Burung Tempua dan Burung Puyuh
Di tanah
Melayu pada zaman dahulu kala hiduplah seekor burung Tempua dan seekor burung
Puyuh. Keduanya bersahabat akrab, tolong menolong dan menyayangi sejak lama.
Pada siang hari mereka sehilir semudik mencari makan bersama-sama. Suka dan
duka selalu bersama. Kalau hujan sama berteduh, kalau panas sama bernaung.
Mereka berpisah hanya jika pada malam hari. Dalam semua hal mereka sepakat,
namun dalam hal bersarang mereka berbeda pendapat.
Suatu hari mereka bercakap tentang sarang burung yang terbaik. Menurut Tempua, sarangnya nyaman dan aman, sementara puyuh menceritakan sarangnya yang praktis.
“Aku memiliki sarang yang cantik. Sarangku terbuat dari helaian alang-alang dan rumput kering. Helaian itu dijalin dengan rapi sehingga tidak akan basah saat hujan, dan tidak akan kepanasan di kala terik. Aku menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membuatnya,” kata Tempua.
Sarang Tempua tergantung tinggi di atas pohon walaupun ada yang agak rendah. Jika rendah maka pasti di dekatnya ada sarang ular, lebah atau penyengat. Tempua berlindung pada hewan-hewan tersebut. Kalau Tempua bersarang rendah, pastilah ada yang menjaganya. Orang Melayu mengatakan, “kalau tidak ada berada, takkan mungkin Tempua bersarang rendah.” Hanya karena keberadaan sesuatu hal (penjaga) maka Tempua mau bersarang di dahan rendah.
Berbeda dengan Tempua, sarang burung Puyuh lebih praktis. Puyuh merasa tak perlu menghabiskan waktunya untuk membuat sarang. Puyuh cukup mencari batang pohon yang tumbang untuk berlindung di bawahnya. Jika tidak aman, Puyuh akan berpindah ke tempat lain lagi.
“Dengan sarang berpindah-pindah, musuh tidak tahu keberadaanku pada malam hari,” kata Puyuh.
Akhirnya mereka sepakat untuk mencoba sarang masing-masingnya. Malam pertama, Puyuh mencoba sarang Tempua. Dengan susah payah Puyuh memanjat pohon sarang Tempua tergantung. Sesampai di sarang Tempua, Puyuh terkagum-kagum melihat sarang Tempua yang nyaman, kering dan bersih serta rapi. Kemudian, malam pun berlarut, Puyuh merasa haus dan meminta minum kepada Tempua. “Maaf kawan. Tidak mungkin aku terbang dan turun mencari air karena keadaan gelap gulita,” kata Tempua. Puyuh pun tertidur dalam kehausan.
Tak lama ketika Puyuh dan Tempua tidur pulas, tiba-tiba angin bertiup kencang. Pohon tempat sarang Tempua pun bergoyang-goyang seakan-akan mau tumbang. Sarang Tempua pun terayun-ayun. Puyuh ketakutan sekali dan seakan-akan mau muntah karena terombang-ambing. “Tenanglah kawan, kita tidak akan jatuh,” kata Tempua menghibur. Tak lama angin pun reda.
Keesokan harinya mereka bangun pagi-pagi sekali. Puyuh berkata, “kawan, aku tak mau lagi tidur di sarangmu. Aku takut jatuh lagi pula aku tidak bisa menahan haus.” Tempua diam saja dan memaklumi alasan Puyuh. Mereka pun kembali bersama-sama mencari makan siang hari itu.
Setelah hari mulai gelap, Puyuh mengajak Tempua mencari pohon tumbang untuk dijadikan tempat bermalam karena malam ini giliran Tempua yang mencoba sarang Puyuh. Setelah mencari, akhirnya ditemukan pohon tumbang di dekat air mengalir. Sangat cocok bagi Puyuh.
“Puyuh, dimana kita akan tidur?” tanya Tempua karena ia tidak melihat sarang untuk tidur mereka.
“Disini, kita akan berlindung di bawah pohon ini,” jawab Puyuh. Tempua merasa tidak nyaman, tetapi mengikuti apa yang dilakukan Puyuh.
Tak lama kemudian, Puyuh sudah tertidur pulas sedangkan Tempua masih gelisah dan mondar-mandir saja. Tiba-tiba hujan turun, membasahi tempat Puyuh dan Tempua tidur. “Puyuh, aku kedinginan,” kata Tempua. “Tidak apa-apa, kalau hujan reda tentu tidak akan kedinginan lagi,” jawab Puyuh.
Keesokan harinya Tempua mengeluh pada Puyuh bahwa ia tidak bisa tidur di sarang Puyuh. Ternyata mereka masing-masing tidak cocok dengan sarang kawannya. Mereka akhirnya memahami bahwa setiap makhluk mempunyai kesukaan dan kebiasaan yang tidak bisa dipaksakan. Walaupun berbeda begitu, mereka saling menghargai perbedaan dan pendapat itu sebagai hal yang wajar. Keduanya juga tetap bersahabat.
Suatu hari mereka bercakap tentang sarang burung yang terbaik. Menurut Tempua, sarangnya nyaman dan aman, sementara puyuh menceritakan sarangnya yang praktis.
“Aku memiliki sarang yang cantik. Sarangku terbuat dari helaian alang-alang dan rumput kering. Helaian itu dijalin dengan rapi sehingga tidak akan basah saat hujan, dan tidak akan kepanasan di kala terik. Aku menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membuatnya,” kata Tempua.
Sarang Tempua tergantung tinggi di atas pohon walaupun ada yang agak rendah. Jika rendah maka pasti di dekatnya ada sarang ular, lebah atau penyengat. Tempua berlindung pada hewan-hewan tersebut. Kalau Tempua bersarang rendah, pastilah ada yang menjaganya. Orang Melayu mengatakan, “kalau tidak ada berada, takkan mungkin Tempua bersarang rendah.” Hanya karena keberadaan sesuatu hal (penjaga) maka Tempua mau bersarang di dahan rendah.
Berbeda dengan Tempua, sarang burung Puyuh lebih praktis. Puyuh merasa tak perlu menghabiskan waktunya untuk membuat sarang. Puyuh cukup mencari batang pohon yang tumbang untuk berlindung di bawahnya. Jika tidak aman, Puyuh akan berpindah ke tempat lain lagi.
“Dengan sarang berpindah-pindah, musuh tidak tahu keberadaanku pada malam hari,” kata Puyuh.
Akhirnya mereka sepakat untuk mencoba sarang masing-masingnya. Malam pertama, Puyuh mencoba sarang Tempua. Dengan susah payah Puyuh memanjat pohon sarang Tempua tergantung. Sesampai di sarang Tempua, Puyuh terkagum-kagum melihat sarang Tempua yang nyaman, kering dan bersih serta rapi. Kemudian, malam pun berlarut, Puyuh merasa haus dan meminta minum kepada Tempua. “Maaf kawan. Tidak mungkin aku terbang dan turun mencari air karena keadaan gelap gulita,” kata Tempua. Puyuh pun tertidur dalam kehausan.
Tak lama ketika Puyuh dan Tempua tidur pulas, tiba-tiba angin bertiup kencang. Pohon tempat sarang Tempua pun bergoyang-goyang seakan-akan mau tumbang. Sarang Tempua pun terayun-ayun. Puyuh ketakutan sekali dan seakan-akan mau muntah karena terombang-ambing. “Tenanglah kawan, kita tidak akan jatuh,” kata Tempua menghibur. Tak lama angin pun reda.
Keesokan harinya mereka bangun pagi-pagi sekali. Puyuh berkata, “kawan, aku tak mau lagi tidur di sarangmu. Aku takut jatuh lagi pula aku tidak bisa menahan haus.” Tempua diam saja dan memaklumi alasan Puyuh. Mereka pun kembali bersama-sama mencari makan siang hari itu.
Setelah hari mulai gelap, Puyuh mengajak Tempua mencari pohon tumbang untuk dijadikan tempat bermalam karena malam ini giliran Tempua yang mencoba sarang Puyuh. Setelah mencari, akhirnya ditemukan pohon tumbang di dekat air mengalir. Sangat cocok bagi Puyuh.
“Puyuh, dimana kita akan tidur?” tanya Tempua karena ia tidak melihat sarang untuk tidur mereka.
“Disini, kita akan berlindung di bawah pohon ini,” jawab Puyuh. Tempua merasa tidak nyaman, tetapi mengikuti apa yang dilakukan Puyuh.
Tak lama kemudian, Puyuh sudah tertidur pulas sedangkan Tempua masih gelisah dan mondar-mandir saja. Tiba-tiba hujan turun, membasahi tempat Puyuh dan Tempua tidur. “Puyuh, aku kedinginan,” kata Tempua. “Tidak apa-apa, kalau hujan reda tentu tidak akan kedinginan lagi,” jawab Puyuh.
Keesokan harinya Tempua mengeluh pada Puyuh bahwa ia tidak bisa tidur di sarang Puyuh. Ternyata mereka masing-masing tidak cocok dengan sarang kawannya. Mereka akhirnya memahami bahwa setiap makhluk mempunyai kesukaan dan kebiasaan yang tidak bisa dipaksakan. Walaupun berbeda begitu, mereka saling menghargai perbedaan dan pendapat itu sebagai hal yang wajar. Keduanya juga tetap bersahabat.
--0O0--
Batang Tuaka
Batang
Tuaka merupakan sebuah sungai (batang) yang berada di Indragiri Riau. Sungai
ini menurut cerita rakyat Melayu, merupakan perwujudan dari tangisan seorang
ibu yang telah didurhakai oleh anaknya serta tangisan anaknya yang memohon
ampun kepada ibunya.
Pada zaman
dahulu di daerah Indragiri Riau, hiduplah seorang wanita bersama anak
laki-lakinya yang bernama Tuaka. Mereka hidup di sebuah gubuk yang terletak di
muara sebuah sungai. Ayah Tuaka telah lama meninggal. Mereka saling menyayangi.
Tuaka selalu membantu emaknya yang bekerja keras untuk penghidupan mereka.
Mereka sering ke hutan untuk mencari kayu bakar agar bisa dijual. Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari hutan, mereka melihat 2 ekor ular besar sedang berkelahi. Mereka segera berlindung dan mengamati perkelahian tersebut. Sepertinya 2 ekor ular tersebut sedang memperebutkan berupa sebutir permata. Akhirnya salah satu ular itu mati dan satunya lagi sangat kesakitan oleh luka-lukanya. Tuaka dan emaknya berusaha menolong ular itu dan membawanya pulang untuk dirawat.
Beberapa hari kemudian, ular tersebut mulai sembuh dan menghilang dari rumah Tuaka. Permata hasil kemenangan perkelahiaanya dahulu ditinggalkan dalam keranjang di rumah Tuaka. Tuaka dan emaknya terheran-heran dan mengamati permata itu dengan kagum.
“Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya Tuaka.
“Mungkin ular itu ingin berterima kasih kepada kita. Sebaiknya permata itu kita jual dan hasilnya bisa digunakan untuk berdagang,” jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur.
Permata itu laku dijual Tuaka dengan harga tinggi kepada seorang saudagar, cuma sayangnya uang saudagar tersebut kekurangan uang dan mengajak Tuaka ikut ke Temasik untuk menjemput semua uang tersebut. Setelah berpamitan dengan emaknya, Tuaka pun pergi ikut saudagar itu ke Temasik (Singapura).
Sesampai di Temasik, saudagar membayar semua uang kepada Tuaka. Karena uang berlimpah, Tuaka lupa akan pulang ke kampung halamannya. Dia berdagang dan menetap di Temasik dan menjadi saudagar kaya raya. Rumahnya megah, kapalnya banyak, istrinya pun cantik. Dia tak ingat lagi dengan emaknya yang miskin dan hidup sendirian di kampung.
Suatu hari, Tuaka mengajak istrinya berlayar dengan kapal ke suatu tempat. Kapal megah Tuaka akhirnya berlabuh di kampung halamannya. Tetapi, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya. Tuaka tidak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita tua yang miskin.
Sementara itu, kedatangan Tuaka terdengar sampai ke telinga emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang lama telah pergi. Emak pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka.
“Tuaka anakku. Emak merindukanmu, nak,” teriak emak dari sampan.
“Siapa gerangan wanita tua itu,” tanya istri Tuaka.
Tuaka yang malu mengetahui emaknya yang tua dan miskin datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.
“Hei penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka.
Emak Tuaka pergi menjauh dengan sedih. “Oh Tuhan... ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor elang dan istrinya menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih melihat anaknya berubah menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi anaknya tersebut.
Burung elang dan burung punai itu pun terus berputar-putar sambil menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu terus menetes dan membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka (Batang Tuaka). Jika di suatu siang tampak seekor elang terbang di sekitar muara Batang Tuaka sambil berkulik atau menangis, burung tersebut diyakini masyarakat sekitar sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.
Mereka sering ke hutan untuk mencari kayu bakar agar bisa dijual. Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari hutan, mereka melihat 2 ekor ular besar sedang berkelahi. Mereka segera berlindung dan mengamati perkelahian tersebut. Sepertinya 2 ekor ular tersebut sedang memperebutkan berupa sebutir permata. Akhirnya salah satu ular itu mati dan satunya lagi sangat kesakitan oleh luka-lukanya. Tuaka dan emaknya berusaha menolong ular itu dan membawanya pulang untuk dirawat.
Beberapa hari kemudian, ular tersebut mulai sembuh dan menghilang dari rumah Tuaka. Permata hasil kemenangan perkelahiaanya dahulu ditinggalkan dalam keranjang di rumah Tuaka. Tuaka dan emaknya terheran-heran dan mengamati permata itu dengan kagum.
“Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya Tuaka.
“Mungkin ular itu ingin berterima kasih kepada kita. Sebaiknya permata itu kita jual dan hasilnya bisa digunakan untuk berdagang,” jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur.
Permata itu laku dijual Tuaka dengan harga tinggi kepada seorang saudagar, cuma sayangnya uang saudagar tersebut kekurangan uang dan mengajak Tuaka ikut ke Temasik untuk menjemput semua uang tersebut. Setelah berpamitan dengan emaknya, Tuaka pun pergi ikut saudagar itu ke Temasik (Singapura).
Sesampai di Temasik, saudagar membayar semua uang kepada Tuaka. Karena uang berlimpah, Tuaka lupa akan pulang ke kampung halamannya. Dia berdagang dan menetap di Temasik dan menjadi saudagar kaya raya. Rumahnya megah, kapalnya banyak, istrinya pun cantik. Dia tak ingat lagi dengan emaknya yang miskin dan hidup sendirian di kampung.
Suatu hari, Tuaka mengajak istrinya berlayar dengan kapal ke suatu tempat. Kapal megah Tuaka akhirnya berlabuh di kampung halamannya. Tetapi, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya. Tuaka tidak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita tua yang miskin.
Sementara itu, kedatangan Tuaka terdengar sampai ke telinga emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang lama telah pergi. Emak pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka.
“Tuaka anakku. Emak merindukanmu, nak,” teriak emak dari sampan.
“Siapa gerangan wanita tua itu,” tanya istri Tuaka.
Tuaka yang malu mengetahui emaknya yang tua dan miskin datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.
“Hei penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka.
Emak Tuaka pergi menjauh dengan sedih. “Oh Tuhan... ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor elang dan istrinya menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih melihat anaknya berubah menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi anaknya tersebut.
Burung elang dan burung punai itu pun terus berputar-putar sambil menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu terus menetes dan membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka (Batang Tuaka). Jika di suatu siang tampak seekor elang terbang di sekitar muara Batang Tuaka sambil berkulik atau menangis, burung tersebut diyakini masyarakat sekitar sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.
--0O0--
Batu Batangkup
Zaman dahulu di dusun
Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di gubuknya yang reyot
bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan dua orang anak
laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan setiap hari
menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah juga mencari kayu bakar untuk
dijual ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka.
Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.
“Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya.
Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.
“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang.
Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya.
“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.
Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak.
Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.
Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.
“Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya.
Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.
“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang.
Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya.
“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.
Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak.
Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.
--0O0--
Si Lancang
Di sebuah negeri
bernama Kampar, pada zaman dahulu kala, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang
Emak dan anak laki-lakinya bernama si Lancang. Ayah si Lancang telah lama
meninggal. Emak bekerja menggarap ladang orang lain, dan Lancang menggembalakan
ternak milik tetangganya. Setelah cukup dewasa, si Lancang memohon izin kepada
Emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang, ingin bekerja dan mengumpulkan
uang. Walau sedih, Emaknya mengizinkan Lancang pergi merantau.
Setelah bertahun-tahun merantau, si Lancang menjadi seorang pedagang kaya yang mempunyai berpuluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istrinya pun cantik jelita. Suatu hari si Lancang mengajak istrinya untuk berdagang ke Andalas. Setelah perbekalan dan barang dagang siap, berangkatlah mereka, hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat ke Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. Penduduk pun berdatangan hendak melihat kapal yang megah tersebut. Banyak penduduk masih mengenali wajah si Lancang. “Wah si Lancang rupanya! Megah sekali kapalnya, sudah jadi orang kaya raya,” kata guru mengaji si Lancang. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada Emak si Lancang yang terbaring sakit di gubuknya.
Betapa senangnya Emak si Lancang mendengar kabar anaknya datang, dan bergegas bangkit dari tempat tidurnya. Dengan berpakaian seadanya dan berjalan tertatih-tatih karena sakit, Emak berjalan ke pelabuhan tempat kapal si Lancang. Sesampai di pelabuhan, Emak tak sabar ingin melihat anaknya. Saat hendak naik ke kapal, anak buah si Lancang menghalanginya dan melarangnya untuk naik ke kapal. Emak telah menjelaskan bahwa dia adalah Emaknya si Lancang.
Tiba-tiba si Lancang muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku!” teriak si Lancang. Rupanya dia malu jika orang tahu bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya. “Oh… Lancang…. Anakku, ini Emak. Emak sangat merindukanmu”, rintih emak.
“Usir perempuan gila itu dari kapalku!” perintah si Lancang. Anak buah si Lancang mengusir emak dan mendorongnya sehingga terjerembab. Dengan hati sedih Emak si Lancang pulang ke gubuknya, dan menangis terus menerus. Sesampai di gubuknya, Emak mengambil lesung dan nyiru. Emak memutar-mutar lesung dan mengipasinya dengan nyiru sambil berkata, “Ya Tuhanku… si Lancang telah aku lahirkan dan aku besarkan dengan air susuku. Namun setelah menjadi orang kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhanku… tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”
tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Petir menggelegar dan menyambar kapal si Lancang serta gelombang Sungai Kampar menghantamnya. Kapal si Lancang hancur berkeping-keping.
“Emaaaak… si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak,” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang. Akhirnya si Lancang tenggelam bersama kapalnya yang megah. Barang-barang yang ada di kapal berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang sebagai barang dagangan terbang melayang-layang kemudian jatuh berlipat-lipat dan menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.
Sebuah gong terlempar jauh dan jatuh di dekat gubuk Emak si Lancang di Air Tiris Kampar kemudian menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang terletak berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera itu muncul ke permukaan yang menjadi pertanda bagi masyarakat Kampar akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir irulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya yang durhaka kepada Emaknya.
Setelah bertahun-tahun merantau, si Lancang menjadi seorang pedagang kaya yang mempunyai berpuluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istrinya pun cantik jelita. Suatu hari si Lancang mengajak istrinya untuk berdagang ke Andalas. Setelah perbekalan dan barang dagang siap, berangkatlah mereka, hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat ke Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. Penduduk pun berdatangan hendak melihat kapal yang megah tersebut. Banyak penduduk masih mengenali wajah si Lancang. “Wah si Lancang rupanya! Megah sekali kapalnya, sudah jadi orang kaya raya,” kata guru mengaji si Lancang. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada Emak si Lancang yang terbaring sakit di gubuknya.
Betapa senangnya Emak si Lancang mendengar kabar anaknya datang, dan bergegas bangkit dari tempat tidurnya. Dengan berpakaian seadanya dan berjalan tertatih-tatih karena sakit, Emak berjalan ke pelabuhan tempat kapal si Lancang. Sesampai di pelabuhan, Emak tak sabar ingin melihat anaknya. Saat hendak naik ke kapal, anak buah si Lancang menghalanginya dan melarangnya untuk naik ke kapal. Emak telah menjelaskan bahwa dia adalah Emaknya si Lancang.
Tiba-tiba si Lancang muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku!” teriak si Lancang. Rupanya dia malu jika orang tahu bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya. “Oh… Lancang…. Anakku, ini Emak. Emak sangat merindukanmu”, rintih emak.
“Usir perempuan gila itu dari kapalku!” perintah si Lancang. Anak buah si Lancang mengusir emak dan mendorongnya sehingga terjerembab. Dengan hati sedih Emak si Lancang pulang ke gubuknya, dan menangis terus menerus. Sesampai di gubuknya, Emak mengambil lesung dan nyiru. Emak memutar-mutar lesung dan mengipasinya dengan nyiru sambil berkata, “Ya Tuhanku… si Lancang telah aku lahirkan dan aku besarkan dengan air susuku. Namun setelah menjadi orang kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhanku… tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”
tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Petir menggelegar dan menyambar kapal si Lancang serta gelombang Sungai Kampar menghantamnya. Kapal si Lancang hancur berkeping-keping.
“Emaaaak… si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak,” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang. Akhirnya si Lancang tenggelam bersama kapalnya yang megah. Barang-barang yang ada di kapal berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang sebagai barang dagangan terbang melayang-layang kemudian jatuh berlipat-lipat dan menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.
Sebuah gong terlempar jauh dan jatuh di dekat gubuk Emak si Lancang di Air Tiris Kampar kemudian menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang terletak berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera itu muncul ke permukaan yang menjadi pertanda bagi masyarakat Kampar akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir irulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya yang durhaka kepada Emaknya.
--0O0--
Pada masa lalu,
dikenal seorang kesatria bernama Hang Tuah. Ketika masih anak-anak, ia beserta
kedua orangtuanya, Hang Mahmud dan Dang Merdu, menetap di Pulau Bintan.
Pulau ini berada di perairan Riau. Rajanya adalah Sang Maniaka, putra Sang
Sapurba raja besar yang bermahligai di Bukit Siguntang.
Hang Mahmud
berfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang terkemuka. Saat
berumur sepuluh tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Selatan
disertai empat sahabatnya, yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan
Hang Lekiu. Dalam perjalanan, mereka berkali-kali diganggu oleh gerombolan
lanun. Dengan segala keberaniannya,
Hang Tuah beserta para sahabatnya mampu mengalahkan gerombolan
itu. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Bendahara Paduka Raja
Bintan, yang sangat kagum terhadap keberanian mereka.
Suatu ketika, Hang Tuah dan keempat
sahabatnya berhasil mengalahkan empat pengamuk yang menyerang Tuan Bendahara.
Tuan Bendahara kemudian mengangkat mereka sebagai anak angkatnya. Tuan Bendahara
kemudian melaporkan tentang kehebatan mereka kepada Baginda Raja
Syah Alam. Baginda Raja pun ikut merasa kagum dan juga mengangkat mereka sebagai
anak angkatnya.
Beberapa tahun
kemudian, Baginda Raja berencana mencari tempat baru sebagai pusat kerajaan. Ia beserta punggawa kerajaan,
termasuk Hang Tuah dan para sahabatnya, melancong ke sekitar Selat Melaka dan Selat Singapura. Rombongan akhirnya
singgah di Pulau Ledang. Di sana rombongan melihat seekor pelanduk
(kancil) putih yang ternyata sulit untuk ditangkap.
Menurut petuah orang tua-tua, jika
menemui pelanduk putih di hutan maka tempat itu bagus dibuat negeri.
Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri dan dinamakan Melaka, sesuai nama
pohon Melaka yang ditemukan di tempat itu.
Setelah beberapa lama memerintah, Baginda
Raja berniat meminang seorang putri cantik bernama Tun Teja, putri tunggal
Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Namun, sayangnya putri itu menolak
pinangan Baginda Raja. Akhirnya, Baginda Raja meminang Raden Galuh Mas Ayu
putri tunggal Seri Betara Majapahit, raja besar di tanah Jawa.
Sehari menjelang pernikahan, di istana
Majapahit terjadi sebuah kegaduhan. Taming Sari, prajurit Majapahit yang sudah
tua tapi amat tangguh, tiba-tiba mengamuk. Mengetahui keadaan itu, Hang
Tuah kemudian menghadang Taming Sari. Hang Tuah mempunyai siasat cerdik dengan
cara menukarkan kerisnya dengan keris Taming Sari. Setelah keris bertukar,
Hang Tuah kemudian berkali-kali menyerang Taming Sari. Taming Sari baru
kalah setelah keris sakti yang dipegang Hang Tuah tertikam ke tubuhnya. Hang
Tuah kemudian diberi gelar Laksamana dan dihadiahi keris Taming Sari.
Baginda Raja bersama istri dan rombongannya
kemudian kembali ke Melaka. Selama bertahun-tahun negeri ini aman dan tenteram.
Hang Tuah menjadi laksamana yang amat setia kepada raja Melaka dan amat
disayang serta dipercaya raja. Hal itu menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit
dan pegawai istana. Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan bahwa Hang
Tuah telah berbuat tidak sopan dengan seorang dayang istana. Penyebar
fitnah itu adalah Patih Kerma Wijaya yang merasa iri terhadap Hang Tuah. Baginda
Raja marah mendengar kabar itu. Ia memerintahkan Bendahara Paduka Raja agar
mengusir Hang Tuah. Tuan Bendahara sebenarnya enggan melaksanakan perintah
Baginda Raja karena ia mengetahui Hang Tuah tidak bersalah. Tuan Bendahara
menyarankan agar Hang Tuah cepat-cepat meninggalkan Melaka dan pergi ke
Indrapura.
Di Indrapura, Hang Tuah mengenal seorang
perempuan tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja. Dang Ratna kemudian menjadi ibu angkatnya. Hang Tuah meminta
Dang Ratna untuk menyampaikan pesan kepada Tun Teja agar mau menyayangi
dirinya. Berkat upaya Dang Ratna, Tun Teja mau menyayangi Hang Tuah. Hubungan
keduanya kemudian menjadi sangat akrab.
Suatu waktu, Indrapura kedatangan perahu
Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan Tun Bija Sura. Mereka meminta
Hang Tuah agar mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna juga ikut bersama
rombongan.
Sesampainya di Melaka, Hang Tuah kemudian
bertemu dengan Baginda Raja. Hang Tuah berkata, “Mohon maaf, Tuanku, selama
ini hamba tinggal di Indrapura. Hamba kembali untuk tetap mengabdi setia kepada
Baginda.” Tun Ratna Diraja melaporkan kepada Baginda Raja bahwa Hang Tuah
datang bersama Tun Teja, putri yang dulu diidam-idamkan Baginda Raja. Singkat
cerita, Tun Teja akhirnya bersedia menjadi istri kedua Baginda Raja
meskipun sebenarnya ia menyayangi Hang Tuah. Hang Tuah kemudian menjabat
lagi sebagai Laksamana Melaka, yang sangat setia dan disayang raja.
Hang Tuah kembali kena fitnah setelah
bertahun-tahun menetap di Melaka. Mendengar fitnah itu, kali ini Baginda Raja
sangat marah dan memerintahkan Tuan Bendahara agar membunuh Hang Tuah. Tuan
Bendahara tidak tega membunuh Hang Tuah dan memintanya agar mengungsi
ke Hulu Melaka. Hang Tuah menitipkan keris Taming Sari ke Tuan Bendahara
agar diserahkan pada Baginda Raja. Hang Jebat kemudian menggantikan Hang
Tuah sebagai Laksamana Melaka. Oleh Baginda Raja keris Taming Sari diserahkan
kepada Hang Jebat.
Sepeninggal
Hang Tuah, Hang Jebat lupa diri dan menjadi mabuk kekuasaan. Ia bertindak
sewenang-wenang. Jebat juga sering bertindak tidak sopan terhadap para pembesar
kerajaan dan dayang-dayang. Banyak orang telah menasihatinya. Namun, Hang
Jebat tetap keras kepala, tidak mau berubah. Baginda Raja menjadi gusar
melihat kelakuan Hang Jebat. Tak seorang pun prajurit yang mampu mengalahkan
Hang Jebat. Baginda lalu teringat kepada Hang Tuah. Tuan Bendahara
memberitahu kepada Baginda Raja, “Maaf Baginda, sebenarnya
Hang Tuah masih hidup. Ia mengungsi ke Hulu Melaka.” Atas perintah Baginda
Raja, Hang Tuah bersedia ke Melaka.
Hang Tuah
menghadap Baginda Raja dan menyatakan kesiapannya melawan Hang Jebat. Hang
Tuah kemudian diberi keris Purung Sari. Terjadi pertempuran yang sangat hebat
antara dua sahabat yang sangat setia dan yang mendurhaka. Suatu ketika Hang
Tuah berhasil merebut keris Taming Sari dan dengan keris itu, Hang Tuah dapat
mengalahkan Hang Jebat. Ia mati di pangkuan Hang Tuah. Hang Tuah kembali
diangkat sebagai Laksamana Melaka. Setelah itu, Melaka kembali tenteram.
Laksamana Hang Tuah sering melawat
ke luar negeri hingga ke negeri Judah dan Rum untuk memperluas pengaruh kerajaan
Melaka di seluruh dunia.
Suatu saat Baginda Raja mengirim
utusan dagang ke Kerajaan Bijaya Nagaram di India, yang dipimpin oleh Hang
Tuah. Setelah sampai di India, rombongan melanjutkan pelayaran ke
negeri Cina. Di pelabuhan Cina, rombongan Hang Tuah berselisih dengan
orang-orang Portugis, karena mereka sangat sombong, tidak terima Hang Tuah
melabuhkan kapalnya di samping kapal Portugis. Setelah menghadap Raja Cina,
rombongan Hang Tuah kemudian
melanjutkan perjalanannya kembali ke Melaka. Di tengah perjalanan,
mereka diserang oleh perahu-perahu Portugis. Hang Tuah mampu mengatasi
serangan mereka. Kapten dan seorang perwira Portugis melarikan
diri ke Manila, Filipina. Rombongan Hang Tuah akhirnya tiba di
Melaka dengan selamat.
--oOo--
Suatu hari raja Melaka beserta keluarganya
berwisata ke Singapura diiringi Laksamana Hang Tuah dan Bendahara Paduka
Raja dengan berbagai perahu kebesaran. Ketika sampai di Selat Singapura
Raja Syah Alam melihat seekor ikan bersisik emas bermatakan mutu manikam
di sekitar perahu Syah Alam. Ketika menengok ke permukaan air,
mahkota Raja terjatuh ke dalam laut.
Hang Tuah langsung menyelam ke dasar
laut sambil menghunus keris Taming Sari untuk mengambil mahkota tersebut. Ia
berhasil mengambil mahkota itu tetapi ketika hampir tiba di perahu, seekor
buaya putih besar menyambarnya sehingga mahkota beserta kerisnya terjatuh
lagi ke laut. Hang Tuah kembali menyelam ke dasar lautan mengejar buaya
tersebut. Tetapi ternyata mahkota beserta kerisnya tetap tidak ditemukan.
Sejak kehilangan mahkota dan keris Taming Sari, Raja dan Hang Tuah menjadi
pemurung dan sering sakit-sakitan.
--oOo--
Sementara itu,
Gubernur Portugis di Manila sangat marah mendengar laporan kekalahan dari
perwiranya yang berhasil melarikan diri. Setelah beberapa bulan melakukan
persiapan, angkatan perang Portugis berangkat menuju Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai
serangan terhadap Melaka yang menyebabkan banyak prajurit Melaka
kewalahan. Pada saat itu, Hang Tuah sedang
sakit keras.
Baginda Raja memerintahkan Tuan Bendahara
untuk meminta bantuan Hang Tuah. Meski sakit, Hang Tuah tetap bersedia ikut
memimpin pasukan melawan Portugis. Kata Hang Tuah kepada Baginda Raja,
“Apa yang kita tunggu? Kita secepatnya harus mengusir mereka dari sini.”
Dengan
keteguhannya, Hang Tuah masih mampu menyerang musuh, baik dengan pedang
maupun meriam. Namun, sebuah peluru mesiu Portugis berhasil menghantam
Hang Tuah. Ia terlempar sejauh 7 meter dan terjatuh ke laut. Hang Tuah berhasil
diselamatkan dan kemudian dibawa dengan perahu Mendam Birahi kembali ke
Melaka. Seluruh perahu petinggi dan pasukan Melaka juga kembali ke kerajaan.
Demikian pula halnya pasukan Portugis kembali ke Manila karena banyak pemimpinnya
yang terluka. Peperangan berakhir tanpa ada yang menang dan yang kalah.
Setelah sembuh,
Hang Tuah tidak lagi menjabat sebagai Laksamana Melaka karena sudah
semakin tua. Ia menjalani hidupnya dengan menyepi di puncak bukit Jugara di
Melaka. Baginda Raja juga sudah tidak lagi memimpin, ia digantikan oleh
anaknya, Putri Gunung Ledang.
--0O0--
Legenda Ikan Patin
Alkisah,
pada zaman dahulu kala, di Tanah Melayu hiduplah seorang nelayan tua yang
bernama Awang Gading. Ia tinggal seorang diri di tepi sebuah sungai yang luas
dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu merasa bahagia. Ia
mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerajaan
sehari-harinya adalah menangkap ikan di sungai dan mencari kayu di hutan.
Suatu sore, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. “Ah, semoga hari ini aku mendapat ikan besar,” gumam Awang Gading. Usai melemparkan kailnya ke dalam air, ia berdendang sambil menunggu kailnya. Berapa saat kemudian, umpannya pun di makan ikan. Dengan hati-hati disentakkannya kail itu. Apa yang terjadi? Ternyata ikannya terlepas. Lalu dipasangnya lagi umpan pada mata kailnya. Berkali-kali umpannya di makan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.
“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”
terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.
Hari sudah mulai gelap. Namun, tak seekor ikan pun yang diperolehnya. “Rupanya, aku belum beruntung hari ini,” gumam Awang Gading. Usai bergumam, Awang Gading pun bergegas pulang. Namun, baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendegar tangisan bayi. Dengan perasaan takut, Awang Gading mencari asal suara itu. Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” Ucap Awang Gading dalam hati. Oleh karena merasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.
Malam itu juga Awang Gading membawa bayi ke rumah tetua kampung. “Awang, berbahagialah, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah ia dengan baik,” Tetua Kampung berpesan. “Terima kasih, Tetua! Saya akan merawat bayi ini dengan baik. Semoga kelak menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik,” jawab Awang Gading mengharap.
Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan selamatan atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Ia mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Usai acara tersebut, Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil mendendang, “Dayang sayang, anakku seorang…Cepatlah besar menjadi gadis dambaan.”
Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih dekat.
Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah sedang menjemur pakaian, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya.
Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading.
“Maaf, Tuan! Nama saya Awangku Usop. Saya dari desa sebelah,” kata Usop memperkenalkan diri.
“Ada apa gerangan, Ananda Awangku Usop?” tanya Awang Gading.
“Saya ke mari hendak meminang putri Tuan” pinang Awangku Usop.
Awang Gading tidak langsung memberikan jawaban. Keputusannya ada pada Dayang Kumunah. Lalu ia meminta pendapat Dayang Kumunah. “Anakku, Dayang! Bagaimana pendapatmu tentang pinangan Awangku Usop?” tanya Awang Gading pada Dayang yang sedang duduk di sampingya. Dayang Kumunah langsung menanggapi pinangan pemuda itu. “Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop menyanggupi syarat itu. “Baiklah! Saya berjanji untuk memenuhi syarat itu,” kata Awangku Usop.
Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan mereka berlangsung meriah. Semua kerabat dan tetangga kedua mempelai diundang. Para undangan turut gembira menyaksikan kedua pasangan yang serasi tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Mereka pun hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah mereka menikah, Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah sangat sedih kehilangan ayah yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka telah menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada “ayahnya”. Ia pun kembali bahagia hidup bersama suami dan kelima anaknya.
Namun, Awang Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awang Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.
Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama keluarganya di teras rumah. Saat itu, si Bungsu mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awang Usop meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya.
Sesampainya di tepi sungai, perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awang Usop pun baru menyadari kekhilafannya. “Maafkan aku, istriku! Aku sangat menyesal telah melanggar janjiku sendiri, karena memintamu untuk tertawa. Kembalilah ke rumah, istriku!” bujuk Awangku Usop.
Namun, semua sudah terlambat. Dayang Kumunah telah terjun ke sungai. Ia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.
Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, “Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.
Suatu sore, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. “Ah, semoga hari ini aku mendapat ikan besar,” gumam Awang Gading. Usai melemparkan kailnya ke dalam air, ia berdendang sambil menunggu kailnya. Berapa saat kemudian, umpannya pun di makan ikan. Dengan hati-hati disentakkannya kail itu. Apa yang terjadi? Ternyata ikannya terlepas. Lalu dipasangnya lagi umpan pada mata kailnya. Berkali-kali umpannya di makan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.
“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”
terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.
Hari sudah mulai gelap. Namun, tak seekor ikan pun yang diperolehnya. “Rupanya, aku belum beruntung hari ini,” gumam Awang Gading. Usai bergumam, Awang Gading pun bergegas pulang. Namun, baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendegar tangisan bayi. Dengan perasaan takut, Awang Gading mencari asal suara itu. Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” Ucap Awang Gading dalam hati. Oleh karena merasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.
Malam itu juga Awang Gading membawa bayi ke rumah tetua kampung. “Awang, berbahagialah, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah ia dengan baik,” Tetua Kampung berpesan. “Terima kasih, Tetua! Saya akan merawat bayi ini dengan baik. Semoga kelak menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik,” jawab Awang Gading mengharap.
Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan selamatan atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Ia mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Usai acara tersebut, Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil mendendang, “Dayang sayang, anakku seorang…Cepatlah besar menjadi gadis dambaan.”
Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih dekat.
Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah sedang menjemur pakaian, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya.
Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading.
“Maaf, Tuan! Nama saya Awangku Usop. Saya dari desa sebelah,” kata Usop memperkenalkan diri.
“Ada apa gerangan, Ananda Awangku Usop?” tanya Awang Gading.
“Saya ke mari hendak meminang putri Tuan” pinang Awangku Usop.
Awang Gading tidak langsung memberikan jawaban. Keputusannya ada pada Dayang Kumunah. Lalu ia meminta pendapat Dayang Kumunah. “Anakku, Dayang! Bagaimana pendapatmu tentang pinangan Awangku Usop?” tanya Awang Gading pada Dayang yang sedang duduk di sampingya. Dayang Kumunah langsung menanggapi pinangan pemuda itu. “Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop menyanggupi syarat itu. “Baiklah! Saya berjanji untuk memenuhi syarat itu,” kata Awangku Usop.
Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan mereka berlangsung meriah. Semua kerabat dan tetangga kedua mempelai diundang. Para undangan turut gembira menyaksikan kedua pasangan yang serasi tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Mereka pun hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah mereka menikah, Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah sangat sedih kehilangan ayah yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka telah menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada “ayahnya”. Ia pun kembali bahagia hidup bersama suami dan kelima anaknya.
Namun, Awang Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awang Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.
Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama keluarganya di teras rumah. Saat itu, si Bungsu mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awang Usop meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya.
Sesampainya di tepi sungai, perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awang Usop pun baru menyadari kekhilafannya. “Maafkan aku, istriku! Aku sangat menyesal telah melanggar janjiku sendiri, karena memintamu untuk tertawa. Kembalilah ke rumah, istriku!” bujuk Awangku Usop.
Namun, semua sudah terlambat. Dayang Kumunah telah terjun ke sungai. Ia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.
Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, “Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.
Puteri Kaca Mayang, Asal Mula Kota
Pekanbaru
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak
berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal,
karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima
Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun
kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.
Selain itu, Kerajaan
Gasib juga mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai ke
berbagai negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja
pun yang berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena
Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu.
“Maaf, Utusan!
Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada
raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke
Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.
Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang
penolakan Raja Gasib. Raja
Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah
dan berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib.
Sementara itu, Raja
Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan
yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh
itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar
Sungai Siak.
Rupanya segala
persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang
mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu
berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan
lain untuk masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib
menjadi penunjuk jalan.
“Hai, orang
muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang
penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu,
tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu.
Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang
negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke
Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak
tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja
Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan
dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan
darat menuju ke arah Gasib.
Berkat petunjuk pemuda
itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima
Gimpam dan anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh
memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang
bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika musuhnya telah
memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu
halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk melawan sudah
terlambat. Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan telah tewas
di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap,
istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat berbuat
apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai
oleh prajurit Aceh. Putri
Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.
Panglima Gimpam yang
mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama
pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan
bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas
kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke
istana.
Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk
menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima
Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya.
Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima
Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia
melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya,
dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana untuk diserahkan
kepada Raja Aceh.
Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan
kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk
membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan
diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana Gasib.
Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang
sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin
parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas.
Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam
untuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini.
Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina
Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam
berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima
Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke
istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima
Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke
hadapan Raja Gasib.
Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang
membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan
sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu
lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak
kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari
kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang
amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan
menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.
Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh
Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun berniat untuk
meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima Gimpam tidak
ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain
walaupun kesempatan itu ada di depannya.
Legenda Batu Rantai, Temasik Dilanda
Todak
Tersebutlah
dalam sebuah kisah beberapa abad lalu, negeri Temasik diperintah oleh Paduka
Seri Maharaja, seorang Raja yang terkenal sangat kejam dan angkuh. Suatu
ketika, Raja itu tega menghukum mati seorang ulama yang juga sebagai pedagang
dari Pasai bernama Tun Jana Khatib. Sebenarnya, ulama itu tidak bersalah, ia
secara tidak sengaja berpandangan mata dengan permasuri Raja. Namun, sang Raja
yang melihat kejadian itu menjadi murka. Tak ada yang bisa mencegahnya untuk
menjatuhkan hukuman itu. Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana
untuk menangkap dan menghukum mati sang Ulama.
Peristiwa gaib di atas adalah
pertanda akan datangnya malapetaka dahsyat di negeri Temasik. Pada suatu hari,
tiba-tiba Temasik diserang beribu-ribu ikan Todak. Gerombolan
ikan yang berparuh panjang, runcing, dan tajam itu menyerang penduduk sampai ke
pelosok desa di sekitar pantai. Penduduk berlarian menghindari serangan ikan
itu. Namun, musibah tak terelakkan lagi, banyak penduduk bergelimpangan secara
mengerikan. Tak lama kemudian, kabar peristiwa ini pun sampai di telinga sang
Raja. Dengan cepat, sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana
menyediakan seekor gajah tunggangan untuk pergi ke tempat kejadian. Sesampainya
di pantai, sang Raja menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Sang Raja kemudian
memerintahkan pengawal istana dan penduduk agar membuat pagar betis. Namun
upaya itu justru membuat ikan Todak tersebut kian mengganas. Hari demi hari,
penduduk yang mati dan luka-luka diserang ikan Todak tersebut semakin
bertambah. Penduduk yang terluka itu, merintih dan mengerang kesakitan siang
dan malam.
Meskipun
banyak penduduk yang menjadi korban keganasan ikan Todak tersebut, namun tak
seorang pun yang berani meninggalkan negeri itu tanpa titah sang Raja. Penduduk
tetap berdiri mematuhi titah raja untuk membuat pagar betis. Rintihan penduduk
yang menahan sakit tidak dihiraukan sang Raja yang sangat kejam itu. Sang Raja
justru diam-diam bermaksud meninggalkan negeri Temasik untuk bersembunyi. Pada
saat sang Raja sedang berlari bersembunyi, ia diserang oleh seekor ikan Todak.
Ia berusaha menghindar, namun baju sang Raja tersambar paruh ikan Todak. Sang
Raja amat cemas dan menggigil ketakutan. “Tolooong...! Tolooong...! Bajuku
robek!” jerit sang Raja ketakutan. Tetapi, jeritan tersebut tak ada yang
menghiraukan. Tak seorang pun menghampiri sang Raja untuk menolongnya.
Dalam
keadaan panik, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki kecil menghampiri sang
Raja. “Percuma saja Temasik dipagar betis dengan manusia, sampai habis penduduk
Temasik ini, serangan ikan Todak tidak dapat dikalahkan,” kata anak kecil itu
mengingatkan. Mendengar suara anak kecil yang datang tiba-tiba itu, sang Raja
segera bertanya: “Hei, budak! Siapakah engkau ini, dari mana asalmu hingga
beraninya engkau menasihatiku?” tanya sang Raja dengan nada kesal.
Dengan
santun, anak kecil itu menjelaskan dirinya: “Ampun, wahai Baginda Raja, hamba
bernama Kabil. Hamba datang dari Bintan Penaungan,” jelas Kabil seraya
menyembah. “Hamba hidup di pinggir laut, dan hamba mengenal sifat ikan Todak.
Ikan Todak tidak dapat dilumpuhkan dengan betis manusia, melainkan dengan
batang pisang. Apabila Sang Raja mengizinkan, hamba mohon agar Temasik dipagari
dengan batang pisang,” kata Kabil setengah memohon.
“Batang
pisang? Untuk Apa?,” tanya sang Raja dengan heran. “Jika kita menggunakan
batang pisang sebagai perisai di sepanjang pantai, maka paruh ikan Todak itu
akan tertancap pada batang pisang. Pada saat itulah, para penduduk menggunakan
kesempatan untuk membunuh ikan-ikan Todak itu,” jelas Kabil pada sang Raja.
Tanpa berpikir panjang, sang Raja bertitah kepada panglima dan rakyatnya,
“Wahai sekalian panglima dan rakyatku sekalian, angkutlah batang pisang
sebanyak-banyaknya, lalu pagari negeri kita ini dengan batang pisang!”
Mendengar titah sang Raja, seluruh panglima dan penduduk yang ada di tempat
kejadian itu segera mencari batang pisang ke kebun-kebun pisang. Setelah
mendapat banyak batang pisang, mereka pun membawanya ke pantai. Tak lama
kemudian Temasik berubah menjadi negeri berpagar batang pisang. Ikan-ikan Todak
yang sedang mengamuk itu tersangkut di batang pisang, sehingga menggelepar-gelepar
tak berdaya. Penduduk pun dengan mudah membunuhnya dan kemudian
mengambilnya untuk dimakan dagingnya.
Rakyat
negeri Temasik pun bersuka ria, karena terlepas dari malapetaka. Sebagai tanda
berakhirnya kesedihan itu, maka dibuatlah pantun ikan Todak:
Temasik dilanggar Todak
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Namun,
di tengah suasana gembira tersebut, para pembesar istana justru berpikir lain.
Mereka menjadi cemas dan takut kalau anak kecil itu akan merampas negeri
Temasik. Merasa terancam, para pembesar istana menghadap sang Raja. “Ampun,
Baginda Raja! Jika si Kabil tidak kita singkirkan, tidak mustahil suatu hari
anak itu akan menguasai kita dan akan merampas negeri Temasik ini,” kata salah
satu pembesar istana mempengaruhi. “Benar Baginda, selagi kecil dia sudah
pintar, hingga sanggup mengalahkan ikan Todak, apalagi sudah besar kelak,”
tambah pembesar istana yang lainnya. “Aku setuju, tapi kalian harus ingat, si
Kabil ini anak pintar. Jika kita tidak membuanganya jauh-jauh, dia pasti akan
kembali lagi ke negeri ini. Maka sebaiknya masukkan saja anak itu ke dalam
kurungan baja, lilitkan dengan rantai besi, lalu tenggelamkan di tengah laut,”
titah sang Raja kepada pembesar istana tersebut.
Keesokan
harinya, Kabil pun ditangkap, kemudian dimasukkan ke dalam kurungan baja,
dikunci dan diikat dengan rantai besi, lalu dinaikan ke atas perahu. Dengan
dikawal sang Raja dan beberapa pengawal istana, berangkatlah mereka ke perairan
Pulau Segantang Lada, tempat dimana Kabil akan ditenggelamkan. Tak berapa lama,
mereka pun sampai di tempat tujuan. “Ampun Baginda Raja! Kita sudah sampai di
Perairan Pulau Segantang Lada!” lapor seorang pengawal kepada Raja.
“Tenggelamkan anak kecil itu!” perintah sang Raja. Namun, sebelum
ditenggelamkan, Kabil bertanya kepada sang Raja. “Beginikah balasan Baginda
Raja kepada hamba? Tidakkah ada jalan lain yang lebih baik untuk menghindari
kematian ini? “Baginda Raja.....hamba belum rela mati muda,” ratap Kabil dari
dalam kurungan.
Sejak
peristiwa mengenaskan itu, sampai saat ini, suara pusar arus mendesah, “Byuuurr
... sssh ... byuuur ....”, seolah menyimpan perasaan sedih yang menyayat. Ombak
yang bertemu arus pasang sangatlah ganas, seperti orang yang meronta-ronta.
Oleh karena itu, para pelaut dan nahkoda kapal yang melintasi gugusan pulau
tersebut selalu menghindari karang berbahaya di perairan Sambu ini untuk
menjaga keselamatan penumpangnya. Peninggalan Legenda Batu Rantai ini berada di
antara gugusan Pulau Sambu dan Batam, di perairan Riau, Indonesia.
No comments:
Post a Comment