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan
merupakan
sebagian nilai yang mengesampingkan perbedaan dan merupakan milik
kemanusiaan
secara utuh. Lepas dari adanya berbagai perdebatan, universalitas dan
keterkaitan (indivisibility)
hak asasi manusia merupakan bagian dari warisan
kemanusiaan yang
dinikmati umat manusia di masa sekarang.
intervensi
kemanusiaan (humanitarian intervention), menekankan pentingnya
kedaulatan nasional dan
menegaskan
prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri.
Tidaklah mudah
untuk memaksakan konsep universalitas hak asasi manusia
kepada beragam
tradisi, budaya dan agama. Oleh karena itu penting untuk menggali
kesamaan konsep
yang prinsipil, yaitu martabat umat manusia. Seluruh agama, sistem
moral dan
filosofi telah mengakui martabat manusia sebagai individu dengan berbagai
ragam cara dan
sistem. Tidak dapat disangkal bahwa hak untuk mendapatkan
kehidupan,
misalnya, mendapatkan pengakuan universal sebagai suatu “hak”. Di sisi
lain perbudakan
atau ketiadaan kebebasan, misalnya, sangat bertentangan secara
alamiah dengan
martabat manusia.
Bertrand
Ramcharan, seorang profesor hukum di Universitas Columbia,
mendefinisikan
konsep universalitas hak asasi manusia melalui pertanyaan-pertanyaan
sederhana.
Apakah manusia ingin hidup atau mati? Apakah manusia mau disiksa atau
diperbudak?
Apakah manusia mau hidup bebas atau hidup dalam penjara? Apakah
manusia mau
diperbudak? Apakah manusia mau menyatakan pendapat khususnya
mengenai
bagaimana warga negara diatur dalam suatu pemerintahan? Tidak dibutuhkan
suatu proses pemikiran
yang rumit bagi seorang individu untuk menentukan pilihan
untuk hidup atau
mati, bebas atau terpenjara. “Ujian demokratis” universalitas ini
merupakan dasar
bagi afirmasi mengenai apa yang dianggap sebagai hak asasi manusia
universal.
Berangkat dari
hal tersebut, dapat ditarik nilai dan kriteria yang diterima secara
universal oleh
seluruh negara. Secara praktis seluruh negara di dunia sependapat bahwa
apa yang mereka
akui sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia adalah:
genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Ini berarti bahwa
seluruh negara
setuju mengenai setidaknya beberapa nilai yang mendasar. Secara
prinsipil
perjanjian ini kemudian berkembang menjadi setidaknya suatu inti penting dari
hak asasi
manusia di seluruh negara di dunia, atau setidaknya sebagian besar dari
negara-negara
tersebut. Hal ini juga yang menjadi landasan bahwa kesepakatan dapat
dicapai untuk
bentuk-bentuk hak asasi yang lainnya.
(4)
Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia
Para pejuang hak-hak
perempuan di berbagai wilayah dunia melontarkan kritik
bahwa hukum dan
sistem hak asasi manusia itu adalah sistem yang sangat maskulin dan
patriarki, yang
dibangun dengan cara berfikir dan dalam dunia laki-laki yang lebih
memperhatikan
dan kemudian menguntungkan laki-laki dan melegitimasi situasi yang
tidak
menguntungkan perempuan. Hal tersebut dilihat dari beberapa hal pertama,
pendikotomian
antara wilayah publik dan privat; kedua, konsepsi pelanggaran hak
asasi
manusia sebagai
pelanggaran yang dilakukan oleh negara; ketiga, pendekatan
‘kesamaan’ (sameness)
dan ‘perbedaan’ (differences) yang dipakai oleh beberapa
instrumen pokok
hak asasi manusia; keempat, pemilahan dan prioritas hak sipil dan
politik,
ketimbang hak ekonomi, sosial dan budaya.
Hak asasi
manusia khususnya pendekatan hak asasi manusia yang konvensional
lebih menekankan
pengakuan jaminan terhadap hak-hak dalam lingkup publik
sementara
wilayah domestik tidak dijangkau demi alasan melindungi hak privasi
seseorang.
Pemilahan antara wilayah lingkup dan publik dan prioritas perlindungan hak
pada wilayah
publik sangat dilematis dalam konteks penegakan hak asasi manusia
terhadap manusia
yang berjenis kelamin perempuan. Sebab, dalam banyak pengalaman
perempuan,
wilayah domestik dan privat ini malah menjadi arena di mana kekerasan
dan diskriminasi
berlangsung sangat serius dan massif. Namun, situasi kekerasan
tersebut tidak
dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan hanya dikategorikan
sebagai
perlakuan kriminal semata.
Konsepsi
pemilahan publik dan domestik pun berjalin dengan pandangan bahwa
pelaku
pelanggaran hak asasi manusia adalah negara (state actor) yang kemudian
meminggirkan
berbagai pengalaman perempuan. Dalam kasus “penyiksaan” (torture),
misalnya,
pendekatan hak asasi manusia konvensional hanya akan melihat kasus
penyiksaan
sebagai pelanggaran hak asasi manusia jika dilakukan oleh aparat negara
dan terjadi di
wilayah publik. Hal ini mengabaikan situasi yang sering dialami oleh
perempuan korban
kekerasan rumah tangga (yang mengalami penyiksaan), di mana
kekerasan yang
dilakukan oleh aktor negara dan kekerasan berlanjut karena aktor
negara tidak
segera bertindak terhadap pelakunya.
Di samping itu,
beberapa instrumen pokok memang telah meletakkan prinsipprinsip
non-diskriminasi
khususnya atas dasar jenis kelamin. Pendekatan yang dipakai
dalam prinsip
non-diskriminasi tersebut adalah “setiap orang adalah sama” khususnya di
mata hukum,
sehingga orang harus “diperlakukan sama” (sameness). Perlakuan berbeda
dan perlindungan
khusus hanya diberikan kepada perempuan yang menjalankan fungsi
reproduksinya
seperti melahirkan dan menyusui, karena asumsinya perbedaan antara
laki-laki dan
perempuan hanya pada perbedaan biologis (difference). Pendekatan ini
dipandang tidak
melihat akar masalah perempuan di mana kekerasan dan diskriminasi
itu akibat dari
relasi kekuasaan yang timpang dan telah berjalan sejak lama. Akibanya
perempuan selalu
berada pada posisi yang tidak beruntung (disadvantages) di hampir
seluruh aspek
kehidupan yang tidak mudah dikembalikan kepada posisi yang lebih baik
jika tidak ada
perlakuan dan perlindungan khusus. Perlakuan dan perlindungan khusus
hanya pada
perempuan yang sebagai “ibu” menjalankan peran domestik saja. Sementara
perempuan yang
tidak menjadi “ibu” dan banyak perempuan yang tidak pula berperan
sebagai “ibu”
berada pada posisi yang lemah dan tidak beruntung karena relasi timpang
dan dampak dari
ketertindasan tidak dijamin perlindungannya, diperlakukan sama
dengan pihak
(laki-laki) yang memiliki situasi yang lebih beruntung. Perlakuan sama
menyebabkan
situasi yang lebih senjang untuk tujuan atau hasil pencapaian keadilan.
Perlakuan yang
sama tidak akan menjamin perempuan dan laki-laki bisa secara sama
mengakses
pendidikan dan fasilitas kesehatan jika tidak ada jaminan atau landasan
untuk
tersedianya langkah-langkah strategis dan khusus untuk menghapus atau
menghilangkan
hambatan perempuan untuk mengakses secara sama terhadap
pendidikan atau
akses lainnya.
Selain itu,
pendekatan hak asasi manusia klasik memprioritaskan dan sekaligus
memilah-milah
hak sipil dan politik dan meninggalkan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Penekanan
tentang hak hidup, misalnya, banyak dilakukan terkait dengan hak untuk
bebas dari
hukuman mati. Tidak untuk menyatakan bahwa hak itu tidak penting, namun
pemilihan
wilayah yang diprioritaskan berdampak pada banyaknya kasus-kasus yang
terkait dengan
hak hidup lainnya dari aspek sosial dan budaya tidak diperlakukan setara.
Misalnya, banyak
perempuan yang mati pada saat melahirkan akibat layanan dan
fasilitas
kesehatan yang tidak memadai, perempuan migran yang mati akibat perlakuan
sewenang-wenang
majikan dan tidak adanya perlindungan hukum bagi mereka, bukan
jadi area yang
dianggap penting dalam konteks hak hidup. Padahal peristiwa ini adalah
peristiwa yang
sangat dekat dengan keseharian hidup perempuan.
Berbagai kritik
dan advokasi yang dilontarkan atas kelemahan sistem hak asasi
manusia dari
perspektif pengalaman perempuan berdampak pada adanya perkembangan
pemikiran baru
tentang konsep hak asasi manusia.
Pemikiran para
pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam hukum hak
asasi manusia
sejak dirumuskannya instrumen internasional yang spesifik untuk
menghadapi
persoalan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu Konvensi tentang
Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1976 dan
mulai berlaku
pada tahun 1979. Konvensi ini meletakkan pemikiran dasar bahwa
diskriminasi
terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam
masyarakat yang
dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada.
Konvensi
meletakkan pula strategi/langkah-langkah khusus sementara yang perlu
dilakukan untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini menjadi
salah satu kerangka
kerja internasional untuk perwujudan hak-hak perempuan.
Konvensi ini
dianggap sebuah lompatan yang cepat terhadap realitas masyarakat
internasional
yang masih bergumul dengan pandangan yang sempit dalam melihat
realitas perempuan.
Oleh karena itu, dalam jangka waktu yang cukup lama sejak
pemberlakuannya,
konvensi ini sempat tidak banyak berdampak dalam perubahan cara
pandang arus
besar. Dengan pandangan patriarkis yang masih kuat, pengadaan konvensi
yang spesifik
ini malah dianggap sebagai upaya untuk ‘mengistimewakan’ perempuan
sehingga membuat
hak antara laki-laki dan perempuan tidak setara, di sisi lain justru
dianggap
merupakan penyempitan terhadap pemaknaan hak perempuan yang seolah-
olah hak
perempuan hanyalah hak yang diatur dalam Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan. Hal ini disadari banyak pejuang hak
perempuan, yang
kemudian pada saat yang sama juga dilakukan segala upaya
pengakuan
internasional tentang persoalan diskriminasi yang sudah akut dan upaya
untuk
mempengaruhi cara pandang publik.
Upaya ini
dimulai dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Tahunan
Perempuan dan
Tribunal Internasional Tahunan Perempuan di Mexico City pada tahun
1975 yang
dilanjuti dengan Konferensi Dunia tentang Perempuan dan Forum LSM di
Copenhagen 1980
dan kemudian Konferensi yang sama pun dilanjutkan pada tahun
1985 di Nairobi
dan kemudian pada tahun 1990. Aktivitas ini berdampak pada
kelompok-kelompok
hak asasi manusia internasional di PBB.
Keberadaan
Deklarasi Wina dan Kerangka Aksi (Vienne Declaration and
Platform for
Action) 1993
sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang Hak Asasi
Manusia
merupakan momentum baru perkembangan konsep hak asasi manusia yang
melihat hak
asasi manusia secara universal, integral dan saling terkait satu dengan
lainnya. Tak
kalah pentingnya, Deklarasi ini menegaskan konsepsi tentang hak asasi
perempuan
sebagai hak asasi manusia yang universal:
“The human
rights of women and of the girl-child are an inalienable,
integral and
indivisible part of universal human rights. The full and equal
participation of
women in political, civil, economic, social and cultural
life, at the
national, regional and international levels, and the eradication
of all forms of
discrimination on grounds of sex are priority objectives of
the
international community”.
Lebih lanjut,
penegasan bahwa kekerasan terhadap perempuan atau sering disebut
kekerasan
berbasis jender (gender-based violence) merupakan isu hak asasi manusia
sehingga
upaya-upaya untuk menghapuskannya adalah bagian dari upaya penegakan
hak asasi
manusia.
Sebagai kerangka
aksi, Deklarasi Wina kemudian menekankan agar hak asasi
perempuan harus
menjadi bagian yang integral dalam seluruh aktivitas dari hak asasi
manusia yang
dijalankan oleh PBB dan setiap instrumen hak asasi manusia yang terkait
dengan
perempuan. Tidak hanya di tingkat PBB tapi juga diharapkan pemerintah,
organisasi antar
pemerintah dan LSM juga diharapkan mengintensifkan upaya untuk
promosi dan
perlindungan hak asasi perempuan dan anak perempuan.
Pada konferensi
ke-4 tentang Perempuan di Beijing 1995, dihasilkan pula
Pedoman Aksi
Beijing (The Beijing Platform for Action) yang meletakkan 12 area kritis
terkait dengan
pemenuhan hak perempuan sebagai hak asasi manusia.
Konseptualisasi
hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia dan kekerasan
terhadap
perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kerangka kerja untuk
menghapuskannya
meletakkan setiap instrumen hak asasi manusia dimaknai ulang.
Pengakuan
tersebut harus meliputi pula pengakuan tentang berbagai penyebab
timbulnya
diskriminasi. Beberapa Mekanisme HAM PBB yang berbasis pada
perjanjian
kemudian melakukan adopsi dengan mengeluarkan Komentar
Umum/Rekomendasi
Umum untuk mengkaji ulang persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan.
1) Komite HAM
untuk Hak Sipil dan Politik mengeluarkan Komentar Umum No. 28 tahun 2000
tentang Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan (pasal 3)
(General
Comment No. 28: Equality of rights between men and women (article 3)
tahun 2000). Pada Komentar Umum
tersebut komite menegaskan bahwa setiap
negara yang
sudah meratifikasi konvensi hak sipil dan politik, tidak saja harus
mengadopsi
langkah-langkah perlindungan tapi juga langkah-langkah positif di
seluruh area
untuk mencapai pemberdayaan perempuan yang setara dan efektif.
Langkah ini
termasuk pula penjaminan bahwa praktek-praktek tradisi, sejarah,
agama dan budaya
tidak digunakan untuk menjustifikasi pelanggaran hak
perempuan.
Dengan adanya Komentar Umum ini Komite ingin memastikan bahwa
negara pihak dalam
membuat laporan terkait hak-hak sipil dan politik harus
menyediakan
informasi tentang bagaimana pengalaman perempuan yang banyak
dilanggar haknya
dalam setiap hak yang dicantumkan dalam Konvensi. 2) Komite tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
meletakkan pula
kerangka langkah-langkah khusus sementara (temporary special
measures) untuk
penghapusan diskriminasi langsung dan tidak langsung (direct and indirect
discrimination) yang terjadi terhadap perempuan yang sangat mempengaruhi
penikmatan hak asasi perempuan dalam Rekomendasi Umum No. 25 (2004). Dirasa penting
membedakan adanya situasi khas perempuan secara biologis dan situasi yang tidak
menguntungkan akibat dari proses penindasan dan
situasi yang
tidak setara yang cukup lama hadir. Komite menekankan bahwa posisi
perempuan yang
tidak beruntung tersebut perlu disikapi dengan pendekatan persamaan hasil (equality
of result) sebagai tujuan dari persamaan secara substantif
(subtantive
equality) atau de facto tidak saja persamaan secara formal (formal
equality). (3) Komite tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengeluarkan
Komentar Umum No. 16 (2005) tentang Persamaan Hak antara Laki-laki dan
Perempuan dalam menikmati seluruh hak ekonomi, sosial dan budaya (Pasal 3) (The
equal right of men and women to the enjoyment of all economic, social
and cultural rights (art. 3 of the International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights). Komite menegaskan bahwa perempuan seringkali
diabaikan haknya untuk menikmati hakhak asasi mereka karena status yang
dinomorduakan oleh tradisi dan praktek budaya dan berdampak pada posisi
perempuan yang tidak beruntung. “ Many women experience distinct forms of
discrimination due to the intersection of sex with such factors as race, colour,
language, religion, political and other opinion, national or social origin,
property, birth, or other status, such as age, ethnicity, disability, marital,
refugee or migrant status, resulting in compounded disadvantage Komite
mencatat ada banyak pengalaman perempuan yang tidak dapat menikmati haknya
sebagaimana tercakup dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya seperti hak
atas perumahan yang layak, hak atas makanan yang layak, hak atas kesehatan, hak
atas pendidikan, dan hak atas standart kesehatan yang layak dan hak atas air.
Dengan rekomendasi ini, Komite meletakkan kerangka tentang persamaan (equality),
non-diskriminasi (non discrimination) dan langkah-langkah sementara (temporare
measures) yang menjadi acuan bagi para negara yang terikat dengan Konvensi
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Perkembangan pemikiran dan konsep hak asasi
manusia sebagai pemikiran yang dinamis dan senantiasa kontekstual masih akan
terus berlanjut, termasuk dalam konteks hak asasi perempuan. Beberapa kritik
para pejuang hak asasi manusia telah disikapi namun masih ada banyak isu yang
belum selesai. Harus disadari bahwa proses membongkar cara pandang hak asasi
manusia konvensional dengan pendekatan hak asasi manusia yang baru bukan proses
yang mudah. Namun, upaya untuk mengefektifkan penikmatan hak secara adil adalah
agenda yang tidak pernah berhenti.
B.
Tonggak-Tonggak Sejarah Hak Asasi Manusia Kontemporer
Sekarang kita
kembali pada pembahasan tentang hak asasi manusia sebagai norma
internasional
dengan lebih mendalam. Pada uraian di muka telah dipaparkan perkembangan
gagasan hak asasi manusia hingga akhirnya diterima sebagai norma
internasional,
dan kemudian diikuti dengan pembahasan terhadap gagasan yang
menantang
universalisasi hak asasi manusia yang disuarakan oleh negara-negara
berkembang
dengan mengusung gagasan relativisme budaya. Sekarang kita kembali pada
pembahasan mengenai diterimanya gagasan hak asasi manusia sebagai norma yang berlaku
bagi setiap negara. Kalau pembahasan di muka uraian difokuskan pada evolusi gagasannya,
pembahasan kali ini mencoba menelisik tonggak-tonggak terpenting sejarah
lahirnya hak asasi manusia sebagai “Magna Charta” di pentas hukum internasional.
(1)
Sebelum Perang Dunia II
Sejak bangkitnya
sistem negara modern serta penyebaran industri dan kebudayaan
Eropa ke seluruh
dunia, telah berkembang serangkaian kebiasaan dan konvensi yang unik mengenai
perlakuan manusiawi terhadap orang-orang asing. Konvensi itu, yang diberi nama
“Hukum Internasional mengenai Tanggungjawab Negara terhadap Pelanggaran Hak-hak
Orang Asing”, dapat dianggap mewakili perhatian awal yang besar terhadap
promosi dan perlindungan hak asasi manusia di tingkat internasional. Para
pendiri hukum internasional, khususnya Francisco de Vitoria (1486-1546), Hugo Grotius
(1583-1645) dan Emmerich de Vattel (1714-1767), sedari awal menyadari bahwa
semua orang, baik orang asing maupun bukan, berhak atas hak-hak alamiah tertentu,
dan karenanya, mereka menekankan pentingnya memberi perlakuan yang pantas
kepada orang-orang asing. Tetapi baru pada abad ke-19 mulai menyingsing dengan
jelas minat dan perhatian internasional terhadap perlindungan hak-hak warga
negara. Perdamaian Westphalia (1648), yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun
dan yang menetapkan asas persamaan hak bagi agama Katolik Roma dan Protestan di
Jerman, telah membuka jalan ke arah itu. Satu setengah abad kemudian, sebelum
Perang Dunia II, beberapa upaya yang patut dicatat sebagai tonggak-tonggak
penting, walaupun pada pokoknya tidak berkaitan, dalam upaya menggalakkan
perhatian terhadap warga negara melalui sarana hukum internasional mulai
membentuk apa yang dewasa ini dinamakan “Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional”. Tonggak-tonggak penting itu antara lain, doktrin perlindungan
negara terhadap orang asing, intervensi kemanusiaan, serta tonggak penting
lainnya seperti akan dielaborasi lebih jauh dalam sub-sub bahasan di bawah ini.
(a)
Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional Tradisional
Pada awal
pertumbuhannya, hukum internasional hanya merupakan hukum yang
mewadahi
pengaturan tentang hubungan antara negara-negara belaka. Subyeknya sangat eksklusif,
yakni hanya mencakup negara. Entitas-entitas yang lain, termasuk individu, hanya
menjadi objek dari sistem itu, atau penerima manfaat (beneficiary) dari
sistem tersebut. Individu, sebagai warga negara, tunduk sepenuhnya kepada
kewenangan negaranya. Dalam arti ini, negara tentu dapat saja membuat
ketentuan-ketentuan demi kepentingan warga negaranya (individu), namun
ketentuan-ketentuan semacam itu tidak memberikan hak-hak substantif kepada
individu yang dapat mereka paksakan melalui prosedur pengadilan. Negara-lah
yang membela hak atau kepentingan warga negaranya apabila mendapat perlakuan
yang bertentangan dengan aturan atau perlakuan semenamena dari negara lainnya. Apa
yang dikatakan di atas dikenal dengan doktrin “perlindungan negara terhadap
orang asing”
atau “state responsibility for injury to alliens”, yang dikenal dalam
hukum internasional ketika itu. Berdasarkan doktrin hukum internasional itu,
orang-orang asing berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah yang
melanggar aturan. Biasanya, hal ini terjadi ketika seorang asing mengalami
perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, dan negara tersebut
tidak mengambil tindakan apapun atas pelanggaran itu. Doktrin “perlindungan
negara terhadap orang asing” tersebut, khususnya mengenai standar minimal dan
kesamaan perlakuan, kemudian diambil alih oleh perkembangan-perkembangan dalam
hukum hak asasi manusia internasional. Meskipun tujuan utama klaim negara
semacam itu bukanlah untuk mendapatkan kompensasi bagi warga negaranya yang
dirugikan, melainkan untuk membela hak-hak negara itu sendiri --yang secara
tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang buruk terhadap warga
negaranya.
(b)
Intervensi Kemanusiaan
Demikianlah
posisi individu dalam hukum internasional tradisional, yang sering
ditandai menurut
kebangsaannya. Berdasarkan dalil itu, negara-negara lain tidak
mempunyai hak
yang sah untuk melakukan intervensi dengan alasan melindungi warga negaranya,
seandainya mereka diperlakukan dengan semena-mena. Suatu kekecualian terhadap
dalil ini adalah apa yang disebut dengan doktrin “intervensi kemanusiaan”, yang
memberikan hak yang sah untuk melakukan intervensi. Berdasarkan “hak” ini, negara
dapat mengintervensi secara militer untuk melindungi penduduk atau
sebagianpenduduknya yang berada dalam suatu negara lain jika penguasa negara
tersebutmemperlakukan mereka sedemikian rupa sehingga “melanggar hak asasi
mereka dan menggoncangkan hati nurani umat manusia.” Doktrin ini dipopulerkan
oleh Hugo Grotius. Tetapi banyak yang meragukan apakah hak semacam ini
benar-benar ada, yang jelas doktrin ini sering disalahgunakan oleh
negara-negara kuat yang berusaha memperbesar pengaruh politik mereka. Sejumlah
negara besar pada abad ke-19 memakai hak intervensi kemanusiaan yang diklaim
itu, antara lain, untuk mencegah Kekaisaran Ottoman memusnahkan kaum minoritas
di Timur Tengah dan di wilayah Balkan.
(c)
Penghapusan Perbudakan
Pemaparan di
atas menggambarkan bahwa sebetulnya telah terjadi perkembangan
kemanusiaan pada
hukum internasional sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hal yang paling
menonjol di antaranya adalah penghapusan perbudakan. Meskipun ekonomi perbudakan
pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 secara komersial telah menjadi kurang
menarik bagi negara-negara Eropa dibandingkan masa sebelumnya, gerakan penghapusan
perbudakan itu juga dilandasi oleh motif kepedulian kemanusiaan yang besar.
Praktek perbudakan mula-mula dikutuk dalam Traktat Perdamaian Paris (1814) antara
Inggris dan Perancis, namum selang 50 tahun kemudian, Akta Umum Konferensi Berlin
yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan budak
dilarang berdasarkan asas-asas hukum internasional”. Aksi internasional
menentang perbudakan dan perdagangan budak itu terus berlanjut sepanjang abad
20. Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Penghapusan Perbudakan dan
Perdagangan Budak pada tahun 1926, dan melarang praktek perbudakan di
wilayah-wilayah bekas koloni Jerman dan Turki yang berada di bawah Sistem
Mandat (Mandates System) Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I. Konvensi
1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama yang melarang praktek
perbudakan, meskipun konvensi ini telah diamandemen dengan suatu Protokol pada
tahun 1953, dan pada tahun 1956 ditambah dengan suplemen mengenai definisi tindakan-tindakan
yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern.
(d) Palang Merah Internasional
Kemajuan besar
yang lain dalam hukum kemanusiaan internasional pada paruh kedua abad ke-19
adalah pembentukan Komite Palang Merah Internasional (1863), dan ikhtiar
organisasi itu dalam memprakarsai dua konvensi internasional untuk melindungi korban
perang dan perlakuan terhadap tawanan perang, yang dikenal dengan Konvensi Jenewa.
Prakarsa dan usaha-usaha Palang Merah Internasional ini berlanjut melewati dua
perang dunia dan sesudahnya. Organisasi internasional ini telah mensponsori sejumlah
konvensi yang tidak semata-mata menangani status dan perlakuan terhadap para
prajurit yang berperang, tetapi juga perlakuan terhadap penduduk sipil pada
masa perang dan pembatasan terhadap cara-cara berperang (conducts of war).
Singkatnya organisasi internasional ini telah berjasa melahirkan apa yang
sekarang kita kenal dengan hukum humaniter internasional (international
humanitarian law).
(e)
Liga Bangsa-Bangsa
Segera setelah
berakhirnya Perang Dunia I, masyarakat internasional membentuk
Liga
Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles. Selain membentuk
Liga Bangsa-Bangsa (LBB), Perjanjian Versailles juga melahirkan apa
yang dikenal
sekarang dengan Organisaasi Perburuhan Internasional (International
Labour
Organization).
Tujuan utama Liga tersebut adalah “untuk memajukan kerjasama internasional,
mencapai perdamaian dan keamanan internasional”. Memang Liga tersebut tidak
secara eksplisit membuat ketetapan mengenai perlindungan hak asasi manusia.
Namun, dari dokumen pendiriannya, yang disebut Covenant of the League of Nations,
negara-negara anggotanya diwajibkan untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan
seperti menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan perdagangan
perempuan dan anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang
adil terhadap penduduk pribumi dan wilayah jajahan. Liga ini memiliki tiga
organ utama, yaitu Dewan, Majelis, dan Sekretariat.
Salah satu
prestasi terbesar Liga Bangsa-Bangsa bagi kemanusiaan adalah dibentuknya Sistem
Mandat (Mandates System) di bawah organisasi ini. Dengan sistem ini,
bekas koloni Jerman dan Turki yang kalah perang ditempatkan di bawah “perwalian”
negara-negara pemenang perang. Jadi “suatu kepercayaan suci atas
peradaban”
diserahkan kepada negara-negara perwalian untuk menata dan menyiapkan wilayah-wilayah
mandat tersebut sampai mereka memiliki pemerintahan sendiri. Bahasa
paternalistik yang digunakan dalam Covenant boleh jadi kurang disukai
sekarang ini,
namun yang jelas, negara perwalian diharuskan menjamin tidak ada diskriminasi
rasial dan agama di wilayah-wilayah yang berada di bawah perwaliannya. Ternyata,
beberapa wilayah mandat mencapai kemerdekaannya sebelum Perang Dunia II.
Wilayah-wilayah mandat yang belum mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia II,
seperti Namibia dan Palestina, selanjutnya dialihkan kepada sistem perwalian berdasarkan
Piagam PBB. Di samping itu, Liga Bangsa-Bangsa juga menjalankan fungsi
pengawasan yang berkaitan dengan “kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian
internasional”, sebuah prosedur dan mekanisme yang memungkinkan perlindungan
bagi kelompok-kelompok minoritas. Dengan mekanisme ini, kelompok minoritas yang
merasa dilanggar haknya dapat mengadukan masalahnya kepada Dewan Liga. Setelah
mendapat pengaduan itu, Dewan dapat mengajukan masalah itu kepada Komite ad
hoc untuk Kaum Minoritas, yang bertugas mendamaikan atau mencoba mencari
penyelesaian masalah tersebut dengan cara membangun persahabatan antara para
pihak yang bertikai. Liga Bangsa- Bangsa resmi dibubarkan pada 18 April 1946,
enam bulan setelah Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) didirikan.
(2)
Setelah Perang Dunia II
Doktrin dan
kelembagaan hukum internasional yang dipaparkan di atas telah ikut
mendorong
perubahan yang radikal dalam hukum internasional, yaitu berubahnya status individu
sebagai subyek dalam hukum internasional. Individu tidak lagi dipandang sebagai
obyek hukum internasional, melainkan dipandang sebagai pemegang hak dan kewajiban.
Dengan status ini, maka individu dapat berhadapan dengan negaranya sendiri di
hadapan Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Perubahan
ini dipercepat dengan meledaknya Perang Dunia II yang memberikan pengalaman
buruk bagi dunia internasional. Agar tidak mengulangi pengalaman yang sama,
masyarakat internasional membangun konsensus baru yang lahir dalam bentuk norma,
doktrin, dan kelembagaan baru dalam hukum internasional. Berikut ini akan dibahas
norma, doktrin, dan kelembagaan hukum internasional yang lahir pada periode pasca
Perang Dunia II yang melahirkan hukum hak asasi manusia internasional.
(a)
Hak Asasi Manusia Internasional Modern
Hukum
internasional yang lama (tradisional) telah berhasil mengembangkan berbagai
doktrin dan kelembagaan yang dirancang dan ditujukan untuk melindungi berbagai
kelompok orang, mulai dari kaum budak, kaum minoritas, bangsa-bangsa
pribumi,
orang-orang asing, hingga tentara (combatants). Dari perkembangan hukum dan
kelembagaan inilah kemudian terbangun landasan konseptual dan kelembagaan hukum
hak asasi manusia internasional kontemporer. Karena itu, kita tidak bisa memahami
dengan mendalam hukum hak asasi manusia internasional saat ini tanpa didahului
oleh pemahaman yang cukup tentang akar-akar historis yang melahirkannya itu. Sangat
berbeda dengan doktrin dan kelembagaan yang mendahuluinya, hukum hak asasi
manusia internasional modern menempatkan individu sebagai subyeknya. Individu
ditempatkan sebagai pemegang hak (right-holders) yang dijamin secara internasional,
semata-mata karena ia adalah individu, bukan karena alasan kebangsaannya dari
suatu negara. Justru sebaliknya, status negara dalam hukum yang baru ini
ditempatkan sebagai pemegang kewajiban (duty-holders). Jadi relasi
antara pemegang hak dan kewajiban itulah yang menjadi pokok perhatian hukum
internasional yang baru ini. Relasi keduanya ini kemudian diwadahi dalam
struktur kelembagaan yang baru, yang didesain oleh PBB, melalui berbagai macam
mekanisme atau prosedur pengaduan dan pemantauan hak asasi manusia dalam sistem
PBB. Prosedur dan mekanisme yang dimaksud, lebih jauh akan dibahas pada bab-bab
berikut dalam buku ini.
Hukum
internasional yang baru itu tumbuh dan berkembang dari perjanjianperjanjian internasional
hak asasi manusia yang terus meningkat sejak 1948, selain berasal dari
kebiasaan dan doktrin internasional. Peningkatan pada jumlah instrumeninstrumen
hak asasi manusia internasional diiringi pula dengan semakin banyaknya jumlah
negara yang mengakui dan terikat dengannya. Hal itu berarti semakin banyak negara
yang tunduk pada pengawasan internasional yang dibangun berdasarkan hukum hak
asasi manusia internasional tersebut. Implikasinya adalah bahwa eksklusivitas kedaulatan
negara menjadi berkurang, dan negara tidak dapat lagi mengklaim dengan absah
bahwa masalah hak asasi manusia sepenuhnya merupakan urusan domestiknya.
(b)
Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa
Perkembangan
hukum hak asasi manusia yang dipaparkan di atas bermula dari
Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai sebuah traktat multilateral yang mengikat secara
hukum semua negara anggota PBB, Piagam itu memuat dengan eksplisit pasalpasal mengenai
perlindungan hak asasi manusia. Dalam mukadimahnya tertera tekad bangsa-bangsa
yang tergabung dalam PBB untuk “menyatakan kembali keyakinan pada hak asasi
manusia, pada martabat dan nilai manusia”. Pasal 1 (3) mencantumkan bahwa salah
satu tujuan PBB adalah “memajukan dan mendorong pernghormatan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa, atau agama”. Selanjutnya dalam Pasal 55 ditegaskan pula, bahwa PBB “harus
memajukan ... penghormatan universal terhadap, dan ketaatan kepada, hak asasi manusia
dan kebebasan dasar bagi setiap orang”. Hal ini diperkuat lebih lanjut oleh Pasal
56, yang menyatakan bahwa semua anggota PBB “berjanji akan mengambil tindakan
bersama dan sendiri-sendiri ... bagi tercapainya tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam
Pasal 55”. Jadi, internasionalisasi hak asasi manusia dimulai dengan Piagam PBB
tersebut. Memang terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan karakteristik
legal dari kewajiban Piagam tersebut. Beberapa ahli hukum berargumentasi bahwa
persyaratan “memajukan” (“promoting”) penghormatan dan ketaatan terhadap
hak asasi manusia J. Robinson, Human
Rights and Fundamental Freedoms in the Charter of the United Nations: A Commentary,
1964. hanyalah bersifat anjuran, bukan kewajiban hukum terhadap para anggota.
Lebih lanjut mereka mengemukakan bahwa kewajiban untuk memajukan hak
asasi manusia tidak harus menyiratkan kewajiban untuk melindungi (protecting)
hak asasi manusia. Sebaliknya ahli hukum yang lain, mengajukan argumentasi
bahwa Pasal 56 memberikan kewajiban yang jelas kepada semua anggota untuk
mengambil tindakan positif menuju pada penghormatan dan ketaatan terhadap hak
asasi manusia. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa sebuah negara yang
menyangkal hak asasi manusia sedang menjalankan kewajibannya untuk menghormati
hak asasi manusia. Akhir dari perdebatan ini adalah disetujuinya secara umum
bahwa ketentuan hak asasi manusia dalam Piagam menciptakan kewajiban untuk
melindungi hak asasi manusia yang secara hukum mengikat anggotanya.
(c)
The International Bill of Human Rights
“International
Bill of Human Rights” adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada
tiga instrumen pokok hak asasi manusia internasional beserta optional protocol-nya
yang dirancang oleh PBB. Ketiga instrumen itu adalah: (i) Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights); (ii) Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights); dan (iii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya(International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Sedangkan optional
protocol yang masuk dalam kategori ini adalah, “the Optional Protocol to
the Covenant on Civil and Political Rights” (Protokol Pilihan Kovenan
Hak-hak Sipil dan Politik). Disebut sebagai instrumen pokok karena kedudukannya
yang sentral dalam corpus hukum hak asasi manusia internasional. Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa
Bangsa pada tahun 1948. Deklarasi ini boleh dikatakan merupakan interpretasi
resmi terhadap Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, yang memuat lebih rinci
sejumlah hak yang didaftar sebagai Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi sebagai
“standar pencapaian bersama”. Karena itu ia dirumuskan dalam bentuk Louis
Henkin, “The International Bill Of Rights: The Universal Declaration and the
Covenants,” dalam R. Bernhardt dan JA. Jolowicz (eds), International
Enforcement of Human Rights, 1987. deklarasi, bukan perjanjian yang akan
ditandatangani dan diratifikasi. Meskipun demikian, deklarasi itu telah
terbukti menjadi langkah raksasa dalam proses internasionalisasi hak asasi
manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, status legal deklarasi itu terus
mendapat pengakuan yang kuat. Selain dipandang sebagai interpretasi otentik
terhadap muatan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, deklarasi ini juga berkembang
menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat secara hukum bagi semua
negara. Dengan demikian pelanggaran terhadap deklarasi ini merupakan pelanggaran
terhadap hukum internasional. Dua kovenan yang menyusul, yakni Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa
Bangsa pada tahun 1966. Tetapi kedua Kovenan itu baru berlaku mengikat secara
hukum pada tahun 1976. Dua instrumen pokok hak asasi manusia internasional itu
menunjukkan dua bidang yang luas dari hak asasi manusia, yakni hak sipil dan
politik di satu pihak, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak lain.
Kedua instrumen ini disusun berdasarkan hak-hak yang tercantum di dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tetapi dengan penjabaran yang lebih
spesifik. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, misalnya, menjabarkan
secara lebih spesifik hak-hak mana yang bersifat “non-derogable” dan hak-hak
mana yang bersifat “permissible”. Begitu pula dengan Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang memuat secara
lengkap hak-hak ekonomi dan sosial, merumuskan tanggung jawab negara yang
berbeda dibandingkan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik. Jadi sebetulnya dua Kovenan ini dibuat untuk menjawab masalah-masalah
praktis berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia.
No comments:
Post a Comment